AI: Dianggap sebagai ekstensi dari kecerdasan manusia yang harus diarahkan pada kebaikan dan kesejahteraan umat, bukan hanya sekadar eksploitasi ekonomi.
Teknologi Kuantum: Dipandang sebagai penguatan konsep tauhid, di mana sifat probabilistik dan non-deterministik dalam fisika kuantum justru menegaskan adanya keteraturan yang lebih tinggi di alam semesta.
Fusi Nuklir: Dihubungkan dengan konsep energi bersih dan keberlanjutan, yang selaras dengan maqashid syariah dalam menjaga lingkungan dan sumber daya.
Ilmuwan Muslim menolak narasi sekuler yang melihat sains sebagai sesuatu yang netral tanpa nilai, tetapi juga menolak dogmatisme yang membatasi eksplorasi ilmiah. Mereka lebih menekankan pendekatan etis, spiritual, dan maslahat jangka panjang dalam teknologi.
2. Sikap Ilmuwan Islam terhadap AI, Teknologi Kuantum, dan Fusi Nuklir
a) AI dan Etika Islam
Ilmuwan Muslim menekankan bahwa AI bukan sekadar inovasi teknis, tetapi juga permasalahan etika dan kebijaksanaan. Dalam perspektif Islam:
AI harus mendukung kemanusiaan, bukan menggantikan manusia dalam peran yang berdampak negatif terhadap sosial dan spiritualitas.
AI yang meniru kesadaran atau kepribadian manusia (misalnya AGI) harus dikaji secara ontologis dan teologis, karena bisa berpotensi melanggar batas penciptaan (QS. At-Tin 4).
Prinsip keadilan (al-'adl) dan tanggung jawab sosial harus diterapkan dalam AI, terutama dalam keputusan otomatis yang mempengaruhi hidup manusia (misalnya sistem peradilan berbasis AI).
Negara-negara Muslim harus berinvestasi dalam pengembangan AI independen agar tidak bergantung pada algoritma yang dikendalikan Barat atau China, yang bisa membawa bias ideologis.