Mohon tunggu...
Doppo Bungaku
Doppo Bungaku Mohon Tunggu... Pendongeng Pemula

Konon, ada seorang pengembara yang memikul ransel berisi serpihan cerita. Ia mendengar bisikan pohon tua, percakapan api unggun, dan nyanyian anak-anak yang terlupakan. Semua ia simpan, satu per satu, hingga terkumpul menjadi mozaik dongeng yang bisa membuat siapa pun kembali percaya pada keajaiban.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Lo cunto de li cunti atau Pentamerone: Hari Pertama

5 Oktober 2025   09:03 Diperbarui: 5 Oktober 2025   09:03 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Il Pentamerone, Volume II (1636) --- Wikimedia Commons 

 

Cepatlah, ulurkan tanganmu kepadanya, dan pergilah sekarang juga ke rumahnya! Tak sudi aku melihat wajahmu yang lancang dan congkak itu di depan mataku bahkan seperempat jam lagi!"

 

Mendapati dirinya dalam keadaan semacam ini, malanglah Porziella: wajahnya bagai seorang yang telah dijatuhi hukuman mati, matanya seperti orang yang dirasuki roh, mulutnya seperti seseorang yang telah meneguk obat pencahar Domini Agustini, dan hatinya seperti milik orang yang kepalanya terjepit di antara bilah dan batu.

 

Ia menggenggam tangan si ogre, dan olehnya ia diseret, tanpa seorang pun menemani, masuk ke dalam hutan --- tempat pepohonan membentuk istana bagi padang rumput agar tak ditemukan Matahari, sungai-sungai merintih karena harus mengalir dalam gelap hingga tersandung batu, dan binatang-binatang buas bergembira di Benevento mereka, bebas dari pajak bea, berkeliaran dengan aman di rimbunan belukar --- suatu tempat yang tak pernah dimasuki siapa pun kecuali mereka yang tersesat.

 

Di sanalah, di tempat yang kelam bagaikan cerobong asap tersumbat dan menakutkan laksana gerbang neraka, berdiri rumah sang ogre, dihiasi dan diplester dengan tulang-tulang manusia yang pernah ia lahap. Siapa pun yang beriman Kristiani dapat membayangkan getar tubuh, kengerian, sesak di dada, mencret, ngeri, cacingan, dan gemetar yang dialami si gadis malang: singkatnya, tak tersisa setetes pun darah di dalam nadinya.

                                        

Namun, itu semua bukan apa-apa, tidak lebih dari sebutir ara kering, dibandingkan perubahan yang menantinya, sebab ia mendapati kacang-kacangan sebagai hidangan pembuka, dan kacang fava sebagai penutup.

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun