Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak ada tikar untuk menempati tempat yang lebih layak selain serasah daun-daun kering. Selapis jarek kemben yang dikenakannya meski sangat terbatas, disobeknya separuh untuk menghangatkan putrinya. Dinginnya malam itu tak lagi dihiraukannya demi jabang bayi. Bayi mungil perempuan itu begitu mudah disusui tanpa kesulitan yang berarti, seandainya tangis bayi itu tidak berhenti dalam jangka waktu yang lama, maka Emak Rasup tidak tahu lagi harus bagaimana. Sementara itu dari jauh, terdengar suara harimau mengaum meraung-raung begitu mendengar jerit lirih tangisan bayi yang baru saja terlahir. Untunglah bayi mungil perempuan itu terdiam begitu merasakan sentuhan lembutnya. Berkat tusuk konde, Emak Rasup bisa memotong tali pusarnya yang masih saling terkait. Dengan hati-hati dikuburkannya ari-ari beserta darah dan air ketuban yang menempel di dedaunan yang terserak dengan alat yang sama. Meski tak terlalu dalam, tetapi cukup membantu mengurangi aroma darah dan bau anyir air ketuban, sehingga tidak tercium ke tempat yang lebih jauh. Buah kemuning yang berjatuhan oleh sebab sekumpulan tupai, cukup membantu untuk mengganjal perutnya meski tinggal sisa separuh

Bagaimana susahnya Emak Rasup dalam melahirkan dan bertahan hidup tidak bisa dilukiskan hanya dengan kata-kata. Aminah masih terdiam tidak menanggapi ujaran Pak Amin.

Pak Amin masih menunggu jawaban darinya lalu kembali bertanya dengan nada yang lebih keras.

"Apakah Simbah sendiri tidak tahu, jika semua ini adalah bentuk kedzaliman, penjajahan?"

Aminah tersentak oleh pertanyaan pak Amin yang kedua. Ia terputus dari lamunan panjangnya.

"Saya tahu! Ini adalah bentuk penjajahan, tetapi diriku hanyalah perempuan tua, tidak bisa berbuat apa-apa. Kemarin saja sewaktu mencoba protes barang secuil, bapak tau sendiri apa yang ku alami kemudian,"


"Ya sudah, mulai sekarang Simbah tidak perlu takut, tidak perlu khawatir, biarlah kami yang akan mengurus semuanya." pintanya meyakinkan.

Siang itu, seluruh warga Desa Rakusan geger, kantor kepala Desa Rakusan digrebek pihak kepolisian. kepala Desa Rakusan beserta para perangkatnya ditangkap lalu ditahan. Lagi-lagi masyarakat Desa Rakusan tidak banyak yang tahu mengenai akar permasalahannya. Warga Desa Rakusan hanya bisa menerka-nerka dengan kejadian di hari sebelumnya, yaitu peristiwa penahanan Aminah di Kantor Balai Desa. Kesimpangsiuran kabar mengenai penggerebekan menjadi suatu keniscayaan. Kecurigaan kemudian mengarah kepada Aminah yang sebelumnya ditahan di Kantor Balai Desa. Tak satupun warga Desa Rakusan yang tahu, jika yang memperkarakan masalah itu adalah pak Amin. Meski pada akhirnya masyarakat mengetahuinya.

Dalam sebuah perbincangan di ponsel tempo hari, pak Amin mengancam pihak kepolisian. Ancaman itu tidak main-main, apabila permintaan penahanan kepala Desa beserta para perangkatnya tidak diindahkan, maka Pak Amin tidak segan untuk memberitakan ke publik, perihal pembiaran dan kongkalikong, antara kepolisian dengan pemerintah Desa Rakusan ke berbagai media.

Sejak peristiwa penggerebekan Kantor Balai Desa Rakusan, pelan-pelan Aminah menjadi terkucil dari pergaulan. Ia menjadi sesosok mahluk yang terasing di tengah-tengah keramaian. Orang-orang disekitarnya tiba-tiba menjauh dan menjaga jarak. Mereka enggan untuk sekedar bertemu dengannya, tiada lagi tegur sapa yang merapat padanya. Yang masih tetap bersahabat dengannya hanyalah alam, burung-burung dan ikan-ikan serta bebatuan sungai.

 Sekelompok burung pipit pemakan padi mulai berkurang seiring terik panas mentari yang kian menyengat. Siang itu sehabis menunggui padi, Aminah hendak shalat dluhur, diambilnya mukena di langit-langit gubuk, ternyata ada beberapa kotoran cicak yang menempel. Rupanya kemarin ia lupa membungkusnya dengan plastik. Mukena yang warnanya telah memudar itu lalu dicuci di kali, sembari mandi di siang hari. Dengan mukena yang masih basah itu, ia mendirikan shalat di atas bebatuan yang telah diberi alas jerami kering. Usai shalat ia berdzikir dalam rentang waktu yang cukup lama. Tanpa terasa mukena yang dikenakannya mengering, lama-lama ia mengantuk dan tertidur. Begitu terbangun, ia teringat sesuatu yang terselip di bawah pohon nangka. Seutas plastik yang telah dicuci untuk membungkus mukenanya. Sekali waktu, diperhatikannya pohon nangka dari bawah hingga ujung penuh dengan babal bakal buah. Ia pun berencana membuat gulai nangka muda untuk lauk musim panen yang akan datang.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun