Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Otopsi Sebuah Bangsa Pintar yang Tidak Cerdas

5 Juni 2025   11:58 Diperbarui: 5 Juni 2025   11:58 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kutipan ini---jika diserap dalam konteks Indonesia---menjadi cermin retak yang menampilkan betapa sistem pemerintahan kita terlalu terjebak dalam "jangka pendek lima tahunan." Setiap menteri, setiap presiden, setiap pejabat daerah seperti berlomba mencetak legacy instan, bahkan bila harus mengorbankan kesinambungan kebijakan dari rezim sebelumnya. Dalam sistem seperti ini, keberlanjutan menjadi barang langka, dan visi jangka panjang hanya menjadi jargon saat kampanye.

Yuval menegaskan bahwa bangsa yang besar bukan hanya diukur dari seberapa cepat mereka membangun, tetapi seberapa dalam mereka berpikir ke depan. Artinya, Indonesia butuh lebih dari sekadar program unggulan sesaat. Kita membutuhkan kerangka pikir dan desain sistem yang melintasi generasi, yang tahan dari perubahan menteri, dan tidak roboh oleh reshuffle.

Namun sayangnya, perencanaan lintas waktu di Indonesia jarang menjadi dasar kebijakan. Rencana pembangunan nasional 20 tahun ke depan ada, namun kerap tak diinternalisasi oleh tiap kementerian atau daerah. Ia hidup di atas kertas, tetapi tidak berdenyut dalam implementasi. Visi Indonesia Emas 2045, misalnya, sering dijadikan alat retoris, tetapi masih lemah dalam kerangka detail: apa indikatornya, siapa penanggung jawab lintas periodenya, dan bagaimana mekanisme evaluasinya?

Dalam diskusi di Forum Ekonomi Dunia 2021, Harari juga mengingatkan bahwa:

"We need institutions that think in terms of centuries, not election cycles."

Sebaliknya, lembaga-lembaga di Indonesia masih terjebak dalam siklus proyek tahunan dan ketakutan anggaran tidak terserap. Akibatnya, pendidikan, teknologi, ekologi, bahkan kebijakan pangan, sering dirombak bukan karena evaluasi objektif, tetapi karena perubahan rezim atau ego sektoral antar kementerian.

Negara yang tak mampu berpikir lintas waktu akan selalu kehabisan nafas di tengah perjalanan. Dan negara yang tak memiliki desain bersama antar lembaga hanyalah kumpulan ego birokratis yang berjalan tanpa kompas.

Maka, jika Indonesia ingin keluar dari kemacetan sistemik ini, ia harus belajar mendesain institusi yang mampu bertahan lebih lama dari usia jabatan presidennya---sebuah sistem yang hidup, bukan karena figur, tapi karena konsistensi visi lintas generasi.

IV. Komparasi Internasional: Belajar dari Negara yang Serius

A. RRC: Kebijakan 100 Tahun, Industrialisasi Berbasis Pendidikan Teknis

"Tidak peduli apakah kucing itu hitam atau putih, yang penting ia menangkap tikus."
 --- Deng Xiaoping, Arsitek Reformasi Tiongkok

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun