Mohon tunggu...
Doppo Bungaku
Doppo Bungaku Mohon Tunggu... Pendongeng Pemula

Konon, ada seorang pengembara yang memikul ransel berisi serpihan cerita. Ia mendengar bisikan pohon tua, percakapan api unggun, dan nyanyian anak-anak yang terlupakan. Semua ia simpan, satu per satu, hingga terkumpul menjadi mozaik dongeng yang bisa membuat siapa pun kembali percaya pada keajaiban.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Lo cunto de li cunti atau Pentamerone: Hari Pertama

5 Oktober 2025   09:03 Diperbarui: 5 Oktober 2025   09:03 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Giambattista Basile (sumber: Wikimedia Commons / Nicolaus Perrey, setelah Jacobus Pecini) 

 

Maka jangan berdiri di situ, membiarkan kulitmu membayar sewa pada kain dan tukang cukur sekaligus. Mulailah berjalan saat ini juga, dan semoga tak ada satu pun dari urusanmu, baik yang lama maupun yang baru, yang diketahui orang kecuali jika kau ingin tertangkap kaki. Lebih baik menjadi burung di hutan daripada yang terkurung di sangkar. Ini uang; pergilah ambil salah satu dari dua kuda ajaib yang kusimpan di kandangku, dan seekor anjing betina, yang juga bertuah. Dan jangan menunggu lebih lama lagi: lebih baik menghentakkan kakimu daripada ada orang yang mengikuti setiap langkahmu; lebih baik menaruh kakimu di atas tengkukmu sendiri daripada membuat tengkukmu tergantung di antara kakimu; lebih baik, akhirnya, berjalan seribu langkah daripada berakhir dengan tiga hasta tali melilit lehermu. Jika kau tidak berkemas, bahkan Baldus maupun Bartolus pun takkan mampu menolongmu."

 

Setelah meminta restu ayahnya, Cienzo menaiki kuda, membawa anjing kecil itu di bawah lengannya, lalu mulai berderap keluar kota. Tetapi begitu ia melewati Porta Capuana, ia menoleh ke belakang dan mulai berkata, "Inilah aku pergi, Napoli indahku, kutinggalkan dirimu! Siapa tahu apakah aku akan bisa melihatmu lagi, bata-bata gula dan tembok-tembok kue manis, tempat batu-batumu adalah manna bagi perut, balok-balok kayumu adalah tebu, pintu dan jendelamu kue lapis?

 

Aduh! Berpisah darimu, Pennino nan jelita, bagaikan berjalan di belakang panji kematian! Berpisah darimu, Piazza Larga, jiwaku terjepit sempit! Meninggalkanmu, Piazza dell'Olmo, seakan hatiku terbelah dua! Terpisah darimu, Lancieri, bagaikan tertusuk tombak Katalan! Di manakah akan kutemukan Porto lain, pelabuhan manis dari segala kekayaan dunia?

 

Meninggalkanmu, Forcella, jiwaku tercabik dari tulang rawan hatiku! Di mana ada Gelsi lain, tempat ulat-ulat sutra cinta menenun kepompong kesenangan tanpa henti? Di mana ada Pertuso lain, persinggahan segala orang budiman? Di mana ada Loggia lain, tempat kelimpahan bersemayam dan kenikmatan dimurnikan?

 

Aduh! Lavinaro-ku, tak sanggup aku meninggalkanmu tanpa aliran air mata jatuh dari mataku! Tak sanggup aku meninggalkanmu, O Mercato, tanpa seonggok duka sebagai barang dagangan! Indahnya Chiaia, aku tak dapat berpisah darimu tanpa seribu luka menyiksa hatiku!

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun