Raja dibuat sengsara sedemikian rupa hingga ia bahkan tidak bisa kentut tanpa membuat perempuan-perempuan tua itu meringis sambil mengernyitkan hidung. Mereka terus menggerutu dan mengaduh seperti cumi-cumi yang menggeliat hanya karena perkara sepele. Pertama, mereka mengeluh bahwa bunga melati yang jatuh dari atas telah menimbulkan benjol di kepala salah seorang dari mereka. Lalu, mereka menuduh bahwa sehelai surat yang tercabik telah menyebabkan bahu salah satu dari mereka terkilir. Kemudian, mereka juga bersumpah bahwa segenggam debu telah membuat salah seorang di antara mereka memar di pahanya.
Â
Mendengar semua kepekaan yang teramat berlebihan ini, raja pun menyimpulkan bahwa di bawah dirinya tinggal inti kelembutan, potongan terbaik dari daging paling lezat, bunga dari segala kelembutan. Oleh sebab itu ia diliputi kerinduan sampai ke tulang-tulang kecil di kakinya, dan keinginan yang menembus hingga sumsum tulangnya untuk melihat keajaiban ini dan mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang perkara itu.
Â
Maka mulailah sang raja mengirimkan desah rindu, berdeham padahal tak ada yang perlu dikeluarkan, dan akhirnya berbicara dengan lebih berani, berseru,
"Di manakah engkau bersembunyi, wahai permata, cahaya, keindahan dunia?
 Keluarlah, keluarlah, wahai Matahari, hangatkanlah kaisarmu!
 Bukalah tabir pesona itu, tampakkanlah lampu dari toko Cinta itu, julurkanlah kepala mungil nan anggun itu, wahai lumbung yang dipenuhi harta kecantikan!
 Janganlah begitu kikir untuk membiarkan dirimu terlihat!
Â
Bukalah pintu bagi sang elang malang ini!
 Berikanlah aku anugerah jika engkau ingin memberikannya!
 Ijinkan aku melihat alat yang darinya mengalun suara merdu itu!
 Tunjukkanlah bel kecil tempat denting indah itu terlahir!
 Biarkan aku menangkap sekilas pandang akan burung elok itu!
 Jangan membuatku seperti domba dari Ponto yang merumput hanya pada pahitnya absintus, dengan menolak membiarkan aku melihat dan memuja keindahan segala keindahan itu!"
Â
Namun semua ucapan sang raja tak lebih dari nyanyian Gloria tanpa jemaat, sebab kedua perempuan tua itu telah menutup telinga mereka rapat-rapat. Tetapi justru sikap itu menambah kayu pada api raja: ia merasakan dirinya dipanaskan bagaikan besi dalam tungku nafsu, dijepit oleh penjepit kebimbangan, dan dihantam oleh palu derita asmara, semua itu hanya untuk menempa kunci yang dapat membuka peti perhiasan yang membuatnya sekarat karena rindu.
Dan ia tidak berhenti di situ; ia terus memohon, terus melancarkan serangan, tanpa henti mencari jalan untuk menaklukkan hati yang tersembunyi itu.
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130