Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Otopsi Sebuah Bangsa Pintar yang Tidak Cerdas

5 Juni 2025   11:58 Diperbarui: 5 Juni 2025   11:58 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

B. Statistik: Potret Kelam Bangsa Berpendidikan Tapi Tak Bekerja

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024 menyebutkan bahwa tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada lulusan diploma dan sarjana mencapai 8,6% dan 6,2%, jauh lebih tinggi dibanding lulusan SD yang hanya sekitar 2,5%. Bahkan ironisnya, ada lebih dari 800.000 lulusan S1 dan S2 yang belum bekerja atau bekerja tidak sesuai bidangnya. Sebagian dari mereka lulusan luar negeri dengan predikat tinggi, namun kembali ke tanah air hanya untuk disambut dengan kalimat klasik: "Belum ada lowongan yang sesuai." Apakah mereka tidak cukup pintar? Atau memang sistem yang terlalu dangkal untuk menampung kecerdasan yang dilahirkannya sendiri?

Lebih menyakitkan lagi, World Bank dalam laporan tahun 2022 menyoroti bahwa Indonesia adalah negara dengan salah satu mismatch (ketidaksesuaian) tertinggi antara skill lulusan dan kebutuhan industri di Asia Tenggara. Lulusan sarjana teknik bekerja sebagai customer service, lulusan pendidikan menjadi tenaga marketing, dan para pemegang gelar ekonomi justru sibuk membuka warung kopi. Ini bukan sekadar pengangguran, melainkan gejala disorientasi nasional.

C. Tesis: Cacat Desain Sistemik dalam Bangsa Berijazah Tinggi

Indonesia tidak kekurangan orang pintar, tetapi terjebak dalam cacat desain sistemik yang membuatnya gagal menjadi bangsa yang cerdas. Pendidikan berjalan sendiri, ketenagakerjaan berlari ke arah yang lain, sementara pembangunan nasional lebih sibuk mengejar pertumbuhan PDB ketimbang kesejahteraan manusia. Disparitas antara institusi pendidikan, realitas pasar kerja, dan arah pembangunan nasional merupakan bukti nyata dari dislokasi kebijakan. Ini bukan soal ketidaktahuan, tetapi soal ketidakmauan untuk menyelaraskan kebijakan secara integral dan berorientasi jangka panjang.

Esai ini akan membedah secara kritis bagaimana cacat desain itu terbentuk, mengapa ia dipertahankan, dan bagaimana dampaknya merusak generasi muda serta memperlambat laju kemajuan bangsa. Jika Tiongkok melompat lewat integrasi riset dan industri, Singapura melesat dengan meritokrasi yang terarah, dan India bangkit dengan ekosistem teknologi dan pendidikan yang terhubung, Indonesia justru tersendat dalam pusaran birokrasi, politisasi pendidikan, dan deviasi arah pembangunan.

Melalui otopsi sistemik ini, kita tidak sekadar mengkritik, tetapi menuntut perubahan paradigma: bahwa bangsa yang mencetak sarjana seharusnya juga menciptakan jalan bagi kecerdasannya untuk hidup, bukan sekadar untuk bertahan.

II. Pendidikan Tinggi: Mencetak Ijazah, Bukan Solusi

A. Evolusi Sistem Pendidikan dari Orde Baru ke Reformasi: Kuantitas versus Kualitas

Sejarah pendidikan Indonesia modern, terutama sejak era Orde Baru, bagaikan pabrik besar yang sibuk mencetak produk bernama ijazah. Di masa itu, pendidikan dijadikan alat legitimasi kemajuan. Pembangunan sarana fisik sekolah digenjot, kampus negeri dan swasta menjamur, dan jargon "manusia pembangunan" menjadi semacam mantra resmi negara. Namun di balik kemegahan statistik itu, sebuah persoalan serius mulai tumbuh diam-diam: produksi manusia terdidik yang tidak dibarengi dengan pendalaman makna pendidikan itu sendiri.

Di bawah komando teknokratis Orde Baru, pendidikan dijalankan dengan pendekatan sentralistik dan mekanistik. Siswa dan mahasiswa dilatih untuk menghafal, patuh, dan mengejar nilai, bukan untuk berpikir kritis, mandiri, atau menciptakan solusi. Kurikulum bersifat normatif dan ideologis; guru menjadi kepanjangan tangan negara, bukan fasilitator kemandirian intelektual. Maka tak heran jika banyak lulusan yang, meskipun memiliki gelar akademik, gugup ketika dihadapkan pada dunia nyata---terutama ketika dunia itu menuntut kreativitas, kolaborasi lintas disiplin, dan adaptasi cepat terhadap perubahan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun