Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

AI, Teknologi Kuantum, dan Fusi Nuklir dalam Dialektika Integrasi Wahyu dan Sains

13 Maret 2025   02:05 Diperbarui: 13 Maret 2025   02:05 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menyediakan langkah-langkah konkret bagi dunia akademik, lembaga pendidikan, dan komunitas ilmuwan Muslim untuk mengembangkan pendekatan sains yang berbasis nilai-nilai Islam, tanpa kehilangan esensi metodologi ilmiah yang ketat.

Pendekatan ini diharapkan dapat menjadi landasan untuk membangun peradaban baru yang tidak hanya mengadopsi sains dari Barat, tetapi juga menciptakan sistem keilmuan yang berakar pada wahyu, sebagaimana yang pernah dilakukan oleh para ilmuwan Muslim pada masa keemasan Islam.

BAB 2. Landasan Teori dan Metodologi

2.1 Teori Epistemologi Islam: Integrasi antara Wahyu dan Akal dalam Khazanah Islam Klasik

Dalam tradisi intelektual Islam, wahyu dan akal bukanlah dua entitas yang saling bertentangan, tetapi merupakan dua instrumen epistemologis yang saling melengkapi. Para pemikir Islam klasik seperti Ibn Sina, Al-Farabi, Al-Ghazali, dan Ibn Khaldun mengembangkan teori pengetahuan yang menempatkan wahyu sebagai sumber kebenaran mutlak, sementara akal berfungsi untuk memahami dan mengaplikasikannya dalam realitas dunia.

  • Ibn Sina dan Al-Farabi menekankan bahwa akal manusia memiliki kapasitas untuk memahami hukum-hukum alam, tetapi wahyu diperlukan untuk memberikan petunjuk moral dan tujuan akhir dari pengetahuan itu sendiri. Dalam filsafat mereka, ilmu bersifat hierarkis: dari ilmu rasional yang mengandalkan logika hingga ilmu ilahiah yang mencapai kebenaran absolut.

  • Al-Ghazali dalam Tahafut al-Falasifah mengkritik pendekatan filsafat yang sepenuhnya rasionalistik tanpa mempertimbangkan wahyu. Namun, dalam Ihya Ulum al-Din, ia justru menegaskan bahwa sains dan agama harus berjalan bersama, dengan wahyu sebagai pemandu bagi akal.

  • Ibn Khaldun, dalam Muqaddimah, mengembangkan teori ilmu sosial yang menunjukkan bahwa kejayaan peradaban Islam di masa lalu justru terjadi ketika umatnya mampu mengintegrasikan wahyu dengan metode empiris dalam memahami dunia.

Model epistemologi Islam klasik ini berbeda dengan dikotomi modern antara sains dan agama. Peradaban Islam Abad Pertengahan tidak melihat wahyu sebagai penghalang bagi sains, tetapi sebagai landasan filosofis yang mengarahkan ilmu pengetahuan kepada tujuan yang lebih besar.

A. Islamisasi Sains menurut Naquib al-Attas dan Ziauddin Sardar

Konsep Islamisasi sains telah menjadi perdebatan panjang dalam pemikiran Islam kontemporer, terutama dalam kaitannya dengan hubungan antara wahyu dan sains modern. Dua pemikir utama yang memiliki pendekatan berbeda dalam isu ini adalah Syed Muhammad Naquib al-Attas dan Ziauddin Sardar.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun