Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Otopsi Sebuah Bangsa Pintar yang Tidak Cerdas

5 Juni 2025   11:58 Diperbarui: 5 Juni 2025   11:58 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan seharusnya membuka masa depan, bukan menggemboknya. Namun dalam sistem kita yang cacat desain, pendidikan justru menciptakan generasi sarjana yang terasing dari pasar kerja, dan lebih buruk lagi, terasing dari dirinya sendiri.

"Engkau sarjana muda, Resah tak dapat kerja, Tak berguna ijazahmu..." --- Iwan Fals, "Sarjana Muda" (1981)

Lagu ini tetap relevan, bahkan 43 tahun setelah pertama kali dirilis. Bukankah itu ironi sejarah yang pahit, bahwa sistem yang sama masih mengulang luka yang sama, pada generasi yang berbeda?

E. Data: Rasio Ketidaksesuaian Lulusan dan Kebutuhan Kerja

"Indonesia adalah pabrik ijazah, tapi bukan pabrik lapangan kerja."

Ungkapan itu bukan sekadar satire, tapi cerminan statistik. Dalam dunia ketenagakerjaan, terdapat istilah teknis yang semakin mengganggu fondasi pembangunan bangsa: mismatch -- atau ketidaksesuaian antara kompetensi lulusan dan kebutuhan dunia kerja. Dan Indonesia mencatat angka mismatch tertinggi di kawasan ASEAN.

Menurut data World Bank (2023), lebih dari 55% lulusan pendidikan tinggi di Indonesia bekerja di sektor yang tidak sesuai dengan bidang studi mereka. Bahkan, laporan itu menyebutkan bahwa hanya 13% lulusan perguruan tinggi yang bekerja di bidang yang benar-benar relevan dengan kompetensi akademik yang mereka pelajari. Ini artinya, hampir 9 dari 10 sarjana di Indonesia tidak menggunakan secara langsung ilmu yang dipelajarinya selama bertahun-tahun.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengkonfirmasi ini. Pada laporan Profil Angkatan Kerja Indonesia 2023, disebutkan bahwa:

Tingkat ketidaksesuaian pendidikan dan jenis pekerjaan mencapai 62,54%.
Di sektor informal seperti perdagangan dan jasa transportasi, lulusan perguruan tinggi mendominasi pekerjaan non-kognitif, seperti kasir, pengemudi, penjaga toko, bahkan admin media sosial freelance.
Sementara itu, industri manufaktur dan teknologi---yang seharusnya menjadi penopang utama sektor produktif---justru kekurangan talenta terampil yang sesuai kebutuhan.
Lebih mencengangkan lagi, studi dari McKinsey & Company (2022) menyebut bahwa Indonesia akan kekurangan 9 juta tenaga kerja terampil digital hingga 2030, meskipun setiap tahun Indonesia meluluskan lebih dari 1 juta sarjana baru. Ini bukan hanya soal jumlah, tapi soal jenis keterampilan: kita mencetak lulusan, tapi tidak dengan kompetensi yang dibutuhkan industri masa depan.

"Kami sering kesulitan merekrut talenta lokal karena lulusan universitas belum siap kerja. Mereka bisa menjelaskan teori dengan baik, tapi tidak bisa menerapkannya. Maka kami rekrut dari luar negeri, meski biayanya lebih mahal." --- HR Manager, perusahaan teknologi nasional (dalam survei World Bank, 2023)

Inilah bentuk paradoks akut yang menunjukkan bahwa pendidikan Indonesia dan dunia kerja seperti dua rel kereta yang tidak pernah bertemu. Mahasiswa dididik dalam ekosistem kampus yang bercorak teoritis, linear, dan konservatif, sementara industri bergerak dalam ritme cepat, adaptif, dan penuh disrupsi. Hasilnya adalah jurang dalam antara "yang bisa" dan "yang dibutuhkan".

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun