Â
Di manakah kau, di manakah kau, muradku? Dan jiwa kejam manakah, yang lebih keras daripada kelelawar, yang telah merusak pot indahku ini? Oh perburuan terkutuk, engkau telah memburu hingga mati setiap kebahagiaanku! Aduh, tamatlah riwayatku, habislah aku, ajal telah menjemputku, hari-hariku sudah berakhir; aku tak mungkin bisa hidup tanpa kehidupanku sendiri yang tercinta; aku akan dipaksa untuk meregangkan kaki terakhirku, sebab tanpa kekasihku, tidur hanyalah siksaan, makanan racun, kesenangan sembelit, dan hidup buah yang getir."
Â
Sang pangeran melontarkan kata-kata itu dan masih banyak lagi ratapan lainnya yang sanggup menggerakkan batu-batu di jalan. Setelah lama berkeluh-kesah, melantunkan nyanyian duka yang getir, penuh derita dan murka, di mana ia tak pernah memejamkan mata untuk tidur atau membuka mulut untuk makan, akhirnya ia begitu dikuasai oleh penderitaan hingga wajahnya, yang dulunya merah cemerlang bak minium dari timur, kini berubah pucat seperti arsenik, dan daging bibirnya pun tampak seperti lemak tengik.
Â
Ketika peri itu, yang telah mulai tumbuh kembali dari sisa-sisa yang diletakkan dalam pot, melihat bagaimana kekasih malangnya itu mencabuti rambutnya dan melemparkan tubuhnya ke sana kemari, dan bagaimana ia telah berubah menjadi sekadar segenggam kecil tubuh berwarna pucat seperti orang Spanyol yang sakit, seperti kadal kurus, sari kol, penyakit kuning, sebuah pir, pantat burung pematuk ara, dan kentut serigala, ia pun tergerak oleh belas kasih dan meloncat keluar dari pot seperti cahaya lilin yang memancar dari lentera buta.
Â
Ia menjelma di hadapan Cola Marchione dan, merengkuhnya dalam pelukan, berkata, "Sudahlah, hiburlah dirimu, pangeranku, cukup sudah, cukup sudah! Akhiri ratapan itu, keringkan air matamu, tinggalkan kemarahanmu, lunakkan wajah murammu! Lihatlah, aku di sini, hidup dan cantik, meski ada burung-burung tua itu yang, setelah mereka memecahkan kepalaku, memperlakukan tubuhku seperti Typhon memperlakukan saudaranya yang malang!"
Â
Menyaksikan ini, ketika sama sekali tak disangka-sangka, sang pangeran seolah kembali hidup. Dan ketika warna kembali ke pipinya, hangat kembali ke darahnya, dan roh kembali ke dadanya, ia mencurahkan seribu belaian dan pelukan, ciuman dan remasan padanya, lalu ingin mengetahui dari awal hingga akhir segala yang telah terjadi.
Â
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130