Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Otopsi Sebuah Bangsa Pintar yang Tidak Cerdas

5 Juni 2025   11:58 Diperbarui: 5 Juni 2025   11:58 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Indonesia telah menjadi negara dengan segudang prestasi di atas kertas. Kita punya undang-undang yang menjamin hak pendidikan, sistem akreditasi universitas, jargon "SDM unggul," dan ribuan lulusan program sarjana setiap tahun. Tapi di balik parade sertifikat, toga, dan sambutan pejabat, ada kenyataan pahit: apa yang dibangun adalah simbol, bukan substansi.

1. Obsesi pada Label, Bukan Kapabilitas

Fenomena "pengejar gelar" bukanlah hal baru. Masyarakat sering kali memandang tingginya pendidikan sebagai status sosial, bukan alat pemberdayaan. Maka tak heran bila banyak orang rela mengorbankan waktu dan uang demi gelar "S2" atau "S3", meski substansi keilmuan dan keterampilan yang mereka bawa tidak bertambah signifikan.

Lihatlah bagaimana sertifikasi, akreditasi, dan penghargaan dijadikan tujuan utama, bukan sebagai alat ukur kualitas. Sekolah berlomba mendapat akreditasi A, bukan karena mutu pembelajarannya, tapi karena ingin naik peringkat dan mendapat tunjangan lebih besar. Universitas mengejar pemeringkatan internasional, bukan untuk mendorong riset strategis, tapi demi gengsi institusi.

Dalam riset LIPI (2022), hanya 15% hasil penelitian universitas yang diterapkan dalam kebijakan publik atau sektor industri. Selebihnya, mandek sebagai laporan tak terbaca.

2. Retorika Tanpa Implementasi

Pidato-pidato pejabat pendidikan dipenuhi retorika: "revolusi industri 4.0", "link and match", "transformasi digital", "kurikulum merdeka". Tapi di lapangan, banyak guru masih bingung bagaimana menerapkannya. Sekolah kekurangan fasilitas dasar, dan dosen dibebani beban administrasi ketimbang riset.

Menteri boleh bicara tentang teknologi AI dan Big Data, tetapi guru-guru di pelosok masih menyalin RPP dengan pulpen karena listrik dan jaringan tak tersedia. Mahasiswa dibebani tugas presentasi "dalam bahasa Inggris" dengan materi yang bahkan belum pernah mereka praktikkan secara langsung.

Studi Bank Dunia (2023) menunjukkan bahwa literasi digital di kalangan mahasiswa Indonesia masih tertinggal dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya.

3. Infrastruktur Gagah, Konten Kosong

Pemerintah gencar membangun sekolah baru, laboratorium baru, bahkan universitas negeri baru. Namun pertanyaannya: apakah kualitas SDM pengajar dan desain pembelajaran sejalan dengan fisik bangunannya? Banyak gedung kampus megah justru menjadi "museum pendidikan"---tempat belajar teori yang tak pernah diujikan pada realitas.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun