Di desa Miano, hiduplah seorang suami dan istri. Karena mereka bahkan tak memiliki tunas seorang anak pun, mereka begitu mendambakan seorang pewaris. Dan sang istri, khususnya, selalu berkata, "Oh, Tuhan, seandainya aku bisa melahirkan sesuatu ke dunia ini, aku tak peduli jika itu hanyalah sebatang ranting murad"' Dan begitu sering ia mengulang-ulang nyanyian itu, dan begitu lama ia mengusik langit dengan kata-kata tersebut, hingga akhirnya perutnya membuncit dan rahimnya membulat. Dan setelah sembilan bulan berlalu, alih-alih menyerahkan ke pangkuan bidan seorang bayi lelaki kecil bagai boneka atau bayi perempuan mungil bagai desahan, ia justru melahirkan dari ladang Elysium dalam rahimnya sebuah ranting murad yang indah.
Â
Ia menanam ranting itu dalam sebuah pot berhias ragam ornamen, menaruhnya di jendela, dan dengan penuh kegembiraan merawatnya pagi dan petang, dengan ketekunan yang melebihi seorang petani yang menjaga kebun brokolinya, yang darinya ia berharap dapat membayar sewa tanahnya.
Â
Ketika si murad telah tumbuh begitu indah hingga tampak tak ada bandingnya, kebetulan seorang pangeran yang kebetulan lewat jalan itu melihatnya, dan ia pun jatuh cinta padanya. Ia membeli ranting itu dari pemiliknya, lalu membawanya ke kamar pribadinya, dan menaruhnya di jendela.
Â
Ia lalu datang dan pergi setiap hari, mengamati tanaman itu, merawatnya, menyiraminya, dan mengaguminya sampai-sampai ia nyaris kehilangan akal. Dan setiap kali ia meninggalkan kamar itu, ia memelihara ranting itu dengan sorot mata penuh cinta, dan setiap kali ia kembali, hatinya semakin terikat pada pesonanya, sehingga tak satu pun momen berlalu tanpa memikirkan si murad.
Â
Kini, kebetulan bahwa ketika pangeran pergi keluar, dari ranting itu keluarlah seorang gadis rupawan, yang berjalan ke sekeliling ruangan bagai dewi dari surga. Jika kau lihat betapa memesonanya ia: rambutnya laksana emas berkilau, kulitnya bagai susu dan mawar, matanya seperti dua bintang, bibirnya ibarat delima yang terbuka, dan tubuhnya ramping bagai tongkat lilin.
Ia pun duduk di kursi, memintal emas halus, menenun sutra, menyulam kain, membersihkan kamar, dan menata segala sesuatu hingga tampak indah bagaikan istana seorang ratu. Tetapi, ketika ia mendengar pangeran mendekat, dengan secepat kilat ia kembali masuk ke dalam ranting itu. Dan sekali lagi, ranting itu tampak hanya sebagai sebuah tanaman, indah dipandang mata, namun tak seorang pun mengira di baliknya tersembunyi rahasia agung."
Â
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130