Tak jarang satu kementerian meluncurkan program digitalisasi pendidikan, sementara kementerian lain justru mengimpor teknologi dari luar tanpa alih pengetahuan. Institusi riset dimerger, direstrukturisasi, lalu dilepas begitu saja tanpa arah yang jelas. Bahkan dalam sektor strategis seperti transisi energi atau smart farming, terjadi kekacauan antara kementerian teknis, daerah, dan badan usaha milik negara.
Sebagaimana kritik klasik dari para ekonom pembangunan, negara yang gagal bukanlah negara yang miskin sumber daya, melainkan negara yang tidak mampu merancang jalan ke depan. Indonesia hari ini adalah negara yang ramai dengan kebijakan, namun sepi dari desain yang terintegrasi. Setiap kementerian berjalan dengan ego sektoralnya masing-masing, dan bangsa ini pun tak lebih dari deretan program-program tambal sulam.
Jika kita bertanya: siapa yang bertanggung jawab menyatukan semua ini dalam satu kerangka besar pembangunan manusia dan peradaban ekonomi? Maka jawaban itu kerap tenggelam dalam kabut birokrasi dan politik jangka pendek.
Ironisnya, di tengah revolusi industri 4.0 dan tantangan AI yang mengguncang struktur tenaga kerja, Indonesia justru masih berdebat tentang siapa yang berwenang merancang pelatihan, bukan apa yang harus dipelajari. Kita lebih sibuk menyusun nomenklatur baru ketimbang menciptakan strategi bersama. Yang hilang bukan hanya sinergi, tapi juga visi.
Seperti sebuah kapal besar yang berlayar tanpa peta, tanpa koordinasi nahkoda dan awak, bangsa ini bisa jadi bergerak, tapi tidak menuju ke mana-mana.
B. Ketidakhadiran Masterplan Lintas Rezim: Negara Tanpa Ingatan
Dalam negara yang sehat dan beradab, setiap kebijakan besar lahir dari satu visi panjang---visi yang melampaui umur jabatan seorang presiden, melampaui kepentingan politik lima tahunan, dan melintasi generasi. Tetapi Indonesia, sebagaimana cermin retaknya sendiri, tampak seperti negara yang mengidap amnesia institusional: lupa pada apa yang telah dimulai, tak sabar menyelesaikan yang sedang dibangun, dan tergoda untuk memulai hal baru demi popularitas sesaat.
Setiap ganti rezim, ganti pula jargon. Dari Repelita ke Propenas, dari MP3EI ke RPJMN, dari Nawa Cita ke Indonesia Emas 2045. Namun yang terus berganti bukan hanya nama program, melainkan arah pembangunan itu sendiri. Tidak ada satu benang merah yang dijahit konsisten lintas administrasi. Indonesia seperti arsitek yang setiap lima tahun mengganti cetak biru rumahnya, membongkar pondasi lama, lalu membangun ulang tanpa pernah sampai ke atap.
Kita menyaksikan proyek-proyek raksasa yang ditinggalkan di tengah jalan karena rezim baru menganggapnya tak relevan secara politis. Kita melihat transformasi pendidikan dan riset yang dibatalkan, direstrukturisasi, atau bahkan dilenyapkan demi "efisiensi birokrasi"---sebuah istilah manis untuk pembatalan tanpa pertanggungjawaban akademik. Lembaga riset ditutup, kampus diintervensi, dan program jangka panjang dipotong karena tidak menghasilkan suara dalam pemilu.
Padahal, negara-negara seperti RRC, India, dan Singapura yang kini melesat bukan karena program mereka hebat, tapi karena mereka konsisten terhadap masterplan yang ditetapkan bersama, bukan sekadar oleh seorang tokoh. Di RRC, Made in China 2025 bukan sekadar visi Xi Jinping, melainkan kelanjutan terencana dari blueprint sebelumnya sejak 1978. Di India, investasi pada pendidikan STEM dan ekspor SDM digital dimulai sejak 1980-an dan tetap dipelihara lintas administrasi. Bahkan di Singapura, pemimpin baru hanya melanjutkan jalur yang sudah ditentukan bersama melalui konsensus jangka panjang yang kuat.
Sementara itu di Indonesia, visi pendidikan sering kali dipenggal di tengah jalan. Rencana pengembangan 1000 politeknik mati sebelum 100 berdiri. Reformasi kurikulum ditarik kembali karena menteri baru tak ingin "dinilai tidak berperan." Transisi energi dipromosikan tanpa roadmap fiskal yang jelas. Semua tampak "bergerak", tapi seperti roda sepeda yang diputar di tempat.