Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Sampeyan ikut pengajian di mana?" tetap tak ada jawaban

"Habis mengaji tentang bab apa?"Hanya tatapan kosong yang diberikannya, sekali menjawab hanya menunjukkan kealpaannya.

"Hambuh!"

Khadija

.

Malam purnama begitu terang, dalam penanggalan tahun hijriyah tepatnya jatuh di pertengahan bulan. Berjuta-juta bintang bertaburan menghiasi langit, konon seluruh pasir di seluruh alam tak mampu mengimbangi jumlah bintang yang bertebaran di angkasa raya. Bintang dan ribuan galaksi itu tak ada yang menjinjing, tiada pula yang menyangga, tetapi tetap pada porosnya. Itulah sebuah maha karya dari yang kuasa. Tak akan pernah tertandingi walaupun oleh sekumpulan para ilmuwan sekalipun.  Benda-benda angkasa bergerak, berputar pada porosnya sesuai fungsinya masing masing. Karena saking banyaknya, manusia tidak akan mampu untuk menghitungnya, apalagi menamakan kesemuanya. Setiap planet- planet mempunyai galaksi masing-masing seperti beranak-pinak.


Malam itu Aminah dan Qohar duduk selonjor di teras depan, berbagi cerita dan sesekali diselingi guyon, sembari mengupas tebu sebagai cemilan. Tak lama kemudian rasa kantuknya tiba-tiba mulai menyerang perlahan. Tidak tahan terlalu lama menahan kantuknya, Qohar lalu segera pamit mohon diri untuk tidur terlebih dahulu. 

Aminah masih bertahan di teras, tatapan kedua bola matanya mulai memudar lalu kosong, seperti ada sesuatu yang memasuki jasadnya. Ia menerawang, seolah-olah terpaku dan berubah menjadi sebuah patung. Untaian tasbih di tangannya tidak lagi bergeser lalu terhenti. Sementara di luar sana, hanya sesekali terdengar celepuk burung hantu diselingi walang kekek dan jangkrik jalenggong yang senantiasa mengisi kesunyian. Sekumpulan tupai dan kalong samar-samar masih terdengar bercericit, di seputaran ranting pohon sawo. 

Di keheningan malam itu ia teringat semasa kecil dahulu, sewaktu zaman penjajahan. Ingatan masa lalunya pelan-pelan merapat dalam benaknya. Ia bersama Badrun, Azar dan Khadija mencuri tebu milik para cukong Belanda. Mereka berempat mencuri tebu di atas truk yang terperosok di pinggir jalan. Kejadian itu persis di malam bulan purnama. Tanpa dinyana sebelumnya, truk berisi penuh dengan muatan tebu itu ditunggui dua orang berbadan kekar yang tengah tertidur. 

Ia berempat pun kaget bukan kepalang, setelah salah seorang penjaga tebu tiba-tiba terbangun dan mengejarnya. Dengan membawa masing masing beberapa batang tebu, Ia berempat lalu lari terbirit-birit. Pada saat berlari itulah mata Khadija di sebelah kirinya tertancap ujung tebu yang lancip dikedua ujungnya.

Tebu yang sebenarnya sepele itupun membawa petaka. Begitu ujung tebu yang menancap di bola mata sebelah kirinya dilepas, darah lalu mengucur dan mengalir perlahan. Bajunya yang telah usang menjadi basah dipenuhi darah. Khadija, perempuan yang selalu memakai tusuk konde itu merintih menahan rasa sakitnya. Ia berempat tidak tahu harus bagaimana, hanya bisa menangis dihantui rasa takut yang mencekam. Di tengah malam, ia berempat tidak berani pulang karena takut dimarahi orang tua. Mereka lalu tidur disebuah gubuk di bawah pohon kapuk randu. 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun