Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Iya Mbak,"jawab sukarti, dari kelopak matanya terlihat air mata yang masih meleleh, lalu menuju dapur.

"Permisi tuan,"Aku menyusul sukarti dan mengikutinya dari belakang.

Di dapur, Sukarti masih merasakan gemetar di sekujur tubuhnya. Ia tidak berani menyuguhkan pisang itu ke depan. Aku berusaha menenangkannya hingga ia menjadi tenang. Tetapi meskipun sukarti sudah tenang, aku tidak mengijinkannya keluar, Aku khawatir jika terjadi sesuatu padanya. Aku hendak merencanakan sesuatu dengan mengatur taktik sedemikian rupa. Tetapi apabila terjadi sesuatu sedikit saja, maka bukan hanya nyawaku yang menjadi taruhannya, tetapi nyawa seluruh keluargaku yang akan menjadi sasarannya.

Satu sisir pisang raja kusuguhkan tanpa memberikan air minum, sementara  Sukarti ku suruh mengambil getah air tuba di pekarangan belakang rumah. Saripati air tuba itu akan kusajikan bersama teh manis. Cukup lama aku bersitegang dengan sukarti di dapur, tentang rencanaku itu. Aku lalu memutuskan untuk melarangnya keluar, meskipun ia sendiri ketakutan setelah mendengar rencanaku. Syukurlah, akhirnya ia menuruti perintahku. Dua orang tentara itu mungkin mengira, diriku telah pergi ke suatu tempat, mencari informasi mengenai keberadaan kang umar.

Dengan hati-hati ku suguhkan teh manis, yang sebelumnya telah kucampur dengan air tuba.  Aku sempat berpura-pura mengeluh sakit di bagian pinggangku untuk mengalihkan perhatian. Setelah kupastikan mereka sudah meminumnya, lalu aku memberitahukan keberadaan kang umar, yaitu di Gua Ngerong. Jaraknya begitu jauh dari kampung bendo, sejauh delapan belas kilometer. Tempat persembunyian itu telah bertahun-tahun menjadi markas para pejuang pribumi. Untuk bertapa, bersemedi dan mengasingkan diri, guna untuk menyusun kekuatan yang lebih besar.

Dengan hati-hati Aku menyuguhkan teh manis yang sebelumnya telah ku campur dengan air tuba. Aku terlebih dahulu pura-pura mengeluh sakit di bagian pinggangku untuk mengalihkan sebuah perhatian, setelah itu teh manis kusuguhkan. Setelah ku pastikan mereka meminumnya akupun sedikit lega. Dengan perhitungan yang matang, aku berbagi tugas dengan Sukarti. Ku perintahkan ia supaya mengabarkan kepada Pak Abdullah, tetua kampung, perihal tempat persembunyian kang Umar yang telah diketahui Tentara Belanda. Tak lama kemudian setelah meminum teh manis, dua orang tentara itupun pergi. Aku mengawasi dari jauh gerak dan langkah kedua tentara Belanda itu. Hanya berselang beberapa menit kemudian, di depan mata kepalaku, dua orang itu ngajal. Mereka menggelonjot hampir bersamaan, di lahan perkebunan kopi, tak jauh dari perkampungan. Setelah keduanya dipastikan meninggal, Aku mendekati jasad-jasadnya. Dari mulutnya, keluar busa yang tidak berukuran, kedua bola matanya melotot seperti mau menyembul keluar dengan garangnya. Tetapi meskipun terlihat garang, itu hanyalah mayat yang tidak bisa berbuat apa-apa. Lapisan kulitnya yang semula nampak putih bersih mendadak terlihat membiru. Barangkali ruhnya baru saja pergi meninggalkan jasadnya. Jasad yang telah dihuni selama puluhan tahun itu ditinggalkan begitu saja. Dalam hitungan hari, jasad yang tak bernyawa itu akan menjadi ajang pesta bagi ribuan atau mungkin jutaan belatung. Mereka berpesta dalam jangka waktu yang terbatas. Satu persatu dari pakaian jasad-jasad yang telah menjadi mayat itu ku geledah. Aku mendapati dua buah senjata laras panjang, dua puluhan mortir, tujuh selongsong peluru dan beberapa lembar mata uang negara kerajaan Belanda. Beberapa peralatan perang itupun lalu ku serahkan kepada Pak Abdullah Untuk keperluan para pejuang. Baju dan celananya dikemudian hari diambil para pemuda dan mayatnya dikubur di tepi kebun kopi.


Sukarti kini mungkin, telah hidup berkecukupan di negeri sakura bersama Yuji Shiojiro, suaminya. Sejak masa kemerdekaan diproklamirkan hingga kini, aku belum pernah melihatnya walau hanya sekali, tetapi ia pernah berjanji padaku, suatu saat nanti ia akan kembali.

Usai bertutur sebagian perjalanan hidupnya semasa penjajahan, Aminah tak mampu membendung kesedihan. Tiba-tiba kedua bola matanya sembab, tak kuasa menahan air mata mengingat kegetiran masa lalu. Qohar berusaha menghiburnya, memberi kesimpulan seraya bertanya.

"Jadi, Maknyak dulu pernah membunuh para Tentara ? Aku jadi takut kalau melihat Maknyak.." canda Qohar.

"Badanku malah jadi menggigil gemetaran karena melihatmu." balasnya dengan mimik serius.

"Kenapa Mak?"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun