Seni botani itu unik. Ia hidup di antara dua dunia yang sering dianggap terpisah. Seni dan sains.
Ini bukan cuma soal melukis bunga atau pemandangan alam. Ada aturan main yang ketat, dan inti aturannya sederhana saja: akurasi.
Menurut American Society of Botanical Artists, setiap detail harus bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Jumlah kelopak, bentuk daun, sampai gradasi warna saat bunga mekar, semuanya tepat. Karya seperti ini berfungsi sebagai potret ilmiah, rekaman visual yang abadi.
Dari sini muncul pertanyaan yang tak habis dibahas. Apakah ini masih seni murni? Seni biasanya lekat dengan kebebasan. Ruang untuk berekspresi. Dan berimajinasi seluas mungkin.
Seorang pelukis bisa saja menggambar pohon berwarna biru jika imajinasinya mengarah ke sana.
Di seni botani, tidak begitu. Pohon digambarkan seperti adanya. Sebagian orang merasa aturan ini membelenggu, membatasi kreativitas. L
ukisan bisa terasa kaku dan dingin. Lebih mirip ilustrasi teknis di buku. Seolah tak ada ruang bagi emosi atau tafsir pribadi sang seniman.
Seni botani juga sering dikaitkan dengan tujuan mulia, yakni pelestarian alam. Gagasannya terdengar sederhana dan masuk akal.
Seniman melukis tanaman langka, lalu diharapkan kesadaran publik meningkat. Orang jadi tahu flora yang terancam punah dan, idealnya ikut menjaga. Tapi apakah hubungan kesadaran dan tindakan selalu lurus? Tidak sesederhana itu.
Melihat lukisan yang indah membuat kita kagum. Lalu setelah rasa kagum mereda, apa yang terjadi? Apakah kita otomatis berdonasi atau terjun membantu? Tentu tidak selalu.