Mohon tunggu...
Raka Abbiyan Permana
Raka Abbiyan Permana Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Menulis adalah inspirasiku

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Gagal Dulu, Gagal Lagi, Sukses Terus!

21 Februari 2021   11:31 Diperbarui: 21 Februari 2021   11:36 1357
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kamu kenapa lagi? Sepertinya setiap hari tanpa celaka menurutmu itu hidup terasa hampa ya? Pasti kamu berbuat ulah 'kan di sekolah?" tuduh ibu kepadaku.

            Aku hanya bisa menangis akan ucapan ibu. Aku pergi ke kamar dan mengumpat di bawah bantal. Aku hanya bisa bertanya kenapa Ibu selalu memarahiku? Apa salahku dan kenapa ibu tidak mau mendengar penjelasanku, perlakuan ini sangat berbeda dengan Alm. Kak Clafita. Dulu saat kakak masih hidup aku selalu disayang oleh ibu begitupun ke Kak Cla. Namun, sangat berbeda dengan sekarang watak ibu sangat berputar 180 derajat.

            Saat aku di kamar terdengar percakapan yang tidak biasa antara ayah dan ibu. Sepertinya mereka sedang beradu mulut karena percakapan mereka terdengar membentak satu sama lain. Aku tidak mau mendengar pertengkaran mereka dan aku hanya bisa menutup kupingku menggunakan bantal. Terasa sangat berat jika aku harus berhadapan dengan masalah ini.

            Waktu semakin malam, aku belum juga tertidur padahal aku harus menjalani hari-hariku dengan ceria. Mataku terlihat sembab akibat terlalu lama menangis dan secara tiba-tiba ayah membuka pintu kamarku dan aku langsung berpura-pura tidur.

"Ternyata putri mungilku sudah tidur," ucap ayah dibalik pintu.

            Aku mengira ayah langsung pergi dari kamarku setelah tahu aku sudah tidur. Ternyata ayah menghampiriku lebih dekat.

"Ranti, putri harapan Ayah semangat terus dan jangan sampai lengah," ucap ayah sambil mengecup keningku.

            Mata yang hanya berpura-pura ini menjadi saksi bisu di ruangan itu. Tak pernah menyangka begitu besar harapan ayah kepadaku. Mulai saat itu aku berusaha untuk mendorong diriku ini mendekati jalan kesuksesan karena kalau bukan aku sendiri yang melakukannya siapa lagi. Dan aku harus ingat perkataan kak Dio 'bekerjalah dengan ikhlas'. 

            Pagi ini kuawali dengan senyuman yang selebar-lebarnya untuk kupersembahkan kepada dunia. Burung-burung yang bersiul di pagi hari mengisi suasana hatiku yang gembira ini. Kusapa keluarga kecil ini di meja makan yang ukurannya tidak terlalu besar. Akan tetapi, rasanya masih sama ibu masih menggulungkan bibirnya tanpa mau membuka selebar-lebarnya. Hal itu tidak membuatku beban karena nanti aku akan mengubah cemberutnya ibu menjadi sebuah senyuman.

            Ayah masih sama seperti kemarin, mengantarkanku ke sekolah menggunakan motor kesayangannya. Di perjalanan, ayah menagih sesuatu kepadaku dan katanya aku mempunyai janji kepada ayah. Aku merasa bingung dengan pertanyaan itu karena aku tidak pernah mengucap janji ke ayah selain mengucapnya di dalam hatiku sendiri.

"Mm-maaf Ayah, janji apa ya? Ranti tidak pernah mengucap janji ke Ayah soalnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun