Fleksibel, bisa disesuaikan dengan dinamika teknologi dan kebutuhan lokal.
Berbasis proyek nyata dan magang terstruktur, bukan sekadar laporan KP formalitas.
Disesuaikan dengan kebutuhan daerah dan potensi ekonomi lokal, bukan satu kurikulum seragam nasional yang kaku.
Rekomendasi: Bentuk Dewan Kurikulum Tiga Pilar: akademisi--industri--pemerintah daerah.
2. Industri sebagai Ruang Belajar, Bukan Hanya Tempat Magang
Sektor swasta perlu diberi insentif agar mau berinvestasi dalam pendidikan:
Pajak lebih ringan bagi perusahaan yang menyediakan program magang terstruktur.
Skema matching-fund untuk program vokasi dan dual system seperti Jerman.
Kolaborasi kampus-industri dalam mengembangkan microcredentials dan sertifikasi kerja.
Studi dari OECD (2023) menunjukkan bahwa negara-negara dengan skema dual education system (seperti Swiss, Austria, dan Jerman) memiliki tingkat pengangguran lulusan muda di bawah 5%.
3. Inovasi Harus Tertancap di Tanah: Dari Laboratorium ke Pasar
Pusat riset perguruan tinggi dan BRIN tidak bisa lagi beroperasi dalam ruang kedap. Riset harus:
Berangkat dari problem nyata (problem-driven research).
Memiliki rute translasi ke pasar (dengan dukungan inkubator dan investor awal).
Dikelola dalam model triple helix: kampus--industri--negara.
Rekomendasi: Bentuk Lembaga Translasional Riset Nasional yang mengawal hasil riset kampus menuju komersialisasi dan penerapan.
4. Platform Nasional untuk Integrasi Data, Proyeksi Tenaga Kerja, dan Desain Kebijakan
Seluruh komponen --- kampus, pelaku industri, pemda, kementerian --- harus terhubung dalam satu sistem data nasional berbasis AI dan analitik prediktif, yang menyediakan:
Proyeksi kebutuhan tenaga kerja 5--10 tahun ke depan berdasarkan tren industri.
Data penyebaran keahlian lulusan berdasarkan wilayah.
Arah kebijakan pembangunan daerah berdasarkan potensi dan tantangan lokal.
Contoh sukses: SkillsFuture Singapore, platform nasional prediktif berbasis AI untuk kebutuhan skill nasional, yang jadi rujukan arah pendidikan dan pelatihan.
Mendesain ulang sistem bukan pekerjaan satu kementerian atau satu presiden. Ini adalah proyek peradaban. Jika Indonesia ingin berhenti menjadi bangsa yang pintar tapi tidak cerdas, maka seluruh elemen bangsa --- dari pemimpin nasional hingga wali kelas, dari CEO hingga tukang magang --- harus berada dalam satu ekosistem yang bukan hanya terhubung, tapi bernapas dalam tujuan yang sama: menciptakan bangsa yang bernalar, produktif, dan relevan.