Mohon tunggu...
Doppo Bungaku
Doppo Bungaku Mohon Tunggu... Pendongeng Pemula

Konon, ada seorang pengembara yang memikul ransel berisi serpihan cerita. Ia mendengar bisikan pohon tua, percakapan api unggun, dan nyanyian anak-anak yang terlupakan. Semua ia simpan, satu per satu, hingga terkumpul menjadi mozaik dongeng yang bisa membuat siapa pun kembali percaya pada keajaiban.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Lo cunto de li cunti atau Pentamerone: Hari Pertama

5 Oktober 2025   09:03 Diperbarui: 5 Oktober 2025   09:03 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Giambattista Basile (sumber: Wikimedia Commons / Nicolaus Perrey, setelah Jacobus Pecini) 

Ia kecil dan cebol, serupa seikat ranting kering; kepalanya lebih besar daripada labu raksasa dari India; dahinya penuh benjolan; alisnya bertaut satu; matanya menonjol keluar; hidungnya seperti dua lubang hidung kuda yang tampak menganga seperti saluran got; mulutnya selebar alat pemeras anggur, dengan dua gading menjuntai hingga menyentuh tulang-tulang kecil di kakinya; dadanya berbulu lebat; lengannya kurus panjang bagai gulungan benang pintal; kakinya melengkung seperti pintu gudang bawah tanah; dan telapak kakinya rata lebar seperti kaki bebek. Singkatnya, ia tampak seperti roh jahat, iblis tua, pengemis busuk, gambaran hidup dari bayangan keji, yang akan membuat Roland sendiri gemetar ketakutan, Skanderbeg menggigil ngeri, dan pegulat paling tangguh sekalipun pucat pasi.

 

Namun Antuono, yang tak akan bergeming bahkan meski ditembak dengan ketapel, menundukkan kepala dan berkata kepadanya: "Selamat siang, tuan, apa kabar? Bagaimana keadaan Anda? Perlukah sesuatu? Jauh lagikah jalan ke tempat tujuan saya?"

 

Sang ogre, mendengar sapaan ini yang datang tiba-tiba, tertawa terbahak, dan karena ia menyukai watak si tolol ini, ia berkata kepadanya: "Maukah kau bekerja untukku?" Dan Antuono menjawab, "Berapa bayarnya sebulan?" Ogre itu pun berkata, "Cukup layani aku dengan setia; kita akan rukun dan kau akan melihat hari-hari baik." Maka perjanjian pun terikat, dan Antuono tinggal untuk mengabdi kepada sang ogre, di mana makanan dilemparkan ke wajahnya, dan soal pekerjaan, ia hidup bagaikan domba di padang rumput.

 

Dalam empat hari saja ia menjadi gemuk seperti orang Turki, perutnya sebesar lembu, gagah seperti ayam jantan, merah seperti udang rebus, hijau seperti bawang putih, bulat seperti kastanye, dan begitu tambun serta kekar hingga hampir tak bisa melihat melewati hidungnya sendiri.

 

Namun sebelum genap dua tahun berlalu, Antuono mulai jemu akan segala kelimpahan itu, dan lahirlah kerinduan serta hasrat membara dalam dirinya untuk sekali saja menengok Pascarola, kampung halamannya. Begitu besar kerinduannya akan rumah kecilnya, hingga tubuhnya hampir menyusut kembali seperti semula.

 

Ogre itu, yang dapat menembus isi hati dan mengenali dari baunya bahwa pantat Antuono gatal bagaikan orang yang tak terurus, memanggilnya dan berkata, "Antuono tersayangku, aku tahu kau terbakar rindu ingin melihat darah dagingmu sendiri. Karena aku mencintaimu bagaikan biji mataku, aku rela kau pulang sejenak untuk bersenang hati. Maka ambillah keledai ini, yang akan menghemat tenagamu di perjalanan. Tapi waspadalah, jangan sekali pun kau ucapkan, 'Majulah, beraklah emas,' kepadanya, atau kau akan menyesal, demi arwah kakekku."

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun