Mohon tunggu...
Doppo Bungaku
Doppo Bungaku Mohon Tunggu... Pendongeng Pemula

Konon, ada seorang pengembara yang memikul ransel berisi serpihan cerita. Ia mendengar bisikan pohon tua, percakapan api unggun, dan nyanyian anak-anak yang terlupakan. Semua ia simpan, satu per satu, hingga terkumpul menjadi mozaik dongeng yang bisa membuat siapa pun kembali percaya pada keajaiban.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Lo cunto de li cunti atau Pentamerone: Hari Pertama

5 Oktober 2025   09:03 Diperbarui: 5 Oktober 2025   09:03 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Il Pentamerone, Volume II (1636) --- Wikimedia Commons 

 

Di manakah kau, di manakah kau, muradku? Dan jiwa kejam manakah, yang lebih keras daripada kelelawar, yang telah merusak pot indahku ini? Oh perburuan terkutuk, engkau telah memburu hingga mati setiap kebahagiaanku! Aduh, tamatlah riwayatku, habislah aku, ajal telah menjemputku, hari-hariku sudah berakhir; aku tak mungkin bisa hidup tanpa kehidupanku sendiri yang tercinta; aku akan dipaksa untuk meregangkan kaki terakhirku, sebab tanpa kekasihku, tidur hanyalah siksaan, makanan racun, kesenangan sembelit, dan hidup buah yang getir."

 

Sang pangeran melontarkan kata-kata itu dan masih banyak lagi ratapan lainnya yang sanggup menggerakkan batu-batu di jalan. Setelah lama berkeluh-kesah, melantunkan nyanyian duka yang getir, penuh derita dan murka, di mana ia tak pernah memejamkan mata untuk tidur atau membuka mulut untuk makan, akhirnya ia begitu dikuasai oleh penderitaan hingga wajahnya, yang dulunya merah cemerlang bak minium dari timur, kini berubah pucat seperti arsenik, dan daging bibirnya pun tampak seperti lemak tengik.

 

Ketika peri itu, yang telah mulai tumbuh kembali dari sisa-sisa yang diletakkan dalam pot, melihat bagaimana kekasih malangnya itu mencabuti rambutnya dan melemparkan tubuhnya ke sana kemari, dan bagaimana ia telah berubah menjadi sekadar segenggam kecil tubuh berwarna pucat seperti orang Spanyol yang sakit, seperti kadal kurus, sari kol, penyakit kuning, sebuah pir, pantat burung pematuk ara, dan kentut serigala, ia pun tergerak oleh belas kasih dan meloncat keluar dari pot seperti cahaya lilin yang memancar dari lentera buta.

 

Ia menjelma di hadapan Cola Marchione dan, merengkuhnya dalam pelukan, berkata, "Sudahlah, hiburlah dirimu, pangeranku, cukup sudah, cukup sudah! Akhiri ratapan itu, keringkan air matamu, tinggalkan kemarahanmu, lunakkan wajah murammu! Lihatlah, aku di sini, hidup dan cantik, meski ada burung-burung tua itu yang, setelah mereka memecahkan kepalaku, memperlakukan tubuhku seperti Typhon memperlakukan saudaranya yang malang!"

 

Menyaksikan ini, ketika sama sekali tak disangka-sangka, sang pangeran seolah kembali hidup. Dan ketika warna kembali ke pipinya, hangat kembali ke darahnya, dan roh kembali ke dadanya, ia mencurahkan seribu belaian dan pelukan, ciuman dan remasan padanya, lalu ingin mengetahui dari awal hingga akhir segala yang telah terjadi.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun