Epistemologi berkaitan dengan bagaimana kebenaran diperoleh dan diakui dalam suatu tradisi keilmuan. Peradaban Islam klasik dan sains modern sekuler memiliki perbedaan fundamental dalam sumber otoritas kebenaran ilmiah.
A. Epistemologi dalam Peradaban Islam Klasik: Integrasi Wahyu dan Akal
Pada masa keemasan sains Islam (abad ke-8 hingga ke-14), konsep ilmu tidak dipisahkan antara sains empiris, filsafat, dan teologi. Model epistemologi yang berkembang berbasis tauhid, dengan prinsip utama bahwa alam semesta memiliki keteraturan karena diciptakan oleh Allah. Hal ini menyebabkan para ilmuwan Muslim menganggap mempelajari alam sebagai bentuk ibadah.
-
Wahyu sebagai panduan ontologis dan epistemologis
 Ilmu tidak hanya diperoleh melalui observasi dan eksperimen, tetapi juga melalui refleksi terhadap ayat-ayat Al-Qur'an yang berbicara tentang alam. Contohnya, Ibn al-Haytham memahami optik bukan sekadar sebagai fenomena fisik, tetapi juga sebagai manifestasi keteraturan ilahi dalam cahaya dan persepsi manusia. Akal dan metode ilmiah sebagai alat untuk memahami sunnatullah
 Ibn Sina dan Al-Farabi menekankan bahwa meskipun wahyu adalah sumber kebenaran tertinggi, akal dan metode ilmiah tetap diperlukan untuk memahami hukum-hukum alam. Ilmu adalah bagian dari iman, bukan sesuatu yang terpisah dari agama.Sains sebagai alat untuk mewujudkan maslahat manusia
 Ilmuwan Muslim melihat sains dalam konteks kemaslahatan umat, misalnya dalam bidang medis (Al-Razi), astronomi (Al-Biruni), dan matematika (Al-Khwarizmi). Tujuan utama ilmu bukan hanya eksplorasi teoritis, tetapi juga aplikasi praktis yang bermanfaat bagi masyarakat.
B. Epistemologi dalam Sains Sekuler Modern: Rasionalisme dan Empirisme Murni
Sebaliknya, setelah Revolusi Ilmiah di Eropa (abad ke-16-17), epistemologi sains mengalami pergeseran drastis menuju rasionalisme dan empirisme murni. Tokoh seperti Francis Bacon, Ren Descartes, dan Isaac Newton mengembangkan metode ilmiah yang tidak lagi bergantung pada wahyu atau metafisika.
Otoritas kebenaran berpindah dari wahyu ke metode empiris dan falsifikasi
 Sains modern hanya mengakui sesuatu sebagai ilmu yang sah jika bisa diuji secara empiris dan diulang dalam eksperimen, seperti yang diteorikan oleh Karl Popper dalam falsifikasionisme.Pemisahan antara "fakta" dan "nilai"
 Dalam positivisme yang berkembang pada abad ke-19 (Comte, Durkheim), sains dianggap harus netral dan tidak terikat pada nilai moral atau agama. Akibatnya, banyak cabang sains modern berkembang tanpa mempertimbangkan dimensi etis atau spiritual.Utilitarianisme sebagai tujuan utama ilmu
 Sains modern umumnya diarahkan untuk menciptakan kemajuan teknologi dan ekonomi, tanpa mempertimbangkan hubungan antara ilmu dan tujuan eksistensial manusia.