Sebagaimana kritik Gus Dur pada akhir 1990-an, "Indonesia ini rajin membangun sekolah, tapi lupa membangun akal sehat."
Inti Kritik:
Budaya simbolik telah menciptakan bangsa yang sibuk memoles permukaan tanpa menyentuh akar. Ijazah dikejar, tapi kompetensi diabaikan. Gedung dibangun, tapi jiwa pendidikan dibiarkan kosong. Tanpa transisi dari simbol ke substansi, Indonesia akan terus terjebak dalam "kemajuan imitasi"---tampak hebat, tapi rapuh dalam ujian kenyataan.
B. Korupsi dan Feodalisme dalam Birokrasi dan Kampus
"Bangsa yang besar bukan hanya karena rakyatnya rajin, tapi karena pejabatnya jujur dan pendidikannya membebaskan."
 --- (Refleksi atas paradoks negeri yang kaya SDM tapi miskin terobosan)
Jika sistem pendidikan adalah pabrik pencetak SDM, maka birokrasi dan kampus seharusnya menjadi mesin yang menjamin kualitas dan keadilan output-nya. Namun apa yang terjadi di Indonesia justru sebaliknya: mesin ini aus oleh korupsi dan berkarat oleh feodalisme.
1. Kampus Sebagai Miniatur Feodal
Meski dunia luar sudah memasuki era meritokrasi dan kolaborasi horizontal, banyak kampus di Indonesia masih berkutat dalam pola pikir hierarkis dan patron-klien. Seorang dosen muda dengan gagasan progresif bisa ditenggelamkan jika idenya tidak "restu" dari atasan. Promosi jabatan, penugasan ke luar negeri, bahkan penerbitan jurnal pun sering kali bergantung pada relasi, bukan kapabilitas.
Kesaksian seorang dosen muda dari universitas negeri besar di Jawa:
 "Saya menulis jurnal Q1, tapi yang diberi penghargaan adalah senior saya yang menyalin hasil seminar ke jurnal lokal. Saya diam, karena kalau protes, karier saya habis."
Feodalisme di kampus ini menjadi antitesis dari esensi pendidikan: pembebasan dan pencerdasan. Dalam sistem seperti ini, bukan kecerdasan yang naik ke atas, tapi loyalitas dan kepatuhan. Hasilnya, inovasi stagnan dan keberanian berpikir digantikan budaya ABS --- Asal Bapak Senang.
2. Korupsi Akademik dan Dana Pendidikan
Laporan Indonesia Corruption Watch (ICW, 2022) menunjukkan bahwa sektor pendidikan masuk 5 besar sektor paling rawan korupsi. Mulai dari mark-up anggaran pengadaan buku, pemalsuan laporan riset, hingga praktik jual beli ijazah dan gelar honoris causa.