Mohon tunggu...
Raka Abbiyan Permana
Raka Abbiyan Permana Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Menulis adalah inspirasiku

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Gagal Dulu, Gagal Lagi, Sukses Terus!

21 Februari 2021   11:31 Diperbarui: 21 Februari 2021   11:36 1357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

PATAH PUCUK

Di bawah langit pagi ini, hamparan padi yang mulai menguning menghiasi kampungku yang jauh dari kehidupan kota. Kehidupan yang asri, bersih, dan nyaman membuatku selalu merasa bersyukur atas pemberian-Nya. Raja siang mulai menampakan diri dengan cepat ia naik dan menunjukan pancaran sinar yang sangat silau sehinnga mataku tidak dapat melihat nyata karena terlampau terang cahayanya.  

Kicauan burung-burung yang merdu membuat diriku ini semangat untuk menjalani kehidupan pagi ini. Kubuka gorden kamarku, terlihat cahaya yang mulai meraba seiisi kamarku. Kini, aku harus mempersiapkan diri untuk pergi ke sekolah mengambil surat kelulusan.

Yogyakarta, 2009. Hiruk pikuk daerah ini begitu menyesakkan, bagi seorang anak kecil yang baru saja mengalami kegagalan di sekolahnya. Kecewa! Ekspetasi mengalahkan semangatku. Ranti, ya, itu panggilanku. Nama yang sangat bersejarah bagiku. Siapa lagi kalau bukan orang tuaku yang memberinya. Hampa ... juga sedih, aku merasa sangat bingung. Aku harus melakukan apa jika aku pulang ke rumah. Ayah dan ibu pasti akan memarahiku, buktinya dari kecil aku selalu kena gusar orang tuaku. Aku sampai saat ini tidak tahu apa alasan orang tuaku memarihiku. Bahkan tak jarang, tangan mereka pun ikut berbicara saat memarahiku. Tapi, aku tidak terlalu memikirkan hal itu. Saat ini, permasalahanku yaitu bagaimana caranya bilang ke orang tuaku bahwa aku tidak lulus.

Kutekadkan diri untuk pulang ke rumah, badanku terasa dingin sekali. Menurut sahabatku, Lia. Dia mengatakan bahwa wajahku pucat seperti mayat, badanku semakin bergetar ketika Lia harus berpisah denganku, karena rumah dia berbeda arah denganku. Aku takut, kalau aku harus memberikan surat ini sendirian kepada orang tuaku.

Rumahku kini sudah di depan mata, tetapi aku merasa enggan untuk masuk ke rumah itu. Padahal, itu rumahku sendiri. Langkah demi Langkah kucoba untuk masuk ke rumah, aku harap saat ini di rumah tidak ada siapa-siapa. Akan tetapi, harapanku berkata lain justru orang tuaku saat ini sedang membicarakan tentang masalah bisnisnya. Ini kesempatan emas bagiku untuk langsung pergi ke kamar. Takdir berkata lain, tiba-tiba ayahku memanggil.

"Ranti, mengapa kamu terburu-buru pergi ke kamar?" tanya Ayahku.

            Mampus! Kenapa ayahku memanggilku. Jantungku berdebar semakin kencang, tetatpi aku harus terlihat tenang.

"Iya, ada apa Ayah?" jawabku dengan santai.

"Mana surat kelulusanmu? Ayah lihat anak Pak Damar sudah mendapatkan surat kelulusannya mana milikkmu?"

"Iya, mana suratmu Ranti?" tanya Ibu.

            Mendengar pertanyaan ibu yang sama seperti ayah, rasanya aku ingin menghilang dari dunia ini. Namun, lari dari masalah itu hanya untuk sang pecundang. Bagaimanapun kondisinya aku harus jujur.

 "Ii-ya bu, ini ada." Jawabku sambil menyerahkan surat itu.

            Aku duduk di kursi yang berhadapan dengan ayahku. Aku tidak berani menatap kedua orang tuaku, walaupun yang membaca surat itu adalah ayah. Namun, aku memberanikan diri untuk menatap wajah mereka. Sangat tersentak diri ini, ketika melihat mata ayah yang melotot dan hampir bola matanya itu keluar. Ibu yang mukanya sudah memerah membuatku semakin ketakutan. Plakkkk! Suara tamparan yang begitu keras mendarat di pipi kananku.

"Ibu ... kenapa Ibu menamparku? Bukannya semua orang juga berhak gagal?" ujarku sembari menahan tangisannini.

"Dasar anak tidak tahu diri! Anak bodoh!" jawab Ibu.

            Karena tidak tahan dengan perkataan ibu, aku lari ke kamar dan mengunci pintu. Rasanya sangat sakit ketika ibu kandung sendiri yang mengatakan hal itu kepadaku. Saat aku seperti ini tidak ada yang bisa aku ajak bicara untuk mencurahkan isi hati ini. Andaikan kakak masih hidup, mungkin dia akan menjagaku dari tamparan tadi. Tangisanku semakin menjadi, aku sakit hati bukan karena aku tidak lulus tetapi aku selalu ingat perkataan ibu tadi. Memang aku bodoh! Tidak tahu diri! Namun, kenapa ibu berani berkata seperti itu. Setahuku dulu saat kakak masih hidup ibu tidak pernah memarahi kakak, walaupun kakak melakukan kesalahan yang besar.

"Tok ... tok ... tok ..."

            Tiba-tiba ada yang mengetuk pintu. Kuhapus semua air mata, karena aku ingin terlihat baik-baik saja dihadapan semua orang.

"Iya, siapa?" jawabku.

"Ini Ayah, buka pintunya sekarang nak. Ayah ingin bicara denganmu."

"Ayah mau ngapain? Sekiranya Ayah mau ceramah jangan di kamarku."  Jawabku.

Ayahku mungkin tahu maksudku, karena ayah tidak jadi masuk ke kamarku. Semalaman aku memikirkan masalah ini. Tak terasa jago-jago mulai bernyanyi di pagi ini. Kuhapus pikiran ini sejenak dan kutadahkan tangan untuk meminta petunjuk kepada-Nya. Kuambil air suci dan dilanjutkan dengan sembahyang.

"Tuhan ... berikan petunjuk kepadaku untuk menyelesaikan masalah ini. Mengapa aku ditakdirkan untuk menjadi bodoh. Mengapa aku harus seperti ini?"

            Tak terasa air mata jatuh membasahi kain suci ini. Doa yang kupanjatkan begitu tulus dari hatiku yang paling dalam. Namun, dari sudut mataku terlihat seperti ada orang yang sedang mengawasiku. Aku tidak tahu itu ayah atau ibu, tetapi aku tidak ingin tahu siapa di balik pintu itu. Setelah sembahyang aku turun ke bawah untuk sarapan pagi bersam ayah dan ibu.

"Pagi semuanya," ucapku tanpa sedikit senyuman.

"Pagi," ucap mereka.

            Sarapan kali ini terasa sangat dingin sekali, tidak ada perbincangan sedikitpun. Hanya suara tarian sendok dan garpu yang mengisi sarapan pagi ini. Tiba-tiba ayah memotong kesunyian ini.

"Liburan tahun ini kita pergi ke rumah Nenek saja. Kita kumpul bersama saudara-saudara kita," ucap ayah.

"Kalau itu yang terbaik boleh saja." Jawab ibu.

"Tapi, bagaimana dengan nasibku? Aku malu," ucapku dengan sedikit emosi.

"CUKUP! Ibu tidak mau mendengar alasan darimu!"

            Mendengar ucapan tadi membuat otakku semakin keras untuk berpikir. Aku lebih memikirkan rasa malu karena tidak naik kelas, pasti nenek akan membahas masalah sekolah.

            Hari ini aku bersama keluarga pergi ke rumah nenek. Di sepanjang jalan aku diam saja, tidak ada sepatah kata yang keluar dari mulutku. Mukaku terlihat pucat seperti mayat, terlihat dari kaca bagian depan mobil. Ibu dan ayah tidak membuka sedikitpun pembicaraan mereka juga ikut terdiam. Kami sampai di rumah nenek itu malam, karena perjalanan Yogyakarta-Surabaya sangat memakan waktu.

            Sangat bersyukur sekali bisa datan lebih awal dibandingkan saudara yang lain. Jadi aku bisa memberitahu nenek tentang masalahku, supaya nenek tidak membahas tentang sekolah. Kebetulan malam itu nenek sedang ada di kamarnya, melihat kesempatan itu aku langsung pergi ke kamar nenek dan menutup pintunya rapat-rapat.

"Nek ... aku ingin berbicara dengan Nenek," ucapku.

"Boleh Ranti, ada apa denganmu?" jawab nenek.

"Nek, aku mohon Nenek tidak membicarakan hal ini kepada saudara yang lain ya Nek, aku malu."

"Iya Ranti, Nenek tidak akan menceritakan hal ini. Tetapi apa masalahmu sekarang?" tanya nenek.

            Tidak terasa aku menangis di kamar nenek, sebenarnya aku sangat malu untuk menceritakan hal ini.

"Aku tidak lulus Nek." Jawabku dengan lirih.

"Apa? Kenapa itu terjadi? Apakah Nenek tidak salah dengar?" jawab nenek dengan kaget.

"Tidak Nek, ini benar. Aku tidak naik kelas maafkan aku ya Nek dan aku minta tolong kepada Nenek untuk tidak membahas masalah ini di depan saudara." Perintahku kepada nenek.

            Tangisanku semakin menjadi hingga nafasku terengah-engah. Pagi tiba, tak sadar semalam aku tidur di kamar bersama nenek. Aku bangun dari tempat tidur dan aku langsung mengambil handuk untuk pergi mandi.

            Tidak sengaja, sebelum aku ke kamar mandi aku mendengar percakapan nenek dan ibu dari kamarku. Dari luar aku mendengar suara ibu yang sedang menangis, pasti ini sedang mengobrolkan masalahku. Karena takut ketahuan akhirnya aku membiarkan mereka untuk membicarakan hal yang sedang mereka bahas. Takutnya kalau aku menguping mereka, aku dicap sebagai anak kurang ajar oleh ibu.

            Selesai keluar dari kamar mandi, terlihat banyak saudara yang sedang mengumpul di ruang tamu. Rasanya sangat senang sekali karena aku bisa bertemu mereka kembali. Aku berharap kumpul tahun ini tidak ada hal yang merusak moodku. Om dan tante sedang asik berbicara dengan ayah, ibu, dan nenek. Tahun ini mungkin mereka akan menganggapku aneh karena tidak ingin berbincang bersama keluarga secara lama. Karena hal ini bertujuan untuk menghindari pembicaraan masalah sekolah.

            Tidak terasa siang pun habis dan kini malam yang menggantikan. Pancaran sinar bulan sangat mengizinkanku untuk bahagia pada malam ini. Malam ini, aku akan pergi ke taman depan rumah untuk menjernihkan pikiran. Kupandangi hamparan bintang yang berkelap-kelip. Kutulis perasaanku hari ini di buku diary. 

"Hallo, sedang apa kamu di sisni?"

"AAAA ... TOLONG!" aku sangat kaget mendengar suara itu.

"Hi, Ranti, ini Kak Dio." Sambil menepuk pundakku.

"Oh, Kak Dio, maafin aku Kak. Aku kira tadi hantu," ucapku.

            Kak Dio adalah saudaraku. Dia adalah anak dari pakde dan bude. Umurnya 4 tahun lebih tua dariku, kini dia duduk di bangku SMA.

"Hehehe ... maafin Kakak ya, sudah membuatmu kaget." Dengan sedikit senyuman.

"Oh iya, Kakak sedang apa di sisni?" tanyaku.

"Kakak lagi nyari angin saja,di rumah Nenek sangat gerah gak ada AC."

"Hahaha, maklum Kak, di sini beda dengan di kota. Kita perlu penyesuaian diri saja di sini." Jawabku.

"Kalau kamu ngapain di sini?"

            Mendengar pertanyaan itu aku sangat bingung untuk menjawabnya. Apakah aku harus menjawab jujur atau berbohong saja kepadanya. Tanpa banyak berpikir, aku langsung saja berkata jujur terhadap apa yang terjadi.

"Mmmm, sebelumnya Kakak janji dulu untuk tidak memberitahukan kepada siapa-siapa!" ancamku.

"Maksudnya? Janji apa?" tanya Kak Dio.

            Pikiranku berubah, seharusnya aku tidak memberitahukan hal ini kepada siapapun.

"Eh, gak jadi lupakan saja. Maaf Kak, aku mengantuk, aku harus tidur sekarang."

"HAH? Aneh sekali kamu." Kak Dio merasa heran.

            Tanpa memedulikan atas hal yang terjadi barusan, aku langsung pergi ke kamar. Kukejapkan mata supaya esok aku bisa tersenyum bahagia tanpa derita. Aku  heran, perasaan baru saja aku memejamkan mata tetapi rasanya hanya hitungan detik saja aku tidur tadi malam. Ayam jantan  keburu berkokok, mau tidak mau aku harus bangkit dari kapuk surgawi ini. Padahal aku masih ingin melepas rindu bersama kasur ini.

            Pagi ini, sangat tercium aroma masakan yang sangat sedap. Pandanganku langsung tertuju pada meja makan, terlihat di balik tudung saji itu terdapat makanan yang sudah melambai. Sepertinya makanan itu sudah siap untuk di santap. Kini di meja makan hanya ada aku dan nenek.

"Nek ... Pakde, Bude, Kak Dio, Ayah, dan  Ibu ke mana? Kok mereka gak terlihat batang hidungnya sama sekali." Tanyaku heran.

"Oh, tadi Pakde ada urusan kantornya jadi mereka harus pulang dan orang tuamu mengantar mereka ke bandara. Tadinya Nenek mau ikut tetapi kamu belum bangun jadinya nenek tidak ikut." Jawab nenek.

"Oh, syukurlah kalau mereka sudah pulang." Celetukku.

"Oh iya, tadi Kak Dio menitipkan barang ke Nenek," ungkap nenek.

"Barang apa Nek?"

"Bentar Nenek ambilkan sebentar barang itu."

            Aku merasa heran ketika nenek bilang bahwa Kak Dio menitipkan barang. Atas dasar apa Kak Dio memberikan barang iru, apa karena malam itu? Aku hanya bisa menduga-duga. Tidak lama nenek datang membawa sebuah kotak dari Kak Dio.

"Ini Ran, barang dari Kak Dio." Sambil menyerahkan barang itu.

"Wah, apa ya Nek kira-kira isinya?" tanyaku pada nenek.

"Nenek tidak tahu, buka saja nanti di kamar setelah kamu beres sarapan!" titah nenek.

"Baik Nek."

            Setelah selesai sarapan, aku pergi ke kamar untuk membuka isi kotak itu. Rasanya aku sangat penasaran sekali terhadap kotak itu. Kubuka perlahan kotak itu ternyata di dalamnya terdapat sebuah surat. Hati ini semakin penasaran untuk membuka surat itu. Kubuka surat itu dan isinya:

Dear : Ranti

Halo Ran! Kakak tahu kamu sedang dihadapkan masalah besar, Kakak tahu kamu sedang bingung bagaimana caranya melewati hal ini. Jujur, pasti Kakak kalau ada di posisi seperti kamu belum tentu kuat. Kamu hebat Ran! Kamu hebat! Kakak cuman bisa memberi saran 'bekerjalah dengan ikhlas' pasti kamu bisa!

 

Salam rindu,

 

Kak Dio

           

Oh my god! Kenapa Kak Dio bisa tahu masalahku, dari siapa dia tahu masalahku. Pasti ini ayah atau ibu yang memberi tahu Kak Dio. Namun, mengapa aku sangat senang sekali dan terharu setelah membaca surat ini. Ternyata banyak sekali orang yang masih sayang kepadaku. Isi surat dari Kak Dio sangat menyentuh hati dan rasanya aku ingin memiliki kakak seperti dia.

Aku memang anak yang cengeng sedikit-sedikit aku menangis. Surat dari Kak Dio itu singkat tetapi sangat bermakna. Mungkin sudah saatnya aku berubah dan tidak lagi larut dalam kesedihan itu. Aku harus bangkit dan aku harus terus berjuang supaya ayah dan ibu merasa bangga kepadaku. Mulai saat ini pikiranku mulai terbuka sudah saatnya aku jangan terlalu fokus terhadap hal-hal yang tidak penting. Karena itu semua membuatku rugi dan tidak ada manfaatnya sedikit pun.

Tidak terasa liburan di rumah nenek telah aku habiskan. Kini aku harus kembali ke rumah untuk mempersiapkan hal-hal untuk sekolah. Sedih rasanya harus kembali ke rumah, karena harus meninggalkan nenek sendiri di sini. Akan tetapi, aku harus berjanji pada diriku sendiri bahwa tahun depan saat kembali ke sini aku harus membawa kabar baik. Pasti itu akan terjadi, tunggu aku nek supaya aku tidak membuat keluarga kita malu.

Sepanjang perjalanan aku dihadapkan dua perasaan, di mana perasaan sedih ini harus meninggalkan nenek dan perasaan senangku harus kembali sekolah walaupun harus mengulang. Memang menjadi seseorang yang gagal itu sangat berat untuk memperbaiki kembali mentalnya. Namun, akan lebih sulit jika kita tidak mau merubahnya. Diri ini sudah kusiapkan untuk hinaan dan cacian yang akan menimpa. Akan tetapi, aku yakin bahwa temanku tidak seperti itu. Ku usir pikiran kotor itu jauh-jauh dari benakku.

Akhirnya malam ini aku bisa sampai di rumah dengan selamat. Rasanya sangat senang sudah kembali ke rumah ini, tetapi ada satu hal yang kurang. Ibu masih saja menyimpan amarah kepadaku. Namun, aku harus bersikap biasa saja sebagai tanda bukti hormat kepada orang tua. Malam ini aku langsung mempersiapkan peralatan sekolah walaupun masuk sekolah dua hari lagi. Aku yang sekarang sudah berbeda dengan aku yang dulu. Dulu aku yang sering malas-malasan, kini aku menjadi lebih semangat. Dulu yang aku suka makruh dalam mengerjakan sesuatu, kini aku lebih ikhlas dalam melakukan hal itu. Mungkin ini teguran dari Allah SWT. Supaya aku berubah dan menjadi pribadi yang lebih baik. Ternyata benar ya yang dikatakan dalam Al-Qur'an bahwa "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah diri mereka sendiri," (QS. Ar-Rad:11).

            Rindu yang menjandi candu membuatku tak sabar untuk mengawali kehidupan baru. Walaupun tercatat sebagai siswi tertinggal di atas kertas rapor, tidak menghalangi semangat api membara ini. Mulai hari ini sekolah telah dibuka, tandanya hari ini juga aku masuk sekolah. Sebagai tanda hormat terhadap orang tua aku tetap meminta izin dari mereka supaya hari-hari yang akan kujalani lancar tanpa hambatan sedikitpun. Ayah selalu memberi semangat kepadaku tetapi ibu tetap saja terlihat kesal. Sekolah tahun ini berbeda, uang jajan yang dulu ada kini hilang musnah ditelan bumi. Namun, tidak menghalangi semangatku untuk belajar karena tanpa uang jajan aku masih bisa menahan rasa lapar. Terlihat dari ujung mata ayah terlihat seperti merasa kesihan kepadaku, aku bisa merasakan hal itu. Rasanya hati kecilku ingin berkata 'ayah aku bisa'. Namun, aku tidak perlu mengatakan hal itu secara langsung. Pasti ayah tahu bahwa aku bisa melakukan hal itu.

            Di sekolah, aku tidak merasa malu sedikit pun bertemu dengan adik kelas yang kini menjadi teman sekelas. Aku pun tidak pernah merasa atau bermimpi sebagai senior di kelas karena saat ini kita sama dan untuk selamanya menjadi teman seperjuangan. Aku senang dengan kelas baru, teman-temanku justru memberi dukungan kepadaku. Aku kira aku akan dibully karena aku tidak naik kelas tetapi sebaliknya mereka malah mendukungku dan menjadi teman baikku.

            Di sekolah aku mempunyai satu teman dekat, Dinda, dia adalah teman yang bisa aku percaya. Selama di sekolah kita selalu bersama-sama dalam menjalani aktifitas. Dimulai ke kantin bareng, pulang bareng, bahkan sampai pergi ke toilet bareng. Namun, satu yang kita tidak lakukan secara bersama-sama yaitu tinggal bersama. Hal itu tidak mungkin karena kita bebrbeda ayah dan ibu jadi mau tidak mau kita pulang ke rumah masing-masing.

            Tak terasa hari demi hari kita lalui bersama secara riang dan gembira. Ternyata kegagalan itu bukan berarti semuanya gagal, itu semua tergantung kepada siapa dan bagaimana orang itu mengubah kegagalan tersebut. Selama sekolah, aku dan Dinda bisa dibilang sebagai dua kuda yang sedang bertanding. Karena kami sangat ambisius dalam belajar. Peringkat kami di semester satu sangatlah baik sehingga kami berdua memiliki janji bahwa kita harus masuk SMP yang sama jika lulus nanti. Banyak yang mengira persaingan kita tidak sehat tetapi kami tidak mempedulikan itu.

            Satu tahun telah kulewati, aku yakin ibu pasti bangga kepadaku karena aku bisa memberikan nilai terbaik untuknya. Ayah tentu saja akan bangga kepadaku karena ayah selalu mendukung setiap langkahku. Aku lulus dengan nilai terbaik di sekolahku. Nilai hasil ujianku sangat memuaskan dan aku semakin percaya bahwa melakukan sesuatu dengan ikhlas akan menghasilkan buah yang manis. Karena setiap apa yang aku tanam dengan ikhlas buah yang akan dihasilkan pasti akan manis dan bisa dirasakan semua orang. Namun, ibu masih saja terlihat kesal kepadaku padahal aku sudah melakukan hal yang terbaik. Sebenarnya apa kesalahanku, sehingga ibu selalu membenciku. Aku ingin sekali menanyakan hal ini kepada ayah tetapi itu tidak mungkin, karena ayah pasti disuruh ibu untuk tidak menjawab permasalahan ini. Aku berinisiatif untuk menanyakan hal ini kepada saudara terdekat atau pun tetangga di sekitar rumah. Sebenarnya hal apa yang membuat ibu merasa benci bahkan jijik harus berhadapan denganku.

            Liburan semester kali ini, sepertinya aku bersama keluarga tidak bisa berlibur ke rumah nenek. Karena aku harus mengurus berkas-berkas untuk masuk ke sekolah baru yaitu SMP. Aku selalu ingat janji bersama Dinda bahwa kita harus masuk ke sekolah yang sama. Aku dan Dinda mempersiapkan berkas secara bersama-sama karena tujuan kita itu sama bahwa kita harus masuk ke sekolah yang sama. Nilai ujianku dan Dinda bisa dikatakan sebagai nilai yang terbaik karena lebih besar dibandingkan teman-teman lainnya. Sebelumnya, kami selalu berdoa semoga kami bisa masuk ke sekolah tersebut. Karena sekolah itu termasuk sekolah yang favorit dan hanya orang-orang tertentu yang bisa masuk ke sekolah itu.

            Pertemananku dengan Dinda semakin erat bahkan kami selalu menghabiskan waktu bersama untuk mengisi liburan. Bahkan kami belajar bersama untuk mempelajari mata pelajaran di SMP supaya kita jauh lebih paham sebelum diterangkan oleh guru. Memang kita terlalu ambisius untuk menggapai cita-cita tetapi kami menikmati hal itu. Prinsipku selagi tidak merugikan diri orang lain ya tidak masalah jadi kerjakan saja apa yang kita mau. Api semakin membara jika ditambahkan kayu, pisau akan semakin tajam jika selalu diasah. Begitu pun aku, semangat akan semakin membara jika disertai dukungan, otak akan semakin mudah memahami materi jika selalu dilatih.

***

SEMAN 

          Dewi fortuna memihak kepadaku pada tahun ini. Aku dan Dinda berhasil diterima di SMP Negeri 1 Nusa Bangsa, ya SMP yang dicap sebagai sekolah favorit di daerahku. Aku memilih sekolah itu karena aku yakin sekolah itu akan mengantarku hingga jenjang yang lebih tinggi dan menggapai arti dari sebuah kesuksesan. Sekolah baru menandakan bahwa kini aku telah tumbuh menjadi remaja putri. Tandanya aku harus bisa memilih pergaulan. Karena lingkungan baru tidak selamanya memberikan dampak yang baik, karena pada hakikatnya sebuah dampak itu pasti ada dua yaitu positif dan negatif. Namun, hal ini kembali kepada pribadi masing-masing dalam menjalani sebuah kehidupan. Seseorang yang bergaul dengan penjual minyak wangi pasti akan ketularan wanginya. Dan seseorang yang bergaul dengan penjual minyak tanah pasti akan tertular bau minyak tanahnya.

            Untuk memulai kegiatan belajar di sekolah baru tentu ada tantangannya terlebih dahulu. MOS atau masa orientasi sekolah, hal itu yang pertama kali aku dapatkan setelah masuk ke sekolah ini. Memang berbeda dengan SD yang saat awal masuk aku hanya diantarkan oleh ayah dan ibu ke tempat duduk lalu berkenalan satu-persatu. Kegiatan ini membuatku seperti orang gila, karena tampilanku dibuat seaneh mungkin. Dimulai dari kalung permen yang dibuat seperti rantai, topi dari bola yang dipotong, tas yang menggunakan karung, serta kaus kaki yang berbeda sebelah. Malu aku, saat aku harus menggunakan style seperti itu. Namun, bagaimana juga itu adalah syarat supaya aku bisa belajar di sekolah ini.

            Hari pertamaku dibuat sial oleh jam alarm ku sendiri. Aku telat bangun hari ini, ibu tidak membangunkanku. Kesal rasanya kalau menghadapi masalah seperti ini, tetapi mau gimana lagi ini kesalahanku sendiri. Ku ambil handuk lalu bergegas pergi ke kamar mandi. Saat kondisi seperti ini kecepatanku sepertinya melebihi kecepatan cahaya bahkan jika lomba lari bersama citah pasti aku menang. Sialan! Sepagi ini aku sudah dibuat kesal. Air di kamar mandi habis aku bingung bagaiamana caranya aku mandi. Tanpa berpikir panjang aku langsung ke kamar dan mempersiapkan diri pergi sekolah. kusemprotkan parfum sebanyak mungkin supaya badanku tidak tercium bau oleh orang lain. Aku langsung pergi tanpa sarapan terlebih dahulu bersama ayah dan ibu. Kutunggangi sepeda untuk sampai ke sekolah, kulihat disepanjang perjalanan sudah terlihat sepi. Biasanya banyak anak sekolah di jalanan itu, kayuhanku semakin cepat supaya aku tidak terlambat.

            Rasanya lega ketika melihat gerbang sekolah belum ditutup. Sekitar jarak 300 meter aku sudah merasa lega dan aku semakin santai mengayuh sepeda soalnya gerbang juga masih di buka. Akan tetapi, seperti dicabut nyawa rasanya ketika pak satpam akan menutup gerbangnya. Terdengar suara satpam itu ketika melihatku mengayuh sepeda.

"Ayo, cepat! lima detik lagi gerbang akan ditutup!" teriak satpam itu.

            Gila! Lima detik lagi aku harus bisa sampai di sana. Bagaimana caranya, aku 'kan bukan supermen yang bisa terbang dengan cepat.

"Tunggu! Teriakanku dari arah kejuahan."

            Adegan ini kurasa seperti film yang ada di televisi. Aku membayangkan gerakanku itu diperlambat. Dan gibasan rambutku mengayun ke kanan dan ke kiri saat aku berusaha untuk sampai di gerbang itu. Aku turun dari sepeda dan melemparkannya, aku terus berlari supaya aku bisa masuk ke sekolah tanpa telat. Namun, hasilnya tetap nihil saat aku sudah sampai ke gerbang tetapi gerbangnya sudah ditutup terlebih dahulu.

"Pak, tolongin saya dong pak. Saya tidak mau dihukum." Rengekku pada pak satpam.

"Hah? Apa? Saya tidak salah mendengar? Maaf ya dek, peraturan di sisni itu tidak boleh telat," jawab satpam itu.

"Terus saya harus bagaimana pak? Apakah saya harus balik lagi?" tanyaku dengan sedikit kesal.

"Bentar ya, saya tanyakan dulu ke Pak Romli."

            Gawat, nama itu 'kan guru yang paling galak di sisni. Pak Romli kan guru yang sering diceritakan oleh kakak kelasku yang sekolah di sini. Mampus! Matilah riwayatku kalau harus berhadapan dengan guru itu. Tak lama satpam itu kembali menghampiriku. Namun, dia tidak sendiri terlihat di belakangnya terdapat seorang pria badannya yang berisi, kumisnya tebal, serta matanya yang tajam. Diriku dibuat bergemetar setelah melihat pria itu, aku berpikir bahwa itulah Pak Romli. Keringat bercucuran melintasi rawannya diri ini. Pria itu semakin mendekat dan kumisnya yang tebal itu bergerak naik turun seperti gelombang. Hidungnya memutar seperti sedang mengendus sesuatu. Duh, semakin berdebar jantungku ketika gerak-gerik pria itu seperti itu. Takutnya dia mencium bau ketiakku yang belum mandi. Tuhan, kenapa pertama masuk sekolah sperti ini.

            Satpam itu kini berhadap-hadapan denganku dan ternyata pria itu adalah guru di sekolah ini. Malunya aku telah mengecap guru itu sebagai guru paling galak di sekolah ini justru guru itu guru paling lucu yang pernah aku temui selama menempuh pendidikan. Pak Syamsyir namanya, aku bisa mengetahui guru itu paling lucu karena setelah perbincanganku dengannya mengenai alasan kenapa aku telat. Selain lucu guru itu baik sekali karena telah mengizinkanku masuk untuk mengikuti kegiatan hari ini.

"Nak, sekarang kamu langsung saja masuk ke barisan di lapangan sana ya. Di sana banyak teman-temanmu di sana!" perintah guru itu.

"Oh baik pak saya akan segera ke sana."

"Kalau begitu, saya tinggal dulu ya."

            Perasaanku lega setelah Pak Syam memberikan kesempatan kepadaku untuk masuk. Dengan percaya diri aku berjalan menuju lapangan yang disambut angin sepoi-sepoi. Rambutku berkibar bak bendera yang tertebak angin dan kunikmati angin itu sehingga aku memposisikan diriku seperti duta sampo.

            Saat aku menikmati segarnya udara pagi ini, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari arah podium. Awalnya aku tidak merasa bahwa teriakan itu untukku, aku terus berjalan menuju lapangan dan hendak bergabung dengan teman-temanku.  Akan tetapi, teriakan kedua itu sepertinya tertuju padaku. Langkahku terhenti sejenak karena ingin memastikan teriakan itu untukku.

"Kamu yang telat datang! Cepat kemari!" teriakan itu kembali memanggilku.

            Gila, ternyata teriakan itu benar-benar untukku. Mukaku mau disimpan di mana kalau kasusnya seperti ini. Baru awal saja aku sudah mempermalukan diriku di depan semua orang yang belum aku kenal. Mau tidak mau aku harus menghampiri sumber suara itu. Sesampainya aku di sana aku terkesima melihat parasnya seorang pria yang berdiri di podium sana. Kulitnya yang putih, rambutnya yang mengkilat, dan matanya yang indah membuatku mati terpesona melihatnya.

"Kenapa kamu melihatku dengan tatapan seperti itu," ungkap pria itu.

            MAMPUS!!! Aku kepergok saat aku menatap wajahnya yang tampan itu. Duh bodoh banget si jadi aku, mau disimpan di mana lagi muka ini.

"Mm-maaf kak, tidak bermaksud seperti itu," jawabku dengan gugup.

"Baiklah, kenapa kamu telat? Lantas bagaiaman kamu bisa masuk ke sini?" tanya pria itu.

"Maaf Kak, saya telat bangunnya. Saya tidur terlalu malam sehingga bangunnya telat. Kalau Kakak bertanya kenapa saya bisa masuk ke sini karena tadi Pak Syam memberikan kesempatan kepadaku untuk masuk," jawabku.

"Oh, seperti itu. Akan tetapi, aturan di sekolah ini tidak seenak itu. Sebagai konsekuensinya kamu saya hukum untuk berjemur di bawah tiang bendera sampai bel pulang sekolah."

"Baik Kak."

            Sorakan teman-teman begitu ramai di telingaku. Di situ aku merasa dipermalukan oleh teman-temanku sendiri. Rasa kesal kini tiba-tiba timbul di hati ini yang awalnya aku kagum kepada Kakak Osis yang tampan itu, kini aku membencinya karena telah membuatku malu di depan teman-temanku sendiri. Hal ini kurang wajar menurutku karena lebih baik dibicarakan di belakang saja tanpa harus menggunakan mikrofon. Memang aku salah tetapi tidak seharusnya aku dipermalukan seperti itu.

            Deraan ini begitu menyiksa diriku karena aku harus diam di bawah tiang bendera yang panas karena tersinar oleh teriknya matahari siang ini. Rasanya hilang sifat kemanusiaan jika ada di kondisi seperti ini. Apa bedanya dengan penyiksaan yang terjadi pada budak-budak kapal? Awas aja kalau nanti bertemu denganku akan kubalas perbuatanmu padaku.

            Semakin siang semakin gerah juga rasanya. Matahari tidak mau mengalah, sinarnya terus menyorot kulitku. Jika diibaratkan mungkin diriku ini sudah gosong seperti ayam goreng yang gosong. Badanku terasa sangat bau, dekil, dan aroma ketiakku sudah bau seperti bawang goreng. Namun, beruntungnya tidak ada orang yang mendekatiku. Semisal ada orang yang mendekatiku pasti dari radius 300 meter juga sudah pingsan duluan karena bau ketiakku yang wangi ini.

            Rasa gerahku terobati sedikit karena angin kini berlari sangat kencang rambutku pun tak kuasa menahan kekuatan angin itu, bahkan daun yang masih hijau di atas sana pun berjatuhan layaknya tentara yang gugur di medan perang. Bel pulang sepertinya masih lama, melihat sekeliling juga sepertinya tidak ada siapa-siapa karena sekolah ini terlihat sepi. Dengan memanfaatkan keadaan seperti itu apakah sebaiknya aku istirahat sebentar ya? Sepertinya tidak ada juga yang memperhatikanku.

"Duh, akhirnya aku bisa istirahat juga." Hela nafasku melepaskan semua kelelahan hari ini.

"Biasanya kalau dalam kondisi lelah seperti ini aku meminum minuman yang segar, supaya dahaga yang sudah kering ini bisa terobati dengan kesegaran itu. Apakah aku beli saja ya ke kantin? Akan tetapi kalau aku membeli minum ke kantin takutnya nanti hukumanku ditambah tetapi kalau aku tidak membeli minum tenggorokanku kering. Ah, jangan sampai aku terjerumus ke pikiranku yang kotor itu. Sekarang aku sudah bisa duduk sambil menikmati kesejukan juga sangat bersyukur sekali."

"EHEMMMM," terdengar suara pria di belakangku yang seperti memberikan sebuah kode kepadaku.

            Jantungku sepertinya copot karena tidak bisa merasakan detaknya. Suara itu membuatku ketakutan sehingga membuat keringatku turun lebih cepat. Pikiranku kemana-mana setelah mendengar suara itu. Jangan-jangan  itu adalah suara Kakak Osis tadi yang menghukumku. Aku tidak berani menolehkan kepala untuk melihat ke belakang. Akan tetapi, aku yakin itu kayaknya memang pria menyebalkan itu.

"Ampun Kak, ampun. Maafkan aku, aku sangat kelelahan berdiri terus dari tadi pagi." Pinta  maafku pada pria misterius itu.

"Hei, kamu kenapa?" ungkap pria itu.

            Sedikit kaget, karena suaranya berbeda dengan pria menyebalkan itu. Kuberanikan untuk menoleh ke belakang untuk memastikan bahwa pria itu siapa sebenarnya. Saat aku menolehkan pandanganku ke belakang, aku sangat terkejut karena pria itu pria tertampan yang pernah aku temui. Dibandingkan pria tampan yang menyebalkan itu. Pria ini jauh lebih tampan bahkan jika ada sebutan lain untuk menggambarkan ketampanannya akan ku akui sebutan itu.

"Wow, apakah ini surga dunia Tuhan?" mulutku melongo karena melihat ketampanannya itu.

"Hah, apa maksudnya?"

"Kamu sangat tampan sayang," ucapku tanpa disadari mengatakan hal itu.

"HAH? Maksudnya bagaimana dek?" tegasnya sambil menepuk pundakku.

"Eeeeeee, tidak Kak tidak lupakan saja. Maksudku awan di atas sangat indah." Aku mengeles.

"Oh seperti itu," ungkapnya dengan penuh keheranan yang terlihat dari cara dia menaikkan rambut alisnya sebelah.

"Maaf Kak, sebelumnya ada keperluan apa ya?" kualihkan pembicaraan tadi seketika.

"Ini Kakak bawakan minuman segar. Kakak lihat sepertinya kamu sangat kelelahan. Lagian cewek secantik kamu tidak pantas untuk dijemur seperti ini."

            Hatiku melayang setelah pria itu memujiku dengan kata cantik. Seumur hidup baru ada pria yang mengatakan diriku cantik. Oh my god! Memang rencanamu sangat indah.

"Bb-baik Kak, terima kasih," ucapku  dengan gugup.

"Kalau begitu Kakak masuk kelas dulu ya, takutnya panitia Osis melihat kita berduaan. Nanti takutnya kamu ditambah hukumannya." Salam pamit dari pria itu.

"Baik Kak," ucapku.

            Belum sempat mengucapkan rasa terima kasih pria itu sudah lari duluan. Padahal aku 'kan belum berkenalan dan meminta nomer teleponnya. Hari ini rasanya bukan hari yang melelahkan melainkan hari yang menyenangkan. Coba saja tadi kalau aku tidak di hukum pasti aku tidak akan bertemu dengan pria baik hati itu. Bel pulang berbunyi tandanya hukuman hari ini telah ku selesaikan dengan sempurna. Aku langsung saja bergegas pergi ke ruang Osis untuk memberi laporan bahwa aku telah menyelesaikan hukuman ini. Ruangan demi ruangan kususuri, tanpa lengah aku memperhatikan papan nama ruangan di atas pintu.

            Pada akhirnya aku menemukan ruangan Osis itu, di sana terlihat banyak kumpulan anak-anak yang memakai jas Osis. Kuhampiri mereka dengan percaya diri untuk menunjukan ke pria menyebalkan itu bahwa aku bisa menyelesaikan hukumannya.

"Tok ... tok ... tok ..." ku ketuk pintu sebagai tanda hormat.

"Iya dek, ada apa?" jawab salah satu dari mereka.

"Maaf Kak, saya ingin bertemu dengan seseorang."

"Kalau boleh tahu, ingin bertemu dengan siapa ya?"

"Iya dek, mau bertemu dengan siapa? Di sini 'kan banyak orangnya," jawab salah satu teman dari rekan kerjanya.

"Maaf Kak, aku tidak tahu namanya. Soalnya tadi saya langsung dihukum tetapi saya ingat ciri-cirinya. Cirinya yaitu tinggi, putih, gaya rambutnya ke samping, dan memakai kaca mata."

"Oh itu namanya Alathas, dia ketua Osis di sini," jawab salah satu dari mereka.

            Oh jadi pria menyebalkan itu ketua Osis pantas saja dia sombong. Namun, aku akan tetap membalas dia dengan cara mempermalukannya seperti dia mempermalukan aku di hadapan banyak orang. Tidak lama ketua Osis menyebalkan itu datang menemuiku.

"Ada apa? Mau mintah tambahan hukuman?" dengan lantang pria itu berkata seperti itu.

"Tidak Kak, di sini saya hanya ingin laporan saja bahwa saya sudah melaksanakan hukuman yang diberikan oleh Kakak," ucapku sambil berusaha sesopan mungkin.

"Terus?"

            Sumpah mendengar perkataan pria itu aku makin benci kepadanya. Dengan seenaknya dia berkata seperti itu sambil menyender ke pintu.

"Ok, saya pulang." Tanpa basa-basi aku langsung meninggalkan pria itu.

"Aneh," ucap pria itu.

            Kuhentikan langkahku setelah pria itu menyebutku aneh. Rasanya ingin melawan dan menjambak rambutnya tapi itu tidak mungkin. Aku hanya bisa mengepalkan kedua tanganku dan meremas jariku hingga bersuara. Dasar lelaki kepala batu, hal itu yang bisa kugumamkan dalam hati.

            Senja sudah semakin matang warnanya tetapi angkutan umum belum kunjung datang. Aku hanya bisa berdiri sambil memperhatikan lalu lalang kendaraan. Suara moge atau motor gede yang sedang tren di zaman itu. Helm yang tertutup membuatku sulit menebak siapa pengendara itu. Tiba-tiba dia berhenti tepat di hadapanku sangat aneh rasanya. Dia berhenti dan membuka penutup kepala yang menghalangi wajahnya itu, ternyata di balik helm itu pria kepala batu yang menyebalkan itu. Mood-ku tiba-tiba berubah100 persen karena harus berhadapan dengan pria seperti itu.

"Kenapa kamu belum pulang?" tanya pria kepala batu.

"Ga ada angkutan umum," jawabku sinis.

"Emang rumahmu di mana?"

"Jalan mawar," masih dengan nada yang sinis.

            Sebenarnya apa tujuan dia menanyakan hal itu kepadaku sampai menanyakan alamat rumahku segala.

"Oh kebetulan rumahku juga lewat ke jalan itu."

"Ya," jawabku kembali.

"Kalau begitu kita pulang bareng saja? Mau tidak?" tawarnya padaku.

            HAH! Ini tidak salah? Pria freak itu menawarkan hal itu padaku tetapi apakah ini sebuah jebakan ya supaya aku mengikuti alur rencana dia?

"Udah, tidak usah banyak berpikir. Jadinya mau tidak pulang bersamaku."

            Karena takut tidak ada kendaraan umum aku langsung saja menerima tawarannya.

"Ya sudah, aku mau tetapi awas saja kalau macam-macam kepadaku. urusannya bersama ayahku." Ancamku.

"Ya." Jawabnya dengan kedinginannya.

            Sepanjang jalan kami diam membisu tanpa ada obrolan hangat yang mengisi jalanan ini. Suara azan berkumandang di mana-mana tetapi aku tetap melanjutkan perjalanan karena jarak ke rumah sudah dekat. Tiada angin tiada badai tiba-tiba Kak Alathas mengerem secara mendadak. Alhasil badanku terlempar ke depan sehingga aku tak sadar bahwa tanganku sudah memeluk badan pria kepala batu itu.

"Bisa bawa motor gak sih?" marahku padanya.

"Kalau bawa motor gak bisa karena  berat, kalau mengendarai tentu bisa," jawab si kepala batu dengan sifat dinginnya yang seolah-olah tak bersalah.

"HEUUUHHH! NGELES TERUS BISANYA!"

"Lagian sok jagoan sih, dibonceng tetapi gak mau pegangan," celetuknya.

"Idih bilang aja mau modus," ungkapku.

            Dari percakapan singkat itu kami langsung saja melanjutkan perjalanan karena takut kemalaman di jalan. Aku melamun setelah kejadian tadi karena teringat perkataan Kak Alathas. Rabaan tangan Kak Alathas terasa hangat ketika menggapai tanganku untuk berpegangan ke pinggangnya. Kepalaku menyandar pada bahunya, sangat terasa ketulusan dia untuk membantuku.

"Kak Al, terima kasih sudah mau membantuku," celetukku.

"Iya," jawabnya.

            Akhirnya aku sampai ke rumah, dari kejauhan terlihat ayah sedang menunguku di depan rumah. Ayah terlihat sangat mengkhawatirkanku karena terlihat dari gerak geriknya yang mondar-mandir keresahan.

"Assalamua'laikum Ayah, maaf Ranti pulang malam soalnya tadi Ranti menunggu angkutan umum tetapi tidak kunjung datang yah," ungkapku pada ayah supaya tidak terjadi kesalahpahaman.

"Wa'alaikumussalam, Alhamdulillah nak kamu sudah pulang. Ayah mengkhawatirkan kamu dari tadi. Lantas itu siapa nak?" tanya ayah.

"Oh saya Alathas Om, saya kakak kelasnya Ranti sekaligus menjabat ketua Osis di sekolah. Maaf saya sudah lancang mengantarkan putri Om karena tadi saya tidak tega melihat Ranti kebingungan mencari kendaraan umum," ungkap Kak Alathas.

"Oh seperti itu, terima kasih ya nak sudah mau mengantarkan Ranti ke rumah dengan selamat. Ayo masuk dulu kita makan malam bersama," ucap ayah sambil menawarkan Kak Alathas untuk makan malam bersama.

"Sebelumnya terima kasih Om, tetapi saya lebih baik pulang karena takutnya Ibu sudah menunggu di rumah." Tolaknya.

"Kalau begitu saya pulang dulu ya Ran, Om." Pamitnya.

"Oh baik, terima kasih Kak sekali lagi," ucapku.

"Hati-hati nak di jalannya," kata ayah.

            Setelah berpamitan kepada ayah pria kepala batu itu langsung pulang. Ayah memutuskan untuk pergi ke dalam terlebih dahulu. Sedangkan aku memperhatikan pria itu hingga tidak terlihat jejak motornya. Aku senyum-senyum sendiri ketika memperhatikan Kak Alathas karena lucu saja pria seaneh itu mau mengantarkanku. Namun, kuhapus bayang-bayang itu karena aku tetap saja kesal kepadanya. Aku langsung masuk saja ke rumah untuk membersihkan diri karena hari ini aku belum mandi sama sekali.

"Dari mana saja? Baru saja masuk sekolah tetapi pulang ke rumah telat sampai malam lagi pasti kamu main dulu 'kan?" tanya ibu padaku.

            Aku tidak terlalu peduli dengan perkataan ibu karena bagaimana pun kalau aku menjelaskannya pasti ibu tidak akan percaya. Langsung saja aku pergi ke kamar untuk siap-siap makan malam. OMG! Pasti tadi Kak Alathas mencium bau badanku yang belum mandi ini. Namun, aku tidak peduli biarkan saja dia semakin jijik kepadaku.

            Rasanya sangat lega ketika badanku sudah wangi dan memakai baju yang layak pakai tanpa aksesoris aneh seperti seragam sekolah. Dan sangat kenyang ketika perutku sudah diisi oleh makanan yang sangat sedap. Setelah makan malam aku pergi ke kamar untuk istirahat karena hari ini sangat lelah sekali belum lagi MOS 'kan masih seminggu ke depan.

            Hamparan pulau yang berisi kapuk melambai-lambai seperti mengajakku untuk berlibur di pulau itu. Siapa yang akan menolak jika diajak kepada sebuah kenyamanan. Kulempar diriku ke atas kasur dan menikmati indahnya malam itu. Akan tetapi, bayang-bayang muncul di atapku terdapat dua orang pria yang tampan. Sialan! Malam ini aku tidak bisa tidur karena bayang-bayang itu. Kenapa Kak Alathas harus hadir di malam ini dan pria tadi yang memberikanku minuman juga terlintas di benakku ini. Namun, aku harus menghapus bayang-bayang itu karena tujuanku bukan itu.

            Malam ini benar-benar malam yang membuatku bimbang karena harus dihadapkan bayangan itu. Aku sudah berusaha menghapus bayangan itu tetapi yang berhasil terhapus yaitu pria yang memberikan minuman segar itu sedangkan pria kepala batu sulit untuk aku hapus dari memoriku. Tuhan kenapa aku harus memikirkan dia dan kenapa harus dia yang datang kepadaku. Aku hanya bisa senyum-senyum sendiri mengingat kejadian tadi karena aneh saja pria sedingin itu bisa romantis juga. Cape juga ya memikirkan hal yang terlalu keras itu, solusinya hanya ada dua supaya aku bisa tidur malam ini yaitu matikan lampu dan kutarik selimut dan tertidur dalam gelapnya malam ini.

            Aku bangun lebih awal hari ini karena takut terlambat seperti kemarin. Aku siap-siap lebih awal karena harus berkejaran dengan waktu dan aku pun langsung pergi sarapan pagi. Tak lupa bekal hari ini aku masukkan ke dalam tas supaya aku tidak kelaparan di sekolah karena sekolah pulangnya sore hari. Hari ini ayah mengantarkanku ke sekolah karena sepedaku di sekolah dan rusak jadinya aku berangkat diantar ayah. Di sepanjang jalan ayah memberi nasihat kepadaku dan membicarakan masalah pendidikan supaya aku bisa sukses. Dan ayah menaruh harapannya kepadaku bahwa aku harus sukses.

"Nak, sekolah yang benar ya. Kamu adalah harapan ayah," ucap ayah padaku.

"Baik Ayah, Ranti pasti akan mewujudkan hal yang ayah inginkan," sahutku.

            Saking terharu karena ayah menaruh harapan itu kepadaku air mata mengalir begitu saja. Ayah pun melihat saat air mata jatuh dari kantung mataku karena terlihat dari kaca spion. Dan tidak terasa sudah sampai ke depan gerbang sekolah. Aku langsung berpamitan kepada ayah dan meminta doa restu supaya hari ini dilancarkan sekolahnya.

            Ketika masuk ke dalam lingkungan sekolah, terlihat banyak anak-anak baru yang seangkatan denganku sedang mengerumuni mading sekolah. Rasanya aku pun ikut penasaran dan ingin melihat apa yang sedang diperbincangkan oleh mereka. Setelah aku menghampiri mading, ternyata di sana terpampang fotoku bersama Kak Alathas ketika pulang bersama kemarin. Hatiku hancur ketika melihat foto itu, ini kali keduanya aku dipermalukan di sekolah ini. Aku langsung saja lari ke kamar mandi untuk meluapkan emosi ini dan di sana aku hanya bisa menangis. Aku tidak tahu siapa yang memajang foto itu bahkan aku tidak tahu tujuan orang itu memasang foto itu untuk apa. Geram rasanya ketika aku dipermalukan seperti ini dan jika aku tahu siapa orangnya pasti aku langsung memarahinya dan menanyakan apa maksud tujuan dia melakukan hal itu.

            Saat aku keluar dari toilet teman baruku Audrey berkata kepadaku bahwa aku sedang dicari oleh Kak Ilene. Kak Ilene itu kakak kelasku yang cantik dan bisa dibilang sebagai perempuan yang berpengaruh di sekolah ini. Dan ternyata dia anak kepala sekolah di sini jadi dia mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan murid yang bermasalah dengannya.

            Mampus, kenapa aku dicari Kak Ilene ya? Apa salahku coba? Apakah ini berkaitan dengan foto di mading tadi? Tiba-tiba saat aku hendak menuju aula sekolah terdapat tiga cewek yang mencegatku dan sepertinya itu Kak Ilene bersama gengnya. Mengapa mereka mencegatku ya? Tanyaku dalam hati.

"Oh jadi ini adik kelas yang udah berani gerak cepat di sekolah ini?" tanya Kak Ilene yang sambil memegang daguku.

            Kutapis tangannya yang menempel di wajahku ini karena hal itu sudah terlewat batas menurutku.

"Wow sudah berani ya kamu? Baru saja masuk sudah berbuat ulah denganku," sahut temannya yang merupakan bagian dari gengnya.

"Emang kurang ajar nih anak," ungkap Kak Ilene yang hendak menamparku tetapi kutahan tangannya supaya tidak mendarat di pipiku dan kulepaskan tangannya dengan sekuat tenagaku.

"Aw." Kak Ilene merasa kesakitan karena tangannya kutapis.

"Maaf ya Kak sebelumnya, di sini salah saya apa? Dan kenapa Kakak berani menamparku apakah itu pantas dikatakan sebagai wanita yang sekaligus anak kepala sekolah di sini. Dan maaf saya tidak ada waktu untuk melayani kalian." Kutinggalkan mereka karena mereka hanya membuat kegaduhan saja.

            Di aula aku hanya bisa memikirkan hal yang terjadi barusan bahkan aku merasa bersalah karena telah masuk ke sekolah ini. Aku kira sekolah ini mengundangku kepada jalur kesuksesan tetapi sebaliknya mengundang keributan. Sheren, dia teman baruku di sekolah ini. Dia orangnya baik banget karena selalu menenangkanku saat aku ada masalah. Di aula kami duduk berdampingan bahkan saat pemateri berbicara di depan kami tidak mendengarkan malah kami membahas masalahku yang tadi. Memang sebenarnya perbuatanku salah tetapi kalau sesuatu yang dipaksakan 'kan tidak akan benar.

"Sheren, tahu gak tadi aku dicegat siapa?" tanyaku pada Sharen.

"Gak tahu tuh, emangnya siapa Ran?"

"Kak Ilene, dia tadi bersama gengnya mencegatku." Lirihku pada sheren.

"Demi apa Ran? Terus kamu diapain sama mereka?" tanya Sheren dengan kagetnya setelah mendengar perkataanku.

"Yaaaa ... awalnya dia mau menamparku tetapi tangannya aku tapis sampai dia kesakitan. Aku tidak takut sih sebenarnya kalau dia mengancamku untuk keluar dari sekolah ini karena 'kan mau bagaimana juga sekolah ini di bawah naungan pemerintah dan dia tidak bisa seenaknya mengeluarkanku dari sini." Jelasku.

"WOW! Hebat banget kamu Ran, padahal dia kan cewek palin disegani di sini."

"Buat apa kita takut Sheren kalau kebenaran berpihak di kita. Kita seharusnya terus membela kebenaran supaya negara ini maju dan tidak diam saja di tempat. Karena 'kan jiwa anak bangsa Indonesia sangat diperlukan untuk kesejahteraan Indonesia di masa sekarang."

"Hebat banget kamu Ran, walau kamu masih SMP tetapi pikiranmu sudah meluas ke mana-mana. Aku yakin suatu saat pasti kamu menjadi salah satu orang yang berpengaruh di dunia ini," ungkap Sheren.

"Terima kasih Sheren, aku juga yakin kamu akan menjadi orang yang sukses!" timbalku.

"Oh iya Ran, kamu tahu tidak masalah yang ada di mading?" celetuk Sheren.

"Iya aku tahu Sheren, aku pun sampai saat ini sedang mencari siapa pelakunya." Jelasku pada Sheren.

            Aku jelaskan semuanya kepada Sheren atas apa yang terjadi kemarin supaya tidak ada kesalah pahaman atas tuduhan foto itu. Kami berdua bercerita di kantin sambil menikmati bekal dari ibu. Sheren akhirnya percaya kepadaku atas apa yang terjadi kemarin karena di tahu bahwa aku sebenarnya benci kepada pria kepala batu itu. Dan tak sengaja kami dipertemukan di kantin dan dengan sifat dinginnya kepala batu itu berjalan lurus ke depan tanpa mengalihkan pandangannya. Terlihat dia makan di belakang mejaku dan mau tidak mau aku dan dia harus duduk berhadapan. Dan aku sangat terkejut ketika dia hendak makan karena kursi tempat duduknya disiapkan oleh temannya.

"Idih manja banget ya ketua Osis di sini," bisikku pada Sheren.

"Suttt ... biarkan saja emang seperti itu mungkin sifatnya hihihi." Sheren tertawa kecil.

            Selama aku duduk di kantin dan menikmati bekal dari ibu, Kak Alathas selalu mencuri pandangannya kepadaku. Namun, aku tidak memperdulikan hal itu karena takutnya dia merasa kepedean dan malu. Tiba-tiba dari arah belakang Kak Alathas terlihat geng perusuh itu datang dan pada akhirnya menghampiri Kak Alathas yang sedang makan siang itu.

"Halo sayangku, cintaku, honey body sweetyku, kok sendiran aja sih makannya. Mau aku temani gak?" rayu Kak Ilene pada pria kepala batu itu sambil memberikan mata sinisnya kepadaku.

"Idih apaan sih, alay banget," ucapku dalam hati.

            Pria kepala batu itu hanya diam saja tanpa memberikan jawaban kepastian pada Kak Ilene. Dan terlihat dari raut wajahnya sepertinya si kepala batu merasa risi jika harus makan bersama Kak Ilene. Dan dari situ aku bisa menyimpulkan bahwa marahnya Kak Ilene kepadaku itu karena Kak Alathas telah mengantarku pulang ke rumah sehingga dia merasa tersaingi dan jatuhnya cemburu. Padahal kalau dia tahu sebenarnya aku tidak mau pulang bareng si kepala batu itu juga terpaksa.

            Aku memperhatikan gerak geriknya Kak Ilene sampai makananku habis. Dan benar dia sangat mencari perhatian dari Alathas dan aku hanya bisa tertawa dalam hati karena menurutku dia tidak tahu diri. Sheren hanya bisa fokus terhadap makanannya tanpa bisa melihat apa yang terjadi di belakangnya.

"Ran, kamu kenapa sih kok dari tadi aku lihat kamu terus memperhatikan Kak Alathas," ucap Sheren.

            Duh ... ternyata ada yang memperhatikanku, malu banget rasanya ketika kepergok seperti itu.

"Mmmm ... ng-gg-ak kok Sher, aku ga memperhatikan si kepala batu," jawabku gugup.

"Hah? Apa? Kepala batu? Siapa dia? Kak Alathas maksudmu?" tanya Sheren.

"Mmm bukan-bukan kamu salah dengar maksudku itu di kepalamu ada batu kerikil kecil." Bantahku sambil berpura-pura mengambil kerikil di kepala Sheren.

"Masa sih? Ayo Ran, jangan malu-malu pasti kamu suka ya ke Kak Alathas? Hahahaha," ledeknya padaku.

"Apaan sih jangan mengada-ngada deh Sher," pungkasku.

            Kami telah menyelesaikan makan siang hari ini dan pada akhirnya kami kembali lagi ke aula. Dan kami terpaksa harus melewati meja yang sedang diduduki Kak Ilene, Kak Alathas, dan beberapa temannya. Dan tiba-tiba aku tersandung karena kaki Kak Ilene sengaja menghalangi jalanku. Aku pun terjatuh dan perhatian seisi kantin sekarang terpusat kepadaku terutama Kak Alathas.

"Ranti kamu tidak apa-apa?" tanya Kak Alathas padaku sambil membangunkanku.

"Tidak apa-apa Kak," jawabku.

"Coba mana saya lihat, tuh lihat kakimu lecet dan berdarah. Kamu sebaiknya pergi saja ke UKS dan tidak usah mengikuti kegiatan selanjutnya."

"EHEM! EHEM! ADA YANG CAPER TUH!" sindir Kak Ilene.

            Mendengar Kak Ilene berbicara seperti itu sepertina Alathas merasa kesal. Karena terlihat dari lirikannya yang sinis setelah mendengar sindirian itu. Dan benar Alathas tiba-tiba membentak Kak Ilene demi membela diriku yang sedang kesakitan.

"Apaan sih kamu Ilene, ini pasti gara-gara kamu 'kan?" bentak Alathas

"Apaan sih Al, kok kamu tiba-tiba menuduh aku?" sahut Kak Ilene dengan tegasnya seolah dia tidak bersalah.

            Kak Ilene tiba-tiba meningalkan aku dan Kak Alathas tanpa rasa bersalahnya. Aku langsung saja dibawa oleh Sheren menuju UKS dan diantar oleh pria kepala batu itu. Di sepanjang jalan aku hanya bisa bergumam mengenai tingkah laku Kak Alathas yang mau berbaik hati kepadaku.

"Gila, cowok ini baik juga ya ternyata. Aku kira sifat dinginnya dia gak akan peduli sama orang lain justru sebaliknya dia baik banget."

"Ran ... Ran ... Ran ... halo kamu baik-baik saja 'kan?" ucap Sheren sambil melambai-lambaikan tangannya ke mataku.

"Hhhh ... iya Sher ada apa?" jawabku sambil kebingungan.

"Tuh 'kan pasti kamu lagi melamun tentang ketos itu ya?" ledeknya.

"Apaan sih Sheren, sok tahu banget deh!"

"Iya deh, maaf," ucap Sheren.

            Hari ini ayah menjemputku untuk pulang karena ayah tahu takutnya aku tidak mendapatkan kendaraan umum untuk pulang. Saat aku bertemu ayah di gerbang sekolah, ayah terkejut ketika melihat lukaku ini. Diintrogasilah aku seperti berada di dalam sel penjara atas tuduhan tindakan kejahatan.

"Ayah jangan bertanya sekarang ya, nanti saja aku akan bercerita di rumah." Potongku sebelum ayah menanyakan hal itu padaku.

            Ayah menurutku seperti pahlawan yang berjuang pada masa perjuangan. Ayah selalu berusaha melindungiku dari serangan yang menimpa kepadaku. Namun, ayah seperti merasa gagal karena hari ini gagal melindungi putrinya dari serangan. Hatiku meleleh setelah mengerti sifat ayah yang selalu berusaha melindungiku. Bahkan ayah juga selalu membelaku jika ibu sedang memarahiku.

            Aku merasa sangat bersyukur memiliki ayah sepertinya. Aku pun merasa bahwa masa remajaku ini sangat dipenuhi oleh ayah setiap waktunya. Ayah selalu mendukungku dalam kondisi apapun itu. Ayah jika kamu tahu aku sedang memikirkanmu akan sifatmu pasti kau akan tersenyum dan ayah hanya satu yang ingin aku sampaikan kepadamu yaitu 'I LOVE YOU'.

            Tidak terasa perjalanan ini hanya sekejap mata bagiku. Entah aku yang terlalu fokus pada ayah atau memang waktunya yang diperlambat. Sesampainya di rumah ibu melihat luka yang tertera pada kakiku. Mulailah emosi ibu yang meluap-luap seakan terjadi banjir.

"Kamu kenapa lagi? Sepertinya setiap hari tanpa celaka menurutmu itu hidup terasa hampa ya? Pasti kamu berbuat ulah 'kan di sekolah?" tuduh ibu kepadaku.

            Aku hanya bisa menangis akan ucapan ibu. Aku pergi ke kamar dan mengumpat di bawah bantal. Aku hanya bisa bertanya kenapa Ibu selalu memarahiku? Apa salahku dan kenapa ibu tidak mau mendengar penjelasanku, perlakuan ini sangat berbeda dengan Alm. Kak Clafita. Dulu saat kakak masih hidup aku selalu disayang oleh ibu begitupun ke Kak Cla. Namun, sangat berbeda dengan sekarang watak ibu sangat berputar 180 derajat.

            Saat aku di kamar terdengar percakapan yang tidak biasa antara ayah dan ibu. Sepertinya mereka sedang beradu mulut karena percakapan mereka terdengar membentak satu sama lain. Aku tidak mau mendengar pertengkaran mereka dan aku hanya bisa menutup kupingku menggunakan bantal. Terasa sangat berat jika aku harus berhadapan dengan masalah ini.

            Waktu semakin malam, aku belum juga tertidur padahal aku harus menjalani hari-hariku dengan ceria. Mataku terlihat sembab akibat terlalu lama menangis dan secara tiba-tiba ayah membuka pintu kamarku dan aku langsung berpura-pura tidur.

"Ternyata putri mungilku sudah tidur," ucap ayah dibalik pintu.

            Aku mengira ayah langsung pergi dari kamarku setelah tahu aku sudah tidur. Ternyata ayah menghampiriku lebih dekat.

"Ranti, putri harapan Ayah semangat terus dan jangan sampai lengah," ucap ayah sambil mengecup keningku.

            Mata yang hanya berpura-pura ini menjadi saksi bisu di ruangan itu. Tak pernah menyangka begitu besar harapan ayah kepadaku. Mulai saat itu aku berusaha untuk mendorong diriku ini mendekati jalan kesuksesan karena kalau bukan aku sendiri yang melakukannya siapa lagi. Dan aku harus ingat perkataan kak Dio 'bekerjalah dengan ikhlas'. 

            Pagi ini kuawali dengan senyuman yang selebar-lebarnya untuk kupersembahkan kepada dunia. Burung-burung yang bersiul di pagi hari mengisi suasana hatiku yang gembira ini. Kusapa keluarga kecil ini di meja makan yang ukurannya tidak terlalu besar. Akan tetapi, rasanya masih sama ibu masih menggulungkan bibirnya tanpa mau membuka selebar-lebarnya. Hal itu tidak membuatku beban karena nanti aku akan mengubah cemberutnya ibu menjadi sebuah senyuman.

            Ayah masih sama seperti kemarin, mengantarkanku ke sekolah menggunakan motor kesayangannya. Di perjalanan, ayah menagih sesuatu kepadaku dan katanya aku mempunyai janji kepada ayah. Aku merasa bingung dengan pertanyaan itu karena aku tidak pernah mengucap janji ke ayah selain mengucapnya di dalam hatiku sendiri.

"Mm-maaf Ayah, janji apa ya? Ranti tidak pernah mengucap janji ke Ayah soalnya.

"Duh, anak Ayah kayaknya sudah mulai mena ya. Hahahaha," ledek ayahku.

"Ayah, aku nanya serius ke Ayah." Sedikit kesal dengan ledekkan ayah.

"Ututututu abak Ayah bisa marah juga, itu lho luka kamu kenapa katanya kamu mau cerita ke ayah."

"Oh masalah itu, aku kira janji apa ayah."

            Aku jelaskan semuanya kepada ayah atas apa yang terjadi pada diriku ini kemarin. Ayah hanya bisa memberikan beberapa saran supaya aku harus berhati-hati di sekolah. Terutama jika aku harus berusaha dengan anak kepala sekolah yang sombongnya setengah jiwa. Sangat terlihat kepedulian ayah melalui percakapan singkat ini. Sesampai di sekolah aku mengikuti kegiatan dengan lancar tanpa ada hambatan dan gangguan sedikitpun. Jadwal kegiatan hari ini yaitu pengenalan guru-guru di sekolah, ekstrakulikuler, dan program unggulan di sekolah ini. Dan ternyata di sekolah ini terdapat program unggulan berupa pertukaran pelajar. Dari situ aku merasa tertarik dan bersedia untuk mengikuti program tersebut. Hitung-hitung mewujudkan mimpi ayah yang selalu menaruh harapan penuh kepadaku. Dari pertemuan itu dijelaskan bahwa pertukaran pelajar syaratnya harus bergabung dengan organisasi di sekolah terutama Osis. Dan bisa menambah poin tambahan jika memiliki jabatan sebagai ketua Osis.

            Namun, aku harus berpikir dua kali karena jika aku harus ikut keanggotaan Osis pasti nanti aku akan bertemu dengan pria kepala batu itu. Dan pastinya aku akan diperlakukan seenaknya oleh dia, secara tugas ketua Osis yang aku tahu tunjuk sana-sini. Namun, aku harus berdiskusi terlebih dahulu dengan ayah supaya jelas ke depannya aku harus berbuat apa.

            Memang aku adalah anak satu-satunya yang ditaruhkan sebuah harapan yang besar di keluargaku terutama Ayahku. Dan aku adalah putri yang sangat dibenci oleh ibuku sendiri. Dan aku anak yang pernah gagal di waktu itu dan dengan ini aku ingin menjadi anak yang sukses untuk keluargaku. Permintaanku untuk sukses itu hanya memiliki satu tujuan yaitu melihat ibu tersenyum dan tidak selalu menyudutkan diriku.

            Hari ini aku pulang lebih awal dan aku pulang menggunakan kendaraan umum. Di rumah hanya ada aku dan ibu karena ayah harus kerja. Saat aku masuk ke rumah, terdengar suara tangisan di dalam kamar ibu. Karena rasa penasaranku tinggi kudekatilah sumber suara itu dan memastikannya bahwa tangisan itu dari kamar ibu. Dan benar, terlihat ibu yang sedang menangis sambil memegang foto Kak Clafita. Aku dengarkan tangisan ibu, siapa tahu ada jawaban yang bisa aku simpulkan mengenai sifat ibu kepadaku. Dan beruntung sekali pintu kamar ibu terbuka sedikit. Dari tangisan itu terdengar bahwa ibu menyebut-nyebut namaku.

"Cla ... maafkan Ibu nak, Ibu tidak bisa menjagamu. Ibu sudah menjadi orang tua yang gagal karena tidak bisa menjagamu. Dan maafkan Ibu Cla ... karena Ibu tidak bisa memberikan sifat Ibu yang asli kepada adikmu Ranti. Karena Ibu masih merasa kehilangan kamu Cla. Rasanya Ibu sangat sulit untuk membuka hati ini untuk bersikap adil kepada adikmu," ucap ibu sambil berusaha menahan tangisnya.

            Bagai ditampar petir kata-kata itu membuat hatiku hancur. Ternyata itu yang membuat ibu merasa benci kepadaku. Dan ternyata itu alasan yang membuat ibu selalu membandingkanku dan menyudutkan aku. Ternyata ibu belum ikhlas dengan kepergiannya Kak Clafita. Ibu tidak pernah memikirkan perasaanku, ibu selalu berpikir bahwa aku harus bisa segalanya dan tidak boleh melakukan kesalahan. Sungguh tertekan hidup dalam sebuah kekangan. Kamar menjadi tempat pelarian dan tangisan sebagai kunci pengaduan. Dan sembahyang sebagai kunci ketenangan dan kutadahkan tangan sembari menyebut asma Tuhan.

"Ya Allah, berikanlah hati yang luas untuk Ibu hamba. Hamba ingin, Ibu mengikhlaskan kepergian Kak Cla. Dan berikan kekuatan di dalam hatinya untuk menghadapi masalah di dunia ini yang fana Ya Allah." Pintaku pada Tuhan.

            Aku sudah tidak paham lagi dengan kondisi diriku yang sekarang. Entah sampai kapan diri ini tidak mengeluarkan air mata kesedihan. Dan entah sampai kapan diri ini harus mengatakan kamu harus bertahan. Jika hidupku hanyalah sebuah tekanan. Katanya kalau hidup banyak gaya pasti banyak tekanan tetapi kenapa hukum fisika itu tidak berlaku pada diriku. Hidupku biasa saja tetapi mengapa tekanan terus berdatangan. Aku hanya bisa menduga bahwa tekanan ini untuk menguji sebuah keimanan dan menguji sejauh mana aku harus bisa bertahan.

            Pada hakikatnya seorang manusia dalam perihal bertahan harus dihadapkan dua pilihan yaitu dengan cara sabar atau bubar. Mungkin untuk saat ini aku harus bersabar supaya diriku ini tidak terlihat buyar. Menjadi seorang yang pura-pura bahagia itu tidaklah menyenangkan karena harus menyembunyikan senyuman kepalsuan. Beban banyak bukan berarti kita harus selesaikan secara sendirian berbagilah dengan orang lain karena berbagi itu cerminan sebuah kebahagiaan. Sama halnya sepertiku yang selalu menyumbangkan beban kepada ayah ketika bertukar pikian sehingga menghasilkan sebuah keputusan yang mengharuskan aku mengikuti program pertukaran pelajar walaupun harus mengikuti organisasi kepengurusan.

            Kuikuti kemauan ayah dan kujalani sepenuh hati. Aku mulai mendaftar kesana kemari bersama Sheren. Karena dia pun ingin mencoba program pertukaran pelajar itu. Saat mendaftar aku bertemu dengan teman baru sebut saja Devina. Dan mulai saat itu juga kita sudah merasa akrab dan dia terlihat senang ketika kumpul bersama kami. Dan kami membuat sebuah geng ala-ala dengan sebutan tiga srikandi yang kebetulan kami kumpulan dari wanita-wanita yang menurut kami sangat hebat.

            Setelah mendaftar, kami harus menunggu hasil pengumuman seminggu kemudian. Karena dibutuhkan waktu yang lama untuk seleksi masuk keanggotaan Osis. Dan seleksinya itu benar-benar seleksi yang sangat selektif banget karena kita dilihat dari nilai rapor serta kepribadian kita selama di sekolah dasar. Harapanku cuman satu semoga aku bisa lulus tahap seleksi karena aku ingin menjadi peserta pertukaran pelajaran di sekolah ini.

            Tidak terasa waktu datang begitu cepat seperti cepatnya kilat. Waktu pengumuman seleksi pun sudah diberitakan oleh tim media sekolah. Syukur pada tuhan kupanjatkan, namaku tercantum dalam deretan nama yang diterima dalam keanggotan Osis yang artinya aku bisa mengikuti seleksi pertukaran pelajaran. Setelah ini aku harus bisa membagi waktuku yaitu waktu untuk belajar dan organisasi. Jangan sampai aku menelantarkan keduanya.

            Seiring berjalannya waktu, aku selalu berusaha untuk memprioritaskan kegiatan pembelajaran. Bahkan aku bisa melewati semester pertama ini dengan prestasi yang membanggakan bagi diriku sendiri. Di sekolah ini aku bisa membawa piala penghargaan walaupun hanya sebatas peringkat pertama di kelas. Aku tidak boleh terlalu bangga terlebih dahulu karena nantinya aku takut merasa puas dengan hasilku dan pada akhirnya aku menjadi lalai untuk belajar.

            Di samping kesibukanku dengan buku-buku, aku pun selalu mengikuti seminar di sekolah tentang pertukaran pelajar. Ternyata banyak tingkatannya ada yang nasional dan internasional. Aku berharap bahwa nanti aku bisa lulus seleksi pertukaran pelajar internasional karena aku sangat ingin pergi ke luar negri dan mengenyam pendidikan di sana. Di acara seminar tersebut aku bertemu dengan Dinda, bahagia sekali rasanya bertemu dengan dia. Ingin tahu rasanya seperti apa? Rasanya seperti anda menjadi Ironman, haha. Kulambaikan tanganku kepada Dinda tetapi Dinda membalas dengan senyuman yang sinis kepadaku. Aku terheran-heran dengan respon dia yang sinis itu. Kini, pikiranku terbagi menjadi dua yaitu antara memikirkan Ddinda dan seminar hari ini.

            Aku merasa bosan dengan seminar hari ini karena aku tidak bisa fokus dengan materi yang disampaikan oleh pemateri. Tiba-tiba dari arah samping muncul Kak Alathas dan dia duduk di sampingku.

"Gak ada angin gak ada badai tiba-tiba main duduk saja," sindirku pada pria kepala batu itu.

Dengan sifat dinginnya dia menjawab. " Masalah ya? Emang ini sekolah milikmu ya?"

            Greget rasanya diri ini setelah mendengar si kepala batu itu.

"Bukan sih," ungkaku.

"Yaudah."

"Terus mau apa di sini? 'kan sudah mau lulus bentar lagi?" tanyaku kembali.

"Ga boleh?" tanya dia.

"Ya boleh," ujarku.

            Dia hanya melirikku setelah aku menjawab pertanyaan dia. Jika dipikir dua kali memang benar sih, ini 'kan bukan sekolahku juga dan fasilitas di sini milik semua warga sekolah di sini. Lagian dia juga pantas ada di seminar ini karena dia ketua Osis di sini. Duh Ranti, bodoh banget dih aku jadi orang. Jadinya 'kan malu sendiri dan yang aku takutkan dari dia yaitu aku takut disangka mencari bahan obrolan sama dia.

            Sepulang dari seminar, guruku langsung menghubungiku bahwa aku harus menghampirinya untuk membahas masalah pertukaran pelajar. Rata-rata guru di sekolahku sudah tahu bahwa aku ingin ikut program seleksi pertukaran pelajar. Bahkan teman-temanku juga rata-rata tahu aku ingin mendapatkan itu sampai aku dijuluki 'naks ambis' yang artinya anak yang ambisius. Namun, aku senang karena aku bisa dikenal banyak orang karena prestasi bukan sensasi.

"Selamat siang, bu, maaf menganggu waktunya. Saya Ranti."

"Siang, oh kemari Ran."

"Baik bu," sahutku.

"Jadi gini, untuk seleksi program pertukaran pelajar itu kan ada dua tahapan. Nah, tahap pertama itu dimulainya senin depan sedangkan tahap duanya itu nanti kisaran satu minggu mau kelulusan kelas 9. Apakah kamu siap dengan seleksinya?" tanya guruku.

"Sangat siap," aku menjwab dengan penuh keoptimisan.

"Wah bagus sekali, persiapkan dengan baik ya nak," pesan guruku.

"Baik bu."

              Aku persiapkan semuanya untuk proses seleksi itu. Saat ini prioritasku hanya itu karena aku pikir lebih baik babak belur terlebih dahulu dan senangnya di akhir. Aku belajar setiap hari bahkan belajarnya itu dalam satu hari bisa 9-10 jam. Dan tidak lupa restu orang tua itu yang utama karena bisa menjadi doa untuk lulus proses seleksi ini.

              Hari ini, aku melakukan tahap seleksi awal rasanya jantung kaya mau copot. Akan tetapi, aku harus tenang karena kalau aku tenang pasti mengerjakan soalnya akan lancar. Aku langsung masuk ke ruang ujian dan ketika aku masuk rasanya dingin sekali. Namun, setelah melihat soal rasanya tenang sekali karena tipe soalnya itu hampir sama dengan yang aku pelajari. Di akhir, ada soal yang mengilustrasikan tokohnya itu Alathas dan Ranti padahal soal ini kan materi peuang memangnya tidak bisa diilustrasikan dengan benda seperti bola, dadu, atau kartu bridge. Soal ini membuatku menjadi salah tingkah karena selalu teringat wajah Alathas. Untungnya saja aku bisa menghapus wajah dia di benakku sehingga aku bisa menyelesaikan ulangan ini dengan santai. Dan masalah hasil aku serahkan kepada Tuhan karena aku sudah berusaha pasti Tuhan akan memberikan yang terbaik.

              Tidak lama dari proses seleksi tibalah pengumuman peserta siapa saja yang lulus tahap awal. Akhirnya aku merasa lega karena di dalam pengumuman itu namaku berada di posisi teratas dengan peraih nilai tertinggi. Atas pencapaianku ini, pasti ayah dan ibu akan merasa senang dan bangga kepadaku. Selain itu, teman-temanku mengucap rasa bangga mereka kepadaku. Contohnya sahabatku sendiri yaitu Sheren dan Devina. Namun, berbeda dengan Dinda seakan dia terlihat marah dan kesal kepadaku. Mungkin dia merasa iri terhadap pencapaianku dan hanya itulah dugaan yang ada di benakku. Selain teman-teman, guruku memberikan ucapan selamat dan semangat kepadaku. Sama hal nya dengan pria kepala batu itu, dia memberikan ucapan selamat sekaligus memberikan coklat dengan sikap dinginnya.

"Nih buat kamu." Alathas menyodorkan coklat itu tepat ke hadapan mukaku.

"Hah? Maksudnya apa?" aku bertanya seolah-olah aku tidak tahu akan maksud tujuan pria kepala batu itu.

"Terima saja, tulisannya ada di dalam," ungkapnya.

"Oh, terima kasih," ucapku.

              Tidak tahu kenapa rasanya sangat bahagia menjalani hari ini. Selain aku bisa menjadi urutan pertama dalam seleksi tahap awal aku pun mendapatkan coklat dari cowok aneh itu. Aku senyum-senyum sendiri di jalanan sambil menatapi coklat itu berulang-ulang. Sepertinya sudah waktunya untuk menyatakan tetapi aku terlalu gengsi untuk mengungkapkannya.

              Di rumah aku langsung bercerita terhadap orang tuaku. Respon ibu alhamdulillah baik sekali tentang mendengar beritaku ini. Dan respon ayah jangan ditebak lagi karena ayah sangat dan selalu bangga atas pencapaian diriku. Aku berjanji di hadapan mereka bahwa aku bisa lulus seleksi tahap kedua dan mereka mendoakan dan mengiyakan janjiku ini.

              Hari demi hari kuisi dengan buku-buku yang tebalnya melebihi buku KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Latihan soal kugarap setiap hari karena supaya terlatih dengan berbagai macam tipe soal. Dan tidak terasa aku menghabiskan waktuku bersama buku sudah mau menginjak tes tahap kedua. Tahap kedua ini menurutku soalnya lebih banyak dan tingkat kesukarannya sangat memiliki level yang sangat tinggi. Dan seleksi itu akan diadakan seminggu lagi, aku pun mempersiapkannya lebih baik lagi supaya aku bisa lulus seleksi tahap kedua.

              Sepulang sekolah, niatnya aku akan langsung pulang ke rumah tetapi Alathas mengajakku untuk pergi ke suatu mall. Sebenarnya aku sangat malas karena aku harus belajar dan materi yang aku harus pelajari itu masih banyak bahkan tidak bisa dihitung oleh jari. Akan tetapi, di sisi lain aku bimbang untuk menolaknya karena ini 'kan kali pertama dia mengajakku untuk pergi bersama.

"Kenapa harus aku? Kenapa gak yang lain?" tanyaku kepadanya dengan sifat jual mahalnya diriku ini.

"Kalau aku inginnya sama kamu bagaimana? Kok maksa?" tegasnya padaku.

"Ya ... yaudah lupakan saja." Aku memotong pembicaraan itu karena malas bertengkar dengannya.

              Aku langsung naik ke motornya dan saat aku sampai gerbang aku melihat Dinda yang hendak pulang sendirian.

"Hai, Din," sapaku kepadanya.

"..."

              Sapaanku tidak dijawab oleh Dinda bahkan dia mengalihkan pandangannya kepadaku. Dan terlihat dia selalu sinis kepadaku ketika aku hendak mengajak bicara dengannya.

              Kak Alathas mengendarai motornya sudah seperti pembalap terkenal yang ada di televisi. Dia berani serong kanan dan kiri selain itu juga dia berani mengendarai kendaraannya di atas 100 km/jam dalam keadaan macet ringan. Kalau tahu gini, tadi aku lebih baik menolaknya daripada harus menaruhkan nyawa. Dan tidak terasa aku sampai ke suatu toko yang isinya jas lelaki dan berupa gaun pengantin. Dari situ aku terkejut, apakah dia mau melamarku ya? Pikirku di dalam otak ini yang penuh dengan kehaluan. Di sana Kak Alathas mencoba jasnya satu per satu dan tidak lupa dia menanyakan kondisi jasnya cocok tidak di badannya. Duh, rasanya ingin sekali berkata kepadanya, "Mas kamu itu kalau pakai baju apa-apa juga sudah ganteng banget'. Akan tetapi, hal itu sudah tidak mungkin karena aku dan dia ibarat perkedel rumahan dan stik kentang restoran. Jadi, aku sadar diri saja bahwa aku tidak pantas untuk dia.

              Daripada selalu melihat orang yang gonta-ganti baju aku merasa iseng saja untuk mencoba suatu gaun pengantin yang ada di butik sana. Aku ganti terlebih dahulu di ruang ganti. Setelah aku keluar dari bilik itu, semua perhatian tertuju kepadaku. Rasanya aku sedang menjadi princess yang sedang menikmati udara luar dan indahnya alam semesta. Kak Alathas saja sampai heran melihat kondisiku sekarang dengan balutan gaun pengantin ini.

"Iii-ini kamu, Ran? Cantik sekali," ungkapnya sambil terus menatapku tanpa henti-hentinya

"Apaan sih kak, biasa saja deh!" tegurku padanya.

"Benar Ran, aku serius Ran," ucapnya kembali.

"Hehehe terima kasih, Kak." Dengan memberi sedikit senyuman karena tersipu malu.

"Oh iya Kak, tujuan Kakak ke sini buat beli jas saja? Untuk apa?" tanyaku.

"Iya, beli jas saja. Jas ini akan saya pakai nanti pas acara perpisahan sekolah 'kan waktunya sebentar lagi," jelasnya.

"Oh, iya benar juga sih."

              Akhirnya Alathas menemukan jas yang cocok dipakai olehnya. Dan menurutku jas itu menambah aura yang baik terhadap tampilan Alathas. Kami pun bergegas pulang setelah belanja di toko itu. Ini kedua kalinya aku pulang bersama dia rasanya sangat berbeda dengan kejadian saat itu. Sekarang jalanan ini diisi oleh obrolan kami yang cenderung bahagia bahkan aku pun selalu ketawa ketika dia berbicara sesuatu yang menurutku lucu. Tiba-tiba saat aku tertawa lepas tangan dia menarik tanganku dan aku sangat terkejut dengan perlakuan dia ke aku dan tanganku ditarik dan diisyaratkan untuk berpegangan kepada pinggangnya tetapi anehnya tanganku tidak dilepaskan terus digenggam oleh jari jemarinya.

"Kak, kenapa tanganku gak dilepas?" tanyaku.

"Ingin tahu?" jawabnya.

"Iya Kak."

"Kakak mau jujur bahwa selama ini Kakak suka ke kamu. Kakak rasanya sangat nyaman kalau sedang berduaan denganmu. Apakah kamu sama dengan Kakak? Menyimpan perasaan tetapi malu untuk mengungkapkannya" tanya Alathas.

              Bingung rasanya harus mengungkapkan perasaanku kepadanya karena dia sudah berani jujur terlebih dahulu kepadaku. Dan apakah harus berkata jujur kepadanya karena aku juga memendam rasa yang sama? Ah Tuhan mengapa harus sekarang.

"Sebenarnya ... aku juga sama seperti Kakak. Aku memendamnya sudah terlalu lama sejak pertemuan pertama kita," ucapku dengan lirih.

"Jadi .... Mau bagaimana?" tanya Alathas.

"..." jawabku diam dan hanya menganggukkan kepala.

"Akhirnya, kita bisa bersama. Dan Kakak janji akan merahasiakan hal ini."

              Aku hanya tersenyum lebar di kaca spion yang sebagai tanda bukti aku benar tulus kepadanya. Dan jiwa pembalap dia keluar sehingga diriku hampir terpental tetapi ini seperti disengaja supaya aku berpegangan erat kepadanya.

              Setelah kejadian itu kami selalu bertemu bahkan aku sering diantar pulang olehnya. Hari ini saatnya seleksi tahap kedua, aku sangat siap untuk menjalani seleksi tahap ini. Aku pun mendapat dukungan banyak dari teman-teman bahkan dari Alathas. Selama seleksi berlangsung aku ditunggu oleh Alathas, dia menungguku di luar ruangan. Dan aku pun bisa melihat posisi dia duduk dari dalam ruangan. Muka Alathas terlihat sangat tegang dan sepertinya dia memikirkanku. Padahal jika kau tahu aku itu tidak apa-apa Alathas, aku sangat menikmati seleksi ini karena aku yakin hasil belajarku tidak akan menghianati hasil.

              Sekitar dua jam, akhirnya aku bisa keluar dari ruangan seleksi. Seperti biasa aku tidak pernah memikirkan hasilnya karena aku serahkan kepada-Nya. Dan Alathas pun merasa senang karena aku berhasil menyelesaikan seleksi itu. Aku pun langsung pulang diantarkan oleh Alathas sampai rumah. Hari ini adalah hari pengakuan kami berdua karena kami ceritakan semuanya dimulai dari kekesalan, panggilanku untuk Alathas, cerita saat aku MOS, dan banyak lagi. Dan saat pengakuan itu tiba-tiba dia berkata bahwa pengumuman seleksi program pertukaran pelajar ini diumumkan saat nanti perpisahan.

              Kami pun sampai di rumah dan aku langsung bercerita ke ayah bahwa tadi aku sudah melaksanakan seleksi tahap kedua. Dan respon ayah sangat baik dan dia mendoakan yang terbaik untuk putrinya yang tercinta yaitu aku. Tiba-tiba ibu pun datang dari arah dapur dan ikut mendoakanku juga. Rasanya lega ketika ibu sudah berubah seperti dulu sifatnya.

              Waktu berjalan begitu cepat dan waktu satu minggu itu rasanya sangat singkat menurutku. Hari ini adalah hari perpisahan kelas 9 dan hari perpisahanku dengan Alathas. Entah itu perpisahan karena dia yang lulus atau aku yang lulus ujian program pertukaran pelajar atau juga aku yang menetap di sekolah ini karena tidak masuk ke dalam daftar penyisihan.

              Alathas hari ini terlihat sangat gagah dengan jasnya yang berwarna hita legam itu. Dasi yang terpasang di lehernya menambah aura yang berkarisma bagiku. Dan gaya jalan dia terlihat seperti seorang pangeran yang sedang mencari putri seorang raja untuk dipinang olehnya.

"Eh, ternyata kamu di sini Ran. Aku tadi mencarimu ke ruang Osis ternyata kamunya ada di sini," ucapnya.

"Heheh iya Kak, ganteng banget hari ini," celetukku kepadanya.

"Ya iya aku kan harus terlihat bahagia di hari terakhirku di sekolah. Kapan lagi 'kan kamu melihatku seperti ini," bisik Alathas kepadaku.

              Hingga di ujung acara, tibalah saatnya untuk pemberian bunga kepada guru-guru tercinta sebagai  tanda terima kasih atas pengorbanannya. Namun, berbeda dengan Alathas dia menarikku ke belakang dan menjauhi keramaian. Ternyata dia ingin memberikan  bunganya untukku bukan untuk guru.

"Loh, inikan untuk guru Kak. Kenapa Kakak memberikannya kepadaku?" tanyaku.

"Tidak apa-apa terima saja, Kakak sengaja beli bunga ini untukmu. Kalau masalah untuk guru Kakak punya cadangannya."

"Tetapi, sebagai tanda apa?" tanyaku.

"Kamu menanyakan sebagai tanda apa? Ini tanda terima kasih Kakak kepadamu karena telah hadir di waktu yang tepat."

              Jantungku berdebar lebih kencang mendengar Alathas berkata seperti itu kepadaku. Namun, kembali mereda ketika Devina dan Sheren menghampiriku untuk memberi sebuah surat.

"OOOOOWWW! Ketahuan nih lagi berduaan," surak Devina dan Sheren.

"Hehehe ... ada apa sih kalian? Ganggu aja," aku tersipu malu.

"Jadi sekarang udah jadian nih?" ucap Devina.

"HORE! AKHIRNYA!!!!" sambung Sheren.

"Hahaha ... pesta besar nih di rumah Ranti," celetuk Devina.

"Oh iya Ran, tadi aku bertemu Dinda katanya dia ingin bertemu denganmu. Lokasinya ada di amplop itu," ujar Sheren.

              Aku menerima amplop itu dan aku harus berpamitan kepada Alathas karena aku harus bertemu dengan Dinda. Namun, ketika aku berjalan menuju lokasi yang tertera di amplop aku mendengar tentang pengumuman siswa yang lulus seleksi program pertukaran pelajar. Dan setelah semuanya disebutkan namaku tidak tercantum di dalamnya. Kecewa rasanya ketika aku harus gagal dan membuat kesedihan kembali untuk orang tuaku. Aku langsung pergi lari ke toilet sekolah, aku menangis di toilet itu dan tidak ada seorang pun yang tahu keberadaanku. Aku luapkan rasa kecewaku di toilet itu. Tiba-tiba aku teringat amplop yang diberikan oleh Sheren dan Devina, ternyata isi amplop itu adalah foto-fotoku bersama Alathas ketika aku diantar oleh Alathas pulang ke rumah saat pertama kali. Foto-foto itu persis dengan foto yang terpampang di mading sekolah saat pertama aku masuk ke sekolah ini.  Sangat terkejut melihat foto-foto itu tetapi aku belum berani menyimpulkan bahwa foto itu sengaja diambil oleh Dinda.

              Tidak lama aku keluar dari toilet dengan wajahku yang sembab ini. Tiba-tiba dari arah pintu masuk muncul Dinda, aku sangat heran ketika dia muncul. Akan tetapi, tadi dalam surat tercantum bahwa Dinda posisinya ada di tempat yang tertera di amplop. Apakah ini yang dimaksud tempatnya?

"Menangis bagi sang penghianat itu tidak artinya," ucap Dinda dengan lantang.

"Maksudnya Din?" tanyaku.

"Sebuah ikatan janji yang dimiliki dua orang sahabat itu sangatlah sakral untuk diingkari apalagi yang membuat janjinya terlebih dahulu. Hapus air matamu Ran, untuk apa air mata itu. Kamu yang memulai dan kamu yang menuai, kamu yang berjanji tetapi kamu yang mengingkari, dasar pengecut!" ucap Dinda.

"Tt-api aku tidak pernah berpikir seperti itu Din," jelasku pada Dinda.

"Mana ada maling ngaku! Ranti yang terkenal baik, sopan, polos itu mana? Sudah hilang Ranti yang dulu! Kamu juga sudah berani pacaran Ran apalagi sama ketua Osis. Sungguh keterlaluan kamu Ran, kamu bisanya hanya menghianati sebuah perjanjian! Dan sekarang kamu udah tahu 'kan foto di mading itu siapa yang menyebarkannya? Ya itu aku!" ucap Dinda dengan segala pengakuannya.

              Dinda meninggalkan aku sendirian di toilet dan kini suaraku mengisi ruang di toilet itu. Penyesalan sekaligus sebuah pembelajaran sudah kutelan bulat-bulat. Setelah kejadian ini aku mempelajari banyak hal dimulai dari hal yang terkecil.

              Aku pulang dan membawa kabar yang menyedihkan. Aku meminta maaf kepada ayah dan ibu bahwasannya aku tidak bisa mendapatkan tiket pertukaran pelajar. Aku sepertinya sudah menjadi anak yang gagal bahkan selalu menipu orang tua akan hasil kerja kerasku sendiri. Namun, namanya orang tua pasti akan selalu mendukung setiap langkah anaknya. Dan benar, ayah dan ibu tidak merasa kecewa kepadaku tetapi mereka bangga karena aku sudah berani untuk melangkah lebih jauh dibandingkan sebelumnya.

              Setahun sudah kejadian itu telah kulewati, Alathas kini tak kunjung datang bahkan untuk bertukar kabar pun tidak pernah. Tidak tahu mau dibawa ke  mana hubungan ini bahkan untuk menyebut kata sudah dalam hubungan  saja kini terasa berat karena harus memutuskan secara sepihak. Dan harus kuputuskan sendiri bahwa hubungan ini harus diakhiri walaupun tidak ada yang saling mengakhiri. Untuk Alathas aku harap kamu akan kembali untuk bertemu dengan bidadari yang selendangnya kau bawa sehingga harus terus diam di bumi.

***

PUPUS HARAPAN

          Dua tahun kemudian. Braaaaaaaak! Aku bantingkan pintu kamarku. Kesedihan kini datang kembali kepadaku seolah tiada hentinya cobaan itu datang kepadaku. Sempat berpikir bahwa Tuhan tidak adil berperilaku kepadaku. Alathas menghilang dan pekerjaan ayah pun hilang. Tempat kerja ayah terpaksa harus menggulung tikar karena di perusahaan itu banyak tikus berdasi yang membawa banyak uang. Sayangnya, kucing penjaga di perusahaan itu terlalu polos untuk menangkap tikus ini. Kini, ayah menjadi pengangguran bahkan uang pesangon dari perusahaan tidak diberi.

              Ayah sampai saat ini belum mempunyai pekerjaan yang tetap. Ayah hanya mengandalkan kerja serabutan dari hasil pertanian di desa. Ibu terpaksa harus bekerja sebagai cuci buruh di rumah tetangga. Dan aku kini menjadi wanita dewasa yang duduk di bangku SMA kelas tiga yang ingin mengejar cita-cita tetapi terhalang oleh biaya.

              Suatu hari saat kami berkumpul keluarga di tengah rumah tiba-tiba ayah membahas masalah kuliah.

"Ran, ayah ingin berbicara sesuatu kepadamu," ucap ayah.

"Boleh yah ... ada apa?" tanyaku pada ayah seolah-olah tidak tahu apa yang akan dibicarakan ayah. Padahal aku sudah tahu karena aku telah mendengar pembicaraan ini saat aku lewat kamar ayah.

              Ayah merasa kebingungan karena ayah tidak tahu bagaimana menyampaikannya kepadaku. Terlihat dari gestur ayah yang saling melempar pandangan dengan ibu.

"Jadi gini ... Mmmm ..." ayah gugup.

"Jadi ... apa yah?" tanyaku.

"Mmmm jadi gini, ayah dan ibu mohon maaf sekali karena ayah tidak bisa menguliahkanmu untuk tahun ini karena ayah kesusahan untuk mencari biayanya. Kamu tahu sendiri 'kan untuk makan saja kita sangat kesulitan apalagi untuk kuliah." Jelas ayah kepadaku.  

              Walaupun aku sudah tahu akan membicarakan hal itu tetapi rasanya sangat sedih sekali. Air mata membanjiri ruangan itu karena ayah dan ibu pun ikut menangis. Padahal tidak seharusnya ayah dan ibu menjatuhkan air matanya untuk hal ini. Segera kuhapus air mata ini karena aku ingin terlihat bahagia dan kuat walau kenyataannya tidak sekuat dan sebahagia itu.

"Ayah, Ibu, terima kasih sebelumnya karena kalian sudah berkorab untukku selama ini. Dan aku ikhlas jika aku tidak kuliah karena masih banyak jalan menuju roma. Dan aku janji tahun ini aku akan membahagiakan kalian," ungkapku pada mereka.

"Terima kasih nak, kau sudah mengerti dengan keadaan kita sekarang," sahut ibu.

              Aku memulai kembali rutinitasku sebagai pelajar yakni belajar. Pertemananku di SMA berbeda kini aku cenderung menjadi seorang yang pendiam dibandingkan aku yang dulunya periang. Aku trauma dengan masa laluku karena untuk apa aku berteman kalau pada akhirnya mereka menghilang. Devina dan Sheren pun tidak tahu ke mana sekarang bahkan Alathas yang menjadi pacar akupun tidak pernah kudengar kabarnya. Namun, biarlah yang lalu tetap berlalu dan kehidupan sekarang biarkanlah sebagai pacuan untuk menata masa depan. Akan tetapi, jangan sampai melupakan masa lalu karena itu bisa dijadikan sebagai sumber ilmu yang akan mengajarkanmu, menuntunmu, dan membenarkan  kehidupanmu yang dulu.

              Sebelum pulang ke rumah aku selalu menyempatkan untuk pergi ke warnet terlebih dahulu. Uang jajanku selalu aku sisihkan sebagian untuk pergi ke warung internet (warnet). Tujuanku selalu pergi ke warnet yaitu untuk mencari info tentang beasiswa di berbagai universitas negri di Indonesia.

              Berita miring yang kerap bertebaran di masyarakat tentangku tidak pernah aku masukkan ke dalam hati karena aku tahu kalau menguruskan hal yang tidak penting tidak akan membuatku maju lebih jauh. Biarkan Tuhan saja yang menilai karena Tuhan lebih tahu bagaimana cara menghakimi yang benar. Ayah dan ibu tidak tahu bahwa aku selalu pergi ke warnet untuk mencari info beasiswa karena aku sengaja biarkan saja menjadi kejutan bagi mereka.

              Hari demi hari kulewati dan tidak terasa aku sudah mau kelulusan yang tandanya aku akan menghadapkan kehidupan yang sebenarnya. Dan aku harus siap menerima pengumuman dari berbagai universitas yang aku masukkan data diriku untuk mendapatkan beasiswa di sana. Dan akhirnya aku diterima di 25 universitas negri di Indonesia dengan beasiswa yang aku ajukan saat itu. Aku sangat senang ketika membuka halaman web beasiswa tersebut satu per satu. Dan aku segera memberi tahu pengumuman ini kepada Ayah dan Ibu.

"Ayah, Ibu, lihatlah aku sekarang!" ucapku  sambil berlari kehadapan mereka.

"Ada apa Ranti?" tanya Ibu.

"Aku diterima di 25 universitas di Indonesia dalam program beasiswa. Ini hadiah untuk kalian berdua dan maafkan aku jika selalu pulang sore dan inilah alasanku," tangisan terharu mengalir di pipiku.

              Mereka terlihat sangat bahagia ketika mendapatkan kabar baik dariku. dan untukmu ayah terima kasih kau sudah berkata jujur padaku. Dan untukmu ibu terima kasih telah mendorong ayah untuk berani jujur kepadaku. Aku tidak tahu bagaimana jadinya jika aku tidak melakukan hal ini sebelum kalian berkata jujur kepadaku.

              Untuk melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi aku memilih Universitas Gadjah Mada karena itulah cita-citaku dari dulu. Dan jarak dari rumah ke univeritas itu tidak terlalu jauh jadi aku bisa menghemat ongkos. Selama menganyam pendidikan di sana aku berusaha untuk konsisten belajar. Aku pun tidak berani untuk macam-macam melakukan sesuatu di kampus ini karena tujuanku harus sukses karir terlebih dahulu dibandingkan yang lain. Dan alhamdulillah aku mendapatkan beasiswa kembali untuk melanjutkan S-2 di luar negeri khususnya dalam program pertukaran pelajar. Dan akhirnya aku bisa merasakan kuliah di luar negeri melalui program pertukaran pelajar.

              Ayah dan ibu sangat bangga karena aku bisa berhasil kuliah di luar negeri tanpa membebankan mereka karena biaya. Aku pun di sana bertemu dengan banyak orang bahkan aku harus menjaga perilaku karena ayah berpesan kepadaku bahwa kita harus mengikuti peraturan yang ada di tempat yang sedang kita singgahi. Dan beruntungnya aku karena ada teman dari Indonesianjuga di sana. Maudi namanya, dia lulusan dari Universitas Indonesia yang sekaligus mendapatkan sepuluh beasiswa di berbagai kampus negeri di Indonesia. Kami pun berbincang-bincang bahkan kami pun bisa disebut satu asrama di sana.

              Maudi selalu mengajarkanku apa arti dari sebuah kesuksesan dan kami pun sering membuat rencana untuk kedepannya terutama untuk negeriku tercinta. Kehdiupanku di sana pun tidak seindah di Indonesia. Mungkin karena aku orang Asia jadi dipandang sebelah mata sehingga sangat susah untuk bergaul di sana. Aku dan Maudi jika ada kelas pun selalu paling terakhir jika dipanggil oleh dosen. Dan kami pun semakin yakin bahwa orang Asia itu sangat direndahkan.

              Suatu hari aku ada kelas dan dosenku memberikan sebuah pertanyaan tentang cita-citamu untuk dunia.

"If you as a president in your country. What do you want to change in your country?" the lecturer asked.

              Seperti biasanya dosenku ini lebih mementingkan mahasiswa di negaranya dibandingkan mahasiswa dari luar sepertiku. Padahal aku menjawab pertanyaan itu sangat cepat dan aku duluan yang mengangkat tangan tetapi yang ditunjuk pertama itu orang lain dan aku selalu ditunjuk terakhir untuk menjawab pertanyaan dosen itu.  Dan kini giliran aku yang menjawab pertanyaan itu.

"For the last one you," the lecturer pointed at me.

" Previously, allow me to answer your question. If I am elected president in my country, I will make changes to education especially for children. Because I learned from my experience that a child's failure in learning several times will decide his future because there is no support from around. The ridicule and humiliation that happens to them will make them think less and at the end will choose to drop out of school. Therefore, I want to change the character of students from an educational perspective." 

"Enough or do you want to add your talks?" the lacturer asked me.

"In addition, I want to change the way people perceive differences. Because differences will bring out a unity," I said.

              Setelah menjawab pertanyaan dosen, aku mendapatkan apresiasi dari teman-temanku. Padahal menurutku jawaban yang tadi aku lontarkan itu biasa saja tidak ada apa-apanya dibandingkan temanku yang lain. Akhirnya kelas hari ini selesai dan aku bisa pulang cepat ke asrama. Namun, ketika hendak pulang aku berpapasan dengan dosen yang mengajarku tadi dan tiba-tiba dia menghentikan langkahku.

"Hi, Ranti. I'm Mr. Planck, can I speak with you?" the lecturer asked me.

"Oh, of course. Where?"

              Mr. Planck mengajakku ke ruangannya dan sepertinya Mr. Planck akan membicarakan hal yang penting kepadaku.

"First, forgive me Ranti if during the lessons I always called you last. Because you are always covered by your friend's body who is taller in front of you."

"No problem Mr. Planck. I have forgiven of you," I said.

"Thank you Ranti. So, how if you graduate later you go straight to work with me to build this country," the offer from Mr. Planck.

"Thank you for the offer, Mr. Planck. I'm sorry I can't work with you and I just want to contribute to Indonesia, which is my own country," I'm sorry to him.

"It's okay, I understand with your goal of success. Ranti, I hope you will be successful in your own way and change this world for the better."

"Aamiin, thank you, Mr. Planck."

              Tidak terasa waktu begitu cepat berlalu dan akhirnya aku bisa menyelesaikan pendidikanku dengan cepat bahkan sebelum waktunya dengan gelar cumlaude. Kedatanganku di Indonesia disambut baik oleh para dosen-dosen dan rektor semasa aku kuliah di Universitas Gadjah Mada. Orang tuaku terlihat bangga karena anaknya bisa lulus dan selamat sepulang kuliah di Stanford University. Aku pun bangga dengan diriku sendiri karena mau mengubah dunia dengan kegagalan di masa laluku.

              Lima tahun kemudia kontribusiku terhadap Indonesia semakin baik. Aku sering diundang ke acara-acara televisi nasional maupun swasta untuk menjadi motivator bagi anak-anak bangsa yang ingin berjuang demi Indonesia. Aku pun menjadi brand ambassador pendidikan di Indonesia. Kini aku pun telah membangun dua puluh lima sekolah bagia anak-anak yang kurang menerima pendidikan di daerahnya karena keterbatasan wilayah. Sekolah itu di antaranya terdiri dari delapan  sekolah luar biasa, 9 sekolah dasar, dan sisanya untuk sekolah menengah pertama. Bangga rasanya bisa ikut andil dalam memajukan negara Indonesia dengan cara mencerdaskan anak-anak bangsa. 

              Suatu hari aku diundang untuk menghadiri acara seminar tentang program pertukaran pelajar bersama Presiden Indonesia. Aku ditemani oleh ayah, ibu, dan nenek untuk hadir dalam acara itu. Saat kami sedang bersiap-siap posisi televisi masih menyala dan terdengar siaran berita yang menyatakan 100 orang berpengaruh di dunia. Dalam berita itu reporter menyebutkan namaku dan terkejutlah aku karena masuk daftar 100 orang berpengaruh di dunia. Aku hanya tersenyum senang ketika ayah, ibu, dan nenek menatapku karena mendengar berita yang sama.

              Setelah menghadiri pertemuan itu aku mempelajari banyak hal. Ternyata orang yang sukses itu bukan yang banyak uang tetapi banyak melakukan pengorbanan terutama untuk kepentingan bersama. Dan menjadi orang yang sukses itu bukan orang yang gayanya selangit tetapi orang yang merendah serendah-serendahnya supaya tidak direndahakan. Dan menjadi orang yang sukses itu bukan orang yang ingin sesuatu langsung ada di depan mata tetapi orang yang jika ingin sesuatu harus dengan berproses terlebih dahulu. Dan orang yang sukses itu bukan yang mobilnya di mana-mana tetapi orang yang sukses itu orang yang dikenal di mana-mana karena kepribadiannya. Namun, hal ini tergantung kepada persepsi orang lain juga dalam mengartikan sukses itu seperti apa.

              Percayalah terhadap pengorbananmu karena jika kau sungguh-sungguh dalam mencapai sesuatu usahamu itu akan berbuah manis. Namun, jika kau melakukan pengorbananmu dengan cara yang dinanti-nanti untuk mengerjakan sesuatu lihatlah nanti apakah buahmu itu menghasilkan rasa yang manis atau justru sebaliknya. Ingatlah pepatah yang mengatakan berakit-rakit ke hulu berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian. Namun, apakah semua orang tidak boleh untuk santai? Apakah semua orang tidak boleh untuk gagal? Jawabannya boleh. Akan tetapi, siapkah anda untuk memperbaikinya dan memulainya kembali untuk menjadi yang lebih baik tanpa menyalahkan kepada dirimu akan kegagalanmu.

  Kenali dirimu dan mau dibawa ke mana dirimu itu? 

  Cintai dirimu dan banggakan orang di sekitarmu! 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun