Mohon tunggu...
Doppo Bungaku
Doppo Bungaku Mohon Tunggu... Pendongeng Pemula

Konon, ada seorang pengembara yang memikul ransel berisi serpihan cerita. Ia mendengar bisikan pohon tua, percakapan api unggun, dan nyanyian anak-anak yang terlupakan. Semua ia simpan, satu per satu, hingga terkumpul menjadi mozaik dongeng yang bisa membuat siapa pun kembali percaya pada keajaiban.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Lo cunto de li cunti atau Pentamerone: Hari Pertama

5 Oktober 2025   09:03 Diperbarui: 5 Oktober 2025   09:03 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Giambattista Basile (sumber: Wikimedia Commons / Nicolaus Perrey, setelah Jacobus Pecini) 

Raja dibuat sengsara sedemikian rupa hingga ia bahkan tidak bisa kentut tanpa membuat perempuan-perempuan tua itu meringis sambil mengernyitkan hidung. Mereka terus menggerutu dan mengaduh seperti cumi-cumi yang menggeliat hanya karena perkara sepele. Pertama, mereka mengeluh bahwa bunga melati yang jatuh dari atas telah menimbulkan benjol di kepala salah seorang dari mereka. Lalu, mereka menuduh bahwa sehelai surat yang tercabik telah menyebabkan bahu salah satu dari mereka terkilir. Kemudian, mereka juga bersumpah bahwa segenggam debu telah membuat salah seorang di antara mereka memar di pahanya.

 

Mendengar semua kepekaan yang teramat berlebihan ini, raja pun menyimpulkan bahwa di bawah dirinya tinggal inti kelembutan, potongan terbaik dari daging paling lezat, bunga dari segala kelembutan. Oleh sebab itu ia diliputi kerinduan sampai ke tulang-tulang kecil di kakinya, dan keinginan yang menembus hingga sumsum tulangnya untuk melihat keajaiban ini dan mendapatkan gambaran yang lebih jelas tentang perkara itu.

 

Maka mulailah sang raja mengirimkan desah rindu, berdeham padahal tak ada yang perlu dikeluarkan, dan akhirnya berbicara dengan lebih berani, berseru,

"Di manakah engkau bersembunyi, wahai permata, cahaya, keindahan dunia?
 Keluarlah, keluarlah, wahai Matahari, hangatkanlah kaisarmu!
 Bukalah tabir pesona itu, tampakkanlah lampu dari toko Cinta itu, julurkanlah kepala mungil nan anggun itu, wahai lumbung yang dipenuhi harta kecantikan!
 Janganlah begitu kikir untuk membiarkan dirimu terlihat!

 

Bukalah pintu bagi sang elang malang ini!
 Berikanlah aku anugerah jika engkau ingin memberikannya!
 Ijinkan aku melihat alat yang darinya mengalun suara merdu itu!
 Tunjukkanlah bel kecil tempat denting indah itu terlahir!
 Biarkan aku menangkap sekilas pandang akan burung elok itu!
 Jangan membuatku seperti domba dari Ponto yang merumput hanya pada pahitnya absintus, dengan menolak membiarkan aku melihat dan memuja keindahan segala keindahan itu!"

 

Namun semua ucapan sang raja tak lebih dari nyanyian Gloria tanpa jemaat, sebab kedua perempuan tua itu telah menutup telinga mereka rapat-rapat. Tetapi justru sikap itu menambah kayu pada api raja: ia merasakan dirinya dipanaskan bagaikan besi dalam tungku nafsu, dijepit oleh penjepit kebimbangan, dan dihantam oleh palu derita asmara, semua itu hanya untuk menempa kunci yang dapat membuka peti perhiasan yang membuatnya sekarat karena rindu.

Dan ia tidak berhenti di situ; ia terus memohon, terus melancarkan serangan, tanpa henti mencari jalan untuk menaklukkan hati yang tersembunyi itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun