Mohon tunggu...
Doppo Bungaku
Doppo Bungaku Mohon Tunggu... Pendongeng Pemula

Konon, ada seorang pengembara yang memikul ransel berisi serpihan cerita. Ia mendengar bisikan pohon tua, percakapan api unggun, dan nyanyian anak-anak yang terlupakan. Semua ia simpan, satu per satu, hingga terkumpul menjadi mozaik dongeng yang bisa membuat siapa pun kembali percaya pada keajaiban.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Lo cunto de li cunti atau Pentamerone: Hari Pertama

5 Oktober 2025   09:03 Diperbarui: 5 Oktober 2025   09:03 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Giambattista Basile (sumber: Wikimedia Commons / Nicolaus Perrey, setelah Jacobus Pecini) 

 

Melihat isi perut keledai itu terkuras demikian rupa, Masella yang malang, yang semula menaruh harapan besar untuk memperkaya kemiskinannya, kini mendapati dirinya malah dengan pondasi yang terlalu murah hati hingga seluruh rumahnya berbau busuk. Maka ia pun meraih sebatang tongkat dan, tanpa memberi putranya waktu untuk menunjukkan batu apung yang ia bawa, menghajar Antuono begitu rupa hingga ia segera kabur kembali ke rumah ogre.

 

Ogre itu melihat Antuono datang, lebih mirip berlari daripada berjalan, dan karena ia tahu apa yang telah terjadi sebab ia memang makhluk gaib, ia pun menegurnya habis-habisan. Ia memanggilnya tak berguna, oh-ibu-tersayang-minumlah-pil-ini, tolol, serigala bodoh, bebal, barang rongsokan, kepala mie, pemakan kastanye, dungu, kasar, dan pandir, yang demi seekor keledai yang sudah dilumuri harta, malah menukar dirinya dengan binatang yang hanya pandai menghasilkan mozzarella tiruan.

 

Antuono menelan pil pahit itu dan bersumpah bahwa takkan pernah lagi ia membiarkan dirinya dibodohi dan ditertawakan oleh manusia.

 

Namun sebelum setahun berlalu, ia kembali terserang penyakit yang sama, kerinduan untuk melihat sanak keluarga. Ogre itu, meski berwajah buruk namun berhati baik, memberinya bukan hanya izin untuk pulang, tetapi juga sebuah taplak meja indah. Ia berkata, "Bawalah ini kepada ibumu, tetapi berhati-hatilah jangan berlaku seperti keledai sebagaimana dulu. Jangan ucapkan 'terbukalah' atau 'tertutuplah, taplak meja' sebelum engkau sampai di rumah, sebab bila kau kembali tertimpa musibah, itu urusanmu sendiri. Sekarang pergilah dengan doaku, dan segera kembalilah."

 

Maka Antuono pun berangkat, namun tak jauh dari gua ia sudah meletakkan taplak itu di tanah dan buru-buru berkata, "Terbukalah, taplak meja! Tertutuplah, taplak meja!"

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun