Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Otopsi Sebuah Bangsa Pintar yang Tidak Cerdas

5 Juni 2025   11:58 Diperbarui: 5 Juni 2025   11:58 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Masalah pendidikan tidak bisa diselesaikan oleh Kementerian Pendidikan saja. Ia adalah isu intersektoral yang menyentuh:

Ketenagakerjaan: Apakah lulusan sesuai dengan kebutuhan dunia kerja?
Industri dan Ekonomi Digital: Apakah keterampilan yang diajarkan adaptif terhadap perubahan teknologi?
Sosial-Budaya: Apakah kurikulum mencerminkan kebutuhan masyarakat lokal dan mendorong toleransi serta kerja sama?
Studi oleh OECD (2021) menunjukkan bahwa negara-negara dengan pertumbuhan pendidikan tercepat adalah yang memiliki policy coordination unit lintas kementerian yang bekerja dengan pendekatan data-driven dan goals-oriented.

Indonesia perlu membentuk unit lintas kementerian yang tidak hanya merancang, tapi menguji hipotesis kebijakan---seperti lab kebijakan hidup (living policy lab) yang dapat menciptakan model solusi lokal sebelum ditingkatkan skala nasional.

3. Memperkuat Literasi Data dan Keputusan Berbasis Sains

Kebijakan berbasis bukti tidak mungkin hidup dalam kultur yang anti-riset, atau yang lebih menghargai opini tokoh daripada fakta ilmiah. Maka:

Pendidikan birokrasi harus mencakup evidence-based governance.
Kampus dan lembaga riset perlu diberikan peran formal dalam perumusan kebijakan publik.
Dana APBN untuk riset sosial, pendidikan, dan pengukuran kebijakan ditingkatkan, tidak hanya difokuskan pada riset teknologi tinggi.
Pendidikan dan kebijakan Indonesia tak bisa lagi bertumpu pada semangat, slogan, dan spontanitas. Kita memerlukan pemimpin yang berpikir seperti ilmuwan---berani merumuskan hipotesis, mengujinya dengan data, dan mengakui kesalahan ketika kenyataan berkata lain. Tanpa keberanian berpikir berbasis bukti, Indonesia hanya akan menjadi bangsa pintar yang mengambil keputusan bodoh.

D. Roadmap 100 Tahun Pembangunan SDM dan Ekonomi Inklusif

"Pembangunan sejati bukan sekadar membangun gedung pencakar langit atau jalan tol, tapi membentuk manusia yang mampu menciptakan masa depan." --- Anies Baswedan, (2010), dalam forum Future of Education

1. Mengapa Harus 100 Tahun?

China punya visi 100 tahun, dimulai dari runtuhnya dinasti Qing hingga "100th Anniversary of the People's Republic" pada 2049. Singapura menyusun Masterplan 50 Tahun sejak merdeka. Sementara Indonesia? Berganti-ganti RPJMN setiap 5 tahun, tanpa kesinambungan visi besar jangka panjang.

Membangun manusia dan ekosistem ekonomi inklusif bukan proyek 5 tahunan, tapi proyek peradaban. Visi seratus tahun bukan utopia---ia adalah kerangka kerja untuk menghindari zig-zag kebijakan dan menciptakan bangsa yang bukan hanya mengejar pertumbuhan, tetapi kematangan dan kedaulatan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun