Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Model Sistem Kompleks Adaptif dalam Interaksi AS, RRC, India, dan Rusia untuk Prediksi Wajah Dunia

31 Mei 2025   20:22 Diperbarui: 31 Mei 2025   20:22 455
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Poros Maritim Pasifik: Perisai dari Selatan

Kawasan Pasifik Non-RRC seperti Papua Nugini, Fiji, Tonga, dan Samoa, meskipun kecil dari segi militer dan ekonomi, menjadi medan strategis baru bagi perebutan pengaruh antara China dan poros Indo-Pasifik. Di sinilah Indonesia memiliki peluang membentuk diplomasi maritim yang lebih luas, membangun poros selatan berbasis solidaritas kepulauan, climate diplomacy, dan kerja sama kemanusiaan serta keamanan non-tradisional.

Kekuatan lunak Indonesia---dari budaya, Islam moderat, hingga pengalaman demokratis---dapat menjadi modal utama untuk membangun koalisi mini-lateral di kawasan yang selama ini terabaikan namun vital. Ketika Indonesia berbicara tentang kedaulatan maritim dan keamanan regional, maka resonansinya akan terdengar lebih autentik dibandingkan retorika dari kekuatan besar yang seringkali hanya membawa agenda mereka sendiri.

Dari Perifer ke Pivot

Transformasi Indonesia dari aktor perifer menjadi pivot strategis di kawasan Indo-Pasifik tidaklah mustahil. Namun syaratnya adalah keberanian untuk keluar dari netralitas pasif menjadi netralitas aktif yang visioner. Indonesia harus berani memimpin, tanpa merasa harus menjadi hegemon. Harus bersuara, tanpa merasa harus menjadi konfrontatif.

Dalam mobilisasi kekuatan ASEAN dan Pasifik non-RRC, Indonesia perlu menyadari bahwa kekuatannya bukan pada dominasi, melainkan pada kemampuan mengorkestrasi kepentingan bersama, membentuk norma, dan menjaga ekuilibrium kawasan. Diplomasi "mendayung di antara dua karang" harus berkembang menjadi "mendesain jalur baru di antara badai geopolitik"---sebuah strategi navigasi cerdas, fleksibel, namun berprinsip.

Refleksi Kritis: Menyulut Cahaya dari Asia Tenggara

Dunia tengah menyaksikan bagaimana kawasan yang dulunya disebut "halaman belakang" kekuatan global kini berubah menjadi panggung utama geopolitik. Indonesia dan negara-negara ASEAN serta Pasifik non-RRC bukan lagi obyek permainan, melainkan dapat menjadi aktor permainan itu sendiri---asal mereka bersatu, sadar akan nilai strategisnya, dan berani mengartikulasikan kepentingan bersama.

"Kita bukan hanya bangsa yang duduk di selat, tapi yang mampu membentuk arus."
 ---Refleksi geopolitik Indonesia di era multipolar

Indonesia, dengan sejarah perlawanan kolonial, warisan nilai Asia-Afrika, dan populasi strategis, menyimpan potensi sebagai normative anchor dan stabilisator kawasan yang sedang mencari jati dirinya. Maka mobilisasi bukan soal membentuk blok baru, tetapi membangun simpul kebijaksanaan kawasan yang bisa menjadi alternatif antara dominasi dan kekacauan.

Apakah Indonesia siap menjadi suara yang mempersatukan Asia Tenggara dan Pasifik---tidak dengan kekuatan senjata, tetapi dengan kekuatan visi?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun