Dalam hidupku dalam kenyataanku.
Kamu aku adalah penghuni surga.
Tahukah kamu disaat kamu menangis adalah air mataku yang jatuh berlinang.
Tahukah kamu disaat kamu tersakiti adalah aku yang pertama terluka.
Tahukah kamu yang cuma aku yang punya cinta untukmu
Tahukah kamu yang cuma aku yang rela mati untukmu1.
Dikeheningan malam, Aminah merenungi kembali jalan hidupnya. Matanya menerawang kosong lalu basah, sembab. Sesekali tersenyum dalam kesendirian, dari matanya yang cekung setetes air matanya terjatuh. Aminah teringat semasa kecilnya, di usia belia dengan penuh kesadaran, ia turut serta menyelamatkan nyawa pamannya secara tidak langsung. Waktu itu pamannya Ki Rasmin mendapatkan tugas dari letnan Jalal. Menyelamatkan belasan pucuk senjata dan ratusan selongsong peluru timah yang hendak dirampas tentara kolonial.Â
Senjata dan puluhan selongsong peluru itu lalu disimpan rapi dalam gulungan rumput. Ia bersama Ki Rasmin, menelusuri tebing yang curam dan terjal. Tanpa disadari sebelumnya, tiga orang tentara Belanda menghadang perjalanan. Ki Rasmin mendadak seolah-olah kedua lututnya patah. Sekujur tubuhnya gemetar lalu keluar keringat dingin. Kedua tangannya juga dingin seperti mayat.
Aminah yang masih polos waktu itu mencoba untuk memanfaatkan kepolosannya. Meski jiwanya seperti dikejar sekawanan anjing, tanah tempat berpijak serasa bergoyang, matanya nanar tertuju pada wajah beringas tiga orang tentara Belanda. Sambil menangis, merengek ia meminta tolong kepada salah seorang tentara Belanda. Ditunjukkannya luka-luka di jemari kakinya yang terus berdarah, sebuah kebetulan. Padahal semasa itu penyakit gudik maupun nanah sudah biasa menjangkiti sebagian besar orang-orang kampung, terutama anak-anak kecil.Â
Penyakit nanah maupun gudik apabila semakin digaruk, akan semakin terlihat mengelupas kulitnya dan mengeluarkan darah yang terus menetes beberapa saat. Apabila tidak digaruk terasa gatal, tetapi apabila digaruk menjadi terasa sakit dan berdarah. Tak dinyana, setelah melihat tetesan darah hatinya terenyuh. Seorang tentara yang juga tercipta dari segumpal tanah dan akan kembali ke tanah pula yang dilengkapi akal pikiran dan hati nurani. Akhirnya mampu mendobrak tembok nafsu amarah.Â
Seorang manusia yang hakikatnya tercipta untuk saling tolong menolong. Tentara itu memberikan syalnya yang putih bersih untuk membersihkan lukanya. Tak Cuma itu, ia juga diberi beberapa potong roti. Di hari itu, ia merasa menjadi orang yang paling beruntung di dunia. Apabila peristiwa itu bersandar dalam ingatannya, hatinya selalu menyeruak rasa bangga, teriring rasa syukur hingga mampu menggetarkan jiwanya. Satu ma'unah dari Tuhan.
- 1
- 2
- 3
- 4
- 5
- 6
- 7
- 8
- 9
- 10
- 11
- 12
- 13
- 14
- 15
- 16
- 17
- 18
- 19
- 20
- 21
- 22
- 23
- 24
- 25
- 26
- 27
- 28
- 29
- 30
- 31
- 32
- 33
- 34
- 35
- 36
- 37
- 38
- 39
- 40
- 41
- 42
- 43
- 44
- 45
- 46
- 47
- 48
- 49
- 50
- 51
- 52
- 53
- 54
- 55
- 56
- 57
- 58
- 59
- 60
- 61
- 62
- 63
- 64
- 65
- 66
- 67
- 68
- 69
- 70
- 71
- 72
- 73
- 74
- 75
- 76
- 77
- 78
- 79
- 80
- 81
- 82
- 83
- 84
- 85
- 86
- 87
- 88
- 89
- 90
- 91
- 92
- 93
- 94
- 95
- 96
- 97
- 98
- 99
- 100
- 101
- 102
- 103
- 104
- 105
- 106
- 107
- 108
- 109
- 110
- 111
- 112
- 113
- 114
- 115
- 116
- 117
- 118
- 119
- 120
- 121
- 122
- 123
- 124
- 125
- 126
- 127
- 128
- 129
- 130
- 131
- 132
- 133
- 134
- 135
- 136
- 137
- 138
- 139
- 140
- 141
- 142
- 143
- 144
- 145
- 146
- 147
- 148
- 149
- 150
- 151
- 152
- 153
- 154
- 155
- 156
- 157
- 158
- 159
- 160
- 161
- 162
- 163
- 164
- 165
- 166
- 167
- 168