Ironi ini menunjukkan bahwa gelar akademik tak lagi menjamin keunggulan kompetitif, jika sistem pendidikan tidak adaptif terhadap perubahan teknologi. Dunia kerja tidak menunggu gelar; ia memilih solusi yang paling efisien. Dan AI, dengan kecepatan belajar eksponensial, telah menjadi "lulusan abadi" yang tak bisa ditandingi hanya dengan transkrip dan toga.
Inilah saatnya untuk berhenti meninabobokan bangsa dengan ijazah. Karena dunia kerja hari ini tidak peduli pada nilai IPK-mu, tapi pada kemampuanmu bertahan di lanskap yang terus berubah---dan semakin dikuasai mesin.
D. Kesaksian Alumni: "Belajar 5 Tahun, Bekerja Serabutan"
Jika diibaratkan pohon, pendidikan tinggi adalah cabang tertinggi dari sistem pendidikan, tempat harapan rakyat digantungkan. Orang tua membanting tulang, berutang, bahkan menjual sawah demi satu ijazah anaknya. Ijazah itu, katanya, adalah tiket menuju mobilitas sosial. Namun, ribuan lulusan hari ini mendapati bahwa tiket itu sudah tidak berlaku di gerbang kehidupan nyata.
"Saya kuliah 5 tahun, ambil teknik industri. IPK saya 3,65. Tapi sekarang saya kerja serabutan. Pagi jadi ojek online, sore ngajar les privat. Kerja tetap nggak ada. Lowongan yang relevan selalu butuh pengalaman, padahal saya fresh graduate. Yang lebih nyesek, rekruternya lebih muda dari saya." --- Adit, 27 tahun, lulusan universitas negeri ternama, Jakarta
Testimoni seperti Adit bukanlah anomali, melainkan fenomena struktural. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus 2023, tingkat pengangguran terbuka (TPT) untuk lulusan diploma dan sarjana mencapai 6,15%, lebih tinggi dibanding lulusan SMA (5,76%) dan SMP (5,05%). Ironi ini memukul logika awam: semakin tinggi sekolah, semakin besar risiko menganggur.
Mengapa bisa begini? Karena sistem kita tidak membekali mahasiswa dengan daya saing sejati, hanya dengan tumpukan teori. Mereka tamat kuliah sebagai teknokrat tanpa pasar, akademisi tanpa lapangan, intelektual tanpa jejaring. Di ruang kuliah, mereka dihargai karena mampu menjawab soal; di luar sana, mereka ditolak karena tak tahu cara menyusun portofolio, menyampaikan ide, atau sekadar menjawab wawancara dengan percaya diri.
"Saya S2 dari Australia. Balik ke Indonesia, melamar ke banyak perusahaan, ditolak semua. Akhirnya saya buka jasa penulisan CV online. Miris, saya yang menulis lamaran kerja orang lain, tapi lamaran saya sendiri tidak pernah dibalas." --- Nina, 31 tahun, lulusan luar negeri, kini freelancer
Kisah seperti Nina dan Adit mengungkap "paradoks kemajuan" dalam pendidikan Indonesia: produksi intelektual meningkat, tetapi utilisasinya stagnan. Negara terus mencetak lulusan, tapi tidak menumbuhkan ekosistem produktif yang bisa menyerap mereka. Industri malas merekrut karena merasa lulusan tidak siap. Lulusan kecewa karena merasa negara tidak menyediakan ruang. Di tengah kekosongan itu, banyak yang menyulap kecerdasan menjadi bertahan hidup.
Dari sudut pandang sosiologis, fenomena ini menimbulkan kekecewaan kelas menengah yang sangat rawan berubah menjadi apatisme sosial, bahkan radikalisasi politik. Ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi juga psikologi kolektif bangsa yang kehilangan orientasi.
"Kami ini generasi pasca-reformasi. Dulu kami diajari, rajin belajar akan membuat hidup kami lebih baik dari orang tua kami. Tapi sekarang kami tahu, itu semua bohong."
 --- Yulia, 25 tahun, lulusan Ilmu Sosial, kini penjual kue online