Tercengang oleh keputusan mendadak ini, Fonzo bertanya kepadanya apa alasannya. Namun Canneloro menjawab, "Janganlah, sahabatku Fonzo, mencoba mencari tahu lebih jauh. Cukuplah kau ketahui bahwa aku dipaksa untuk pergi. Hanya langit yang tahu, bahwa saat aku meninggalkanmu wahai jantung hatiku. jiwaku seakan ditarik-tarik keluar dari dadaku, ragaku tercerai dari rohku, dan darahku berlari kencang bagaikan anak-anak yang bermain kejar-kejaran di dalam nadiku. Tapi karena tak ada jalan lain, jagalah dirimu, dan kenanglah aku."
Â
Setelah mereka berpelukan, Canneloro pergi ke kamarnya dalam keadaan berputus asa. Di sana ia mengenakan baju zirah dan menyandang sebilah pedang. pedang yang lahir dari keajaiban saat hati naga dimasak dahulu. Lengkap dengan persenjataan, ia mengambil seekor kuda dari kandang, dan ketika hendak meletakkan kakinya di sanggurdi, Fonzo masuk sambil menangis.
Â
Ia memohon, bila memang Canneloro bersikeras meninggalkannya, setidaknya tinggalkanlah sebuah tanda kasih, agar Fonzo dapat mengurangi nestapa karena berpisah dengannya.
Â
Mendengar itu, Canneloro mencabut belatinya, menikamkannya ke tanah, dan seketika memancarlah sebuah mata air yang jernih. Ia berkata kepada sang pangeran. "Inilah kenang-kenangan terbaik yang bisa kutinggalkan padamu. Dari aliran sumber mata air ini engkau akan tahu keadaan hidupku. Bila airnya jernih, ketahuilah bahwa aku pun berada dalam keadaan tenang dan selamat. Bila keruh, bayangkanlah bahwa aku sedang dalam kesulitan. Dan bila suatu hari kau mendapati sumber ini kering (semoga langit tak menghendakinya), ketahuilah bahwa minyak pelita hidupku telah habis, dan aku sudah berada di hadapan takdir."
Â
Setelah itu, ia menghunus pedangnya, menghentakkannya ke tanah, dan muncullah sebatang semak murad. Ia berkata lagi, "Bila kau melihatnya hijau, ketahuilah aku masih segar bagai bawang hijau. Bila layu, berarti nasibku pun merosot. Dan bila ia kering sepenuhnya, engkau boleh mengenangku dengan doa untuk arwahmu yang terkasih, Canneloro."
Â
Usai mengucapkan kata-kata itu, mereka kembali berpelukan erat. Lalu Canneloro berangkat, berjalan jauh melintasi negeri, mengarungi banyak peristiwa yang panjang bila harus diceritakan satu per satu: perkelahian dengan kusir kereta, tipu daya para penjaga penginapan, pengkhianatan para penjaga bea cukai, bahaya jalan-jalan penuh perampok, dan diare yang timbul karena ketakutan akan para pencuri.
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130