Sejak dekade 1980-an, India menyadari bahwa keterbatasan fisik bisa diimbangi dengan keunggulan kognitif. Maka, investasi besar-besaran dilakukan di bidang pendidikan STEM (Science, Technology, Engineering, Mathematics) melalui pendirian lembaga-lembaga unggulan seperti IIT (Indian Institutes of Technology) dan IIM (Indian Institutes of Management).
Beberapa data dan fakta menegaskan jejak sukses mereka:
India adalah pengekspor tenaga kerja IT terbesar di dunia. Pada tahun 2023, lebih dari 4 juta insinyur perangkat lunak asal India bekerja di luar negeri, dan menghasilkan remitansi senilai lebih dari US$ 100 miliar (World Bank, 2023).
CEO dari Google (Sundar Pichai), Microsoft (Satya Nadella), dan IBM (Arvind Krishna) --- semuanya berasal dari sistem pendidikan tinggi India, terutama IIT.
India juga menempati posisi ke-3 dunia dalam jumlah startup teknologi (Statista, 2023), banyak di antaranya dipimpin oleh alumni universitas teknik India yang berpikir global tapi tetap membumi.
Sementara Indonesia berlomba mencetak gelar sarjana dalam bidang sosial dan administrasi tanpa arah kerja yang pasti, India melatih lulusannya untuk menjadi global problem-solvers. Bahkan ketika sektor domestiknya belum mampu menyerap semua tenaga terampil itu, pemerintah India mendorong diaspora digital untuk bekerja di luar negeri dan membawa pulang pengetahuan, jaringan, serta investasi.
"Kampus adalah tempat mencetak manusia tangguh, bukan hanya pencari kerja."
 --- Dr. A.P.J. Abdul Kalam, Presiden India ke-11 dan ilmuwan rudal
India juga tidak hanya bertumpu pada elite kampus. Gerakan "Digital India" yang diluncurkan pada 2015 menjadi tonggak pemerataan pendidikan digital ke pelosok negeri. Ribuan rural tech hubs dibangun, menghubungkan desa-desa dengan pelatihan coding, AI, dan bahkan blockchain. Pendidikan bukan hanya untuk naik kasta, tapi untuk mengangkat ekonomi komunitas lokal melalui teknologi.
India mengajarkan bahwa tidak perlu menjadi negara kaya dulu untuk melahirkan sistem pendidikan yang visioner. Justru dari krisis dan keterbatasan itulah lahir kebijakan yang memaksa kecerdasan kolektif tumbuh: mendidik rakyat bukan untuk bangga pada gelar, tetapi untuk siap menaklukkan dunia.
Di sinilah ironi Indonesia menganga lebar. Kita mengagumi India dari layar YouTube, tetapi mengabaikan bahwa kita pernah sejajar dalam titik awal. Kini, kita justru mengekspor TKI tanpa pelatihan keterampilan, bukan SDM yang siap memimpin perusahaan global.
C. UEA: Transformasi Ekonomi dari Minyak ke Inovasi
"We do not wait for the future. We build it."
 --- Sheikh Mohammed bin Rashid Al Maktoum, Perdana Menteri UEA
Dulu, mereka hanya dikenal sebagai negara minyak. Padang pasir yang tandus dan panas, dihuni oleh suku-suku nomaden yang hidup berpindah-pindah. Namun kini, Uni Emirat Arab (UEA) telah menjelma menjadi pusat inovasi futuristik dan kekuatan ekonomi baru di Timur Tengah. Sebuah transisi yang tidak terjadi karena kekayaan semata, melainkan karena visi yang diterjemahkan ke dalam kebijakan pendidikan dan pengembangan manusia yang strategis dan brutal dalam eksekusi.
Saat Indonesia bergulat dengan rasio pengangguran lulusan S1 yang mencapai 5,9% menurut data BPS 2023, UEA justru mengimpor tenaga kerja berpendidikan tinggi dan memfasilitasi sistem pendidikan dalam negeri yang langsung menyambung ke kebutuhan inovasi dan investasi. Di balik gedung-gedung tinggi Dubai dan Abu Dhabi, ada arsitektur pendidikan yang terencana: elit, terkurasi, dan terhubung dengan ekosistem bisnis masa depan.