Mohon tunggu...
Doppo Bungaku
Doppo Bungaku Mohon Tunggu... Pendongeng Pemula

Konon, ada seorang pengembara yang memikul ransel berisi serpihan cerita. Ia mendengar bisikan pohon tua, percakapan api unggun, dan nyanyian anak-anak yang terlupakan. Semua ia simpan, satu per satu, hingga terkumpul menjadi mozaik dongeng yang bisa membuat siapa pun kembali percaya pada keajaiban.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Lo cunto de li cunti atau Pentamerone: Hari Pertama

5 Oktober 2025   09:03 Diperbarui: 5 Oktober 2025   09:03 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Il Pentamerone, Volume II (1636) --- Wikimedia Commons 

Maka, ketika fajar menyingsing keesokan harinya, saat Aurora menuangkan pispot suaminya yang penuh pasir merah halus dari jendela Timur, Antuono mengucek matanya dengan tangan, meregangkan tubuhnya setengah jam lamanya, dan setelah berdialog dengan enam puluh kali menguap serta enam puluh kali kentut, ia pun memanggil penjaga penginapan dan berkata, "Kemari, sobat: tagihan sering membuat persahabatan langgeng; biarlah kita tetap berteman dan dompet kita yang bertarung; tuliskan tagihanku agar segera kubayar."

 

Maka, dihitunglah sekian untuk roti, sekian untuk anggur, jumlah ini untuk sup, jumlah itu untuk daging, lima untuk kandang, sepuluh untuk ranjang, dan lima belas untuk kesehatanmu. Antuono pun mengeluarkan kacang-kacangan sebagai bayarannya. Lalu ia mengambil keledai palsu itu, bersama dengan sebuah karung penuh batu apung sebagai ganti permata, dan segera berlari menuju desanya.

 

Belum juga ia menjejakkan kaki di rumah, ia sudah berteriak bagaikan disengat semak jelatang:

 

"Ibu! Cepatlah, Ibu! Cepat! Kita kaya! Keluarkan taplak, bentangkan seprai, tebarkan selimut, sebab sebentar lagi kau akan melihat harta karun!"

 

Dengan penuh sukacita, ibunya membuka sebuah peti berisi mas kawin anak-anak gadisnya, lalu mengeluarkan seprai halus yang bila ditiup saja melayang di udara, taplak yang baru dicuci, dan selimut-selimut indah, menatanya di lantai dengan rapi. Antuono menaruh keledai di atasnya dan mulai berseru-seru, "Majulah, beraklah emas!"

 

Namun meski ia mengucapkannya berkali-kali, keledai itu sama sekali tidak mengindahkan kata-kata tersebut, tak lebih dari seekor binatang yang mendengar alunan kecapi. Kendati demikian, setelah ia ulangi tiga atau empat kali, yang sama saja dengan membuangnya ke angin, ia pun mengambil sebatang pentungan yang bagus dan mulai mengusik si malang itu, meratakan punggungnya, menekannya, dan memadatkannya dengan begitu banyak pukulan hingga hewan malang itu kehilangan kendali di bagian bawah tubuhnya dan menumpahkan kotoran kuning keemasan di atas kain putih itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun