Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di atas sungai terbentang sawah beberapa petak peninggalan dari suaminya. Sawah pemberian dari pemerintah atas jasa-jasanya dalam memperjuangkan kemerdekaan. Sebagian lagi berupa hibah dari Pemerintah kolonial Belanda.

Waktu dluhur telah berlalu, panas terik mentari telah mulai berkurang. Perempuan tua itu masih belum beranjak dari Musholla yang dibuatnya dari jerami kering. Ia masih duduk bersimpuh sembari melawan kantuk. Dari kedua bibirnya tak henti-hentinya melafadzkan Asma-Asma Allah, memanjatkan rasa syukur teriring dzikir lalu diakhiri doa sapu jagat seperti biasanya.

Setiap kali ke sawah, perempuan tua itu selalu menyempatkan diri membawa bekal makanan secukupnya, dua lapis jarek untuk Shalat dan beberapa helai daun sirih. Terkadang dua lapis jarik itu ia tinggalkan di atas langit-langit gubuknya, tetapi jika ia lupa membawanya, maka ia akan pulang sebelum tiba saatnya waktu dluhur.

Usai melawan kantuk dengan berdzikir yang di akhiri doa sapu jagat, iapun beranjak menuju cangkruk. Sebuah gubuk kecil yang dibuatnya sendiri untuk sekedar istirahat, disela-sela kesibukannya di sawah. Di dalam bilik tanpa jendela dan hanya diberi rumbai-rumbai pelepah daun pisang kering itu, ia duduk selonjor beberapa saat. Selembar daun pisang diambilnya langsung dari pohonnya. Selembar daun pisang itu lalu dijadikannya sebagai alas makan pengganti piring. Diambilnya nasi beserta urap sambal daun singkong, oseng-oseng kangkung dan ditemani lalapan kacang panjang mentah, daun kemangi, dan dua buah mentimun sedang.

Apabila merasakan kenikmatan duniawi, maka seakan-akan rasa syukur senantiasa tercurah dari kedua bibirnya tanpa henti. Sebuah kenikmatan dunia yang tidak bisa dibeli maupun ditukar, meskipun ditukar dengan kenikmatan di Surga. Maka wajar jika di dalam pikirannya, tidak terlintas untuk menggapai kenikmatan Surga di Akhirat kelak. Apa yang ada pada dirinya kini sudah lebih dari cukup. Hanya satu kata yang senantiasa mengiringi langkah hidupnya, yaitu syukur. Ungkapan dari sebuah rasa terima kasih kepada sang pemberi warna pada daun dan buah.

Jika teringat pada masa penjajahan, ia mati-matian berjuang untuk bertahan hidup. Peristiwa itu membuatnya lebih mensyukuri dan menghargai arti hidup. Sisa umurnya yang kian berkurang itu tak ingin disia-siakannya begitu saja. Waktu yang tak pernah kembali walau sedetikpun itu, ia gunakan dengan cara berdzikir setiap habis shalat fardlu. Kelak yang ia harapkan setelah dirinya dipanggil yang Maha Kuasa bukanlah surga maupun neraka, melainkan keridlaannya. Ia ingin menjadi hamba yang diridlai Allah di Akhirat kelak dan tidak lebih.


Seusai makan lalu diteguknya air kendi. Ces!! dingin dan sejuk. Peluh-peluh keringat dari kening, leher dan di sekujur punggungnya mulai keluar perlahan, mengalir membasahi bajunya. Lalu angin sepoi-sepoi menyambanginya. Kesegaran alami yang hanya bisa didapat dipersawahan, di bawah rindangnya pepohonan. Inilah surga dunia yang hanya bisa dirasakan bagi orang-orang yang bersyukur.

Tak jauh dari tempat perempuan tua itu, sekumpulan ikan bader dan udang berkejaran lalu menggerombol menungguinya dengan setia. Menantikan sisa-sisa makanan yang biasanya sengaja disisakan untuknya. ketika sisa-sisa nasi putihnya ditumpahkan ke arah aliran sungai, ikan-ikan dan udangpun terkesiap sambil berlompat-lompatan membentuk sebuah formasi. Jika mau, perempuan tua itu bisa saja mengambil dengan mudahnya ikan-ikan itu untuk lauk sehari-hari. Tapi demi ketulusan hati dan kesetiaan, sifat kanibalisme tergeser menjadi nomor yang kesekian.

Menyaksikan sebuah sandiwara kecil makhluk-mahluk lain adalah suatu keistimewaan tersendiri. Perempuan tua itu telah menyatu dengan alam. Demikian pula dengan burung-burung terkuok, berkeliaran bebas berkejar-kejaran disatu tempat ke tempat lain. Burung-burung itu mulai menampakkan sayap-sayap indahnya di siang hari, kala suara-suara riuh mulai lenyap, sepi dari hiruk pikuk kegiatan manusia. Disaat orang-orang mulai kembali pulang melepas lelah dan letih setelah setengah hari bekerja. 

Burung-burung itu mencuri-curi waktu selepas suasana senyap. Seolah tercipta untuk selalu menjaga jarak dengan manusia. Jalannya tampak anggun dengan kombinasi warna hitam, hijau perak di leher dan kepala, serta bintik-bintik kuning hitam di bagian ekornya. Sesekali burung itu menyelam, menghilang kedasar sungai sambil mencari mangsa dengan lincahnya. Bulunya yang anti air, lebih mirip dengan angsa berukuran lebih kecil sepuluh kali-lipat. 

Burung yang terbiasa berenang-renang berlalu lalang dan berkejar-kejaran di kala senyap itu, kini sudah mulai berkurang oleh sebab perburuan. Pada hal kemunculannya di saat-saat sepi setelah keadaan terasa aman, barulah burung-burung itu keluar dari semak-semak. Tetapi ada pula yang bermalas-malasan bertengger di dahan dan ranting-ranting pohon bambu, sehingga mudah untuk diburu. Apalagi telurnya yang lebih mirip seukuran telur ayam, seringkali menarik minat pemuda-pemuda kampung untuk  mayoran1. Hanya di dekat perempuan tua itu, burung-burung terkuok menampakkan diri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun