Mohon tunggu...
Syaifull Hisyam
Syaifull Hisyam Mohon Tunggu... wiraswasta -

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Mendung Tak Selamanya

23 Oktober 2017   01:51 Diperbarui: 23 Oktober 2017   03:18 3612
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebetulan waktu itu tengah musim buah kapuk, Khadija lalu membalut sendiri, mengelap dan membersihkan bekas-bekas darah, di sekitar mata dan sebagian mukanya dengan kapuk randu. Malam itu hingga fajar tiba, ia berempat tidak bisa tidur. Hanya bisa meratap, menangis dan merenungi nasibnya .

Atas peristiwa malam itu, Khadija menjadi terluka lahir dan bathin. Luka-luka itu lalu membekas di kalbunya. Luka bathin yang selalu basah dan tidak akan bisa kering sampai kapanpun. Jika luka-luka itu sampai mengering, maka akan mudah tersulut api dan terus berkobar oleh hembusan angin perjuangan. Menginjak remaja, ia dengan gigih memperjuangkan hak orang-orang pribumi, meski harus meniti hidup dengan satu mata. Hingga pada suatu saat, ia dipersunting kang Umar. Orang yang selama ini sejalan dengannya. Kang Umar adalah seorang pemuda yang terkenal memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Sangat disegani dan diperhitungkan kaum penjajah kala itu. Mereka sama-sama gigih melawan segala bentuk penjajahan.

Suatu hari di tengah malam, Khadija bersama suaminya berniat menyamar ke markas tentara Belanda. Dengan sangat hati-hati ia dan suaminya  mengendap-endap masuk dari belakang gudang senjata. Mereka berdua hendak mencuri amunisi dan peluru, namun takdir berkata lain, ia dan suaminya diketahui Tentara Belanda. Keduanya lalu ditembak dengan puluhan selongsong peluru. Dalam peristiwa itu, tubuh kang Umar tak mampu ditembus peluru dan berhasil melarikan diri, sedangkan Khadija langsung tergeletak tak berdaya. 

Dalam ketidak berdayaan itu, ia lalu dihadapkan ke kediaman Letnan jenderal Diego Van Gogh, lalu diberondong dengan puluhan peluru. Disaksikan pasang-pasang mata para Tentara Belanda dan para pembelot tanah air. Puluhan peluru bersarang di tubuhnya. Gumpalan-gumpalan hitam bercak darah yang telah mengering memehuhi wajahnya. Beberapa saat kemudian ia menghembuskan nafas terakhirnya. Jasadnya lalu dibuang disebuah sumur belakang markas.

Entah kenapa bau harum semerbak menguar di sekitar sumur, hingga tujuh hari lamanya. Sepeninggal Khadija tak ada tanda gelar ataupun jasa yang diberikan pemerintah kepadanya. Tetapi Tuhan maha adil dan bijaksana, meski tanpa uang tunjangan ataupun bantuan dari pemerintah, anak cucu Khadija tak kurang suatu apa. 

Mereka kini telah menemukan kebahagiaan dan menjadi orang terpandang di Desanya. Seandainya Khadija dan suaminya masih hidup, menyaksikan berkah dan karunia Tuhan yang dilimpahkan kepada anak cucunya, mungkin tangis bahagia akan senantiasa mengiringi hari-hari tuanya. Tak banyak yang diharapkan dari seorang Khadija selain kemerdekaan dan kemakmuran suatu bangsa.


Mengalun kecapi tua

Dan suara sumbang menggema

Juga  dendang dan balada

Isi kisah hidupnya

Dia

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun