Â
Sekarang ia mengagumi rambutnya, sebagian terurai di bahu, sebagian lagi terikat dengan pita emas yang bahkan membuat Sang Matahari iri; lalu ia menatap bulu matanya, busur silang yang membidik hati; lalu ia memandang matanya, lentera buta dari ronda Cinta; kemudian ia merenungi mulutnya, pemeras anggur asmara tempat Para Pesona menekan kebahagiaan dan memperoleh manisan Greco serta anggur gurih Mangiaguerra.
Â
Ia bergoyang ke kiri dan ke kanan seperti balok goyah, hampir kehilangan akal sehatnya ketika melihat perhiasan dan permata yang menggantung di lehernya serta pakaian agung yang ia kenakan. Berkata kepada dirinya sendiri, ia berseru, "Apakah aku sedang tidur atau terjaga? Apakah aku masih berakal sehat atau sudah gila? Apakah aku diriku sendiri, atau bukan diriku? Gerakan macam apa yang membuat bola indah ini menimpa seorang raja, hingga aku dijatuhkan ke jurang kebinasaan? Celakalah aku, binasalah aku bila aku tidak menarik diri dari ini! Bagaimana matahari ini bisa terbit? Bagaimana bunga ini bisa mekar? Bagaimana burung ini bisa menetas, hingga ia dapat menarik hasratku bagaikan kail? Perahu macam apa yang membawanya ke negeri ini? Awan macam apa yang menurunkannya? Arus keindahan macam apa yang menyeretku lurus ke lautan nestapa?"
Â
Sambil mengucapkan kata-kata itu ia melayang menuruni tangga dan berlari menuju taman, di mana ia datang menghadap perempuan tua yang telah berubah rupa, dan hampir menyentuh tanah dengan wajahnya, ia berkata kepadanya, "Wahai merpati kecil wajah manis, wahai boneka mungil Para Pesona, merpati agung dari kereta Venus, pedati kemenangan Sang Cinta! Bila engkau berhasrat merendam hatimu di Sungai Sarno, bila biji-biji tebu tak menyumbat telingamu dan tahi burung pipit tak menimpa matamu, maka pasti engkau dapat melihat dan mendengar derita serta siksa yang, secara langsung maupun pantulan, telah dicurahkan keelokanmu ke dalam dadaku.
Â
Dan bila engkau tak dapat menduga, dari wajah kelabu ini, racun yang mendidih di dadaku; bila engkau tak dapat membayangkan, dari nyala api helaan napas ini, tungku menyala yang membakar nadi-nadiku; maka setidaknya, bila engkau berhati welas dan bijaksana, engkau dapat menebak, dari emas rambutmu, tali apa yang mengikatku; dari hitam matamu, bara apa yang memanggangku; dari lengkung merah bibirmu, anak panah apa yang menembusku.
Â
Maka jangan tutup pintu belas kasih, jangan angkat jembatan kemurahan, jangan hentikan saluran penghiburan! Jika wajah jelitamu ini tak sudi memberiku pengampunan, berikanlah sekurang-kurangnya jaminan kata-kata manis, izin janji atau dua, serta tanda harapan indah. Jika tidak, aku akan membawa sandal rumahku jauh dari sini, dan engkau takkan lagi melihat bentuknya."
Â
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130