Tatkala Indonesia sibuk memperdebatkan kurikulum merdeka dan ijazah sebagai simbol gengsi sosial, Tiongkok sudah sejak lama menempatkan pendidikan sebagai senjata utama industrialisasi dan transformasi nasional. Bukan sebatas slogan atau wacana elit birokrasi, melainkan perencanaan terstruktur lintas generasi yang disebut "Kebijakan 100 Tahun."
Sejak era Deng Xiaoping pascarevolusi budaya, Tiongkok menyadari bahwa tidak ada modernisasi tanpa sains dan teknologi. Maka arah pembangunan pendidikan digeser dari model ideologis-Marxis ke model pragmatis-produktif: menjadikan pendidikan sebagai feeder langsung ke industri. Ini terlihat dari kebijakan vokasi besar-besaran dan penyelarasan kurikulum teknis dengan roadmap industrialisasi nasional.
Beberapa angka berbicara lantang:
Lebih dari 70% siswa SMA di Tiongkok melanjutkan ke pendidikan vokasi atau politeknik, bukan universitas konvensional (World Economic Forum, 2021).
Universitas Teknik seperti Tsinghua dan Zhejiang memiliki kolaborasi langsung dengan Huawei, Alibaba, dan perusahaan manufaktur raksasa, dengan program magang, riset bersama, bahkan skema co-teaching bersama praktisi industri.
Pemerintah Tiongkok menetapkan target untuk melatih 50 juta tenaga teknisi terampil antara 2020--2035 sebagai fondasi Revolusi Industri 4.0 mereka (China's Ministry of Education, 2022).
Bukan hanya kuantitas, tetapi arah dan relevansi yang menjadi kekuatan Tiongkok. Tidak ada jurusan dibuka tanpa proyeksi kebutuhan 10--20 tahun ke depan. Jika Indonesia membuka jurusan karena "passing grade-nya tinggi" atau "populer di masyarakat," maka Tiongkok justru menutup jurusan yang tak relevan meski banyak peminat. Universitas-universitas di sana diminta berkontribusi nyata pada tujuan negara, bukan sekadar mencetak ijazah.
Sementara kita masih terjebak dalam euforia jumlah perguruan tinggi dan pelajar, Tiongkok diam-diam telah menjadikan pabrik-pabriknya sebagai ruang kuliah dan kampusnya sebagai inkubator inovasi teknologi. Inilah yang membuat mereka mampu menyalip negara-negara Barat dalam banyak sektor: dari AI, chip semikonduktor, hingga kendaraan listrik.
"Kami tidak sekadar mendidik siswa untuk ujian. Kami mendidik mereka untuk menguasai masa depan." --- Liu He, ekonom utama Partai Komunis Tiongkok
Perbandingan ini begitu mencolok. Indonesia terlalu sering menganggap pendidikan sebagai urusan Kementerian Pendidikan, padahal pendidikan harus menjadi urusan seluruh kementerian: perindustrian, perdagangan, pertanian, riset, dan investasi. Di Tiongkok, semua kebijakan ekonomi berpangkal dari peta keterampilan nasional. Di Indonesia, kebijakan ekonomi dan pendidikan sering berjalan di dua lorong yang tidak pernah berpapasan.
Jika Tiongkok hari ini menjadi "pabrik dunia," itu karena mereka lebih dahulu membangun pabrik otak. Mereka tidak bertanya, "Berapa banyak lulusan?" tetapi "Apa yang bisa mereka ciptakan?" Dan di situlah perbedaan antara negara yang mendidik untuk bertahan hidup, dan negara yang mendidik untuk memimpin zaman.
B. India: Ekspor SDM Berbasis STEM dan Digitalisasi
"India is not exporting just people. We are exporting intelligence." --- Dr. Shashi Tharoor, Diplomat dan Anggota Parlemen India
Saat Indonesia kebingungan mencari lapangan kerja untuk jutaan lulusan yang tidak sesuai kebutuhan industri, India telah mengubah pendidikan menjadi industri ekspor kecerdasan. Dari Silicon Valley hingga Berlin, dari Dubai hingga London, para insinyur, ahli IT, dan tenaga medis dari India menjadi ujung tombak globalisasi teknologi. Mereka bukan hasil dari kebetulan, tetapi dari sebuah sistem pendidikan yang, meski penuh tantangan, memiliki kejelasan arah dan daya dorong transformasional.