Ironisnya, sebagian korupsi ini terjadi justru dalam program-program bernama "reformasi pendidikan" atau "digitalisasi kampus". Alih-alih memperbaiki sistem, dana-dana tersebut menjadi bancakan elite institusi.
Sebuah investigasi Majalah Tempo (2021) mengungkap penyelewengan anggaran lebih dari Rp 300 miliar dalam proyek revitalisasi SMK yang seharusnya membekali siswa dengan keterampilan kerja.
Birokrasi pendidikan juga penuh "orang titipan". Jabatan struktural diisi oleh non-akademisi atas dasar balas jasa politik, bukan visi strategis. Maka jangan heran bila kebijakan pendidikan sering tidak sinkron, saling tumpang tindih, dan tidak berpijak pada riset ilmiah.
3. Birokrasi Pemerintah yang Lumpuh oleh Pragmatisme
Di level nasional, kebijakan pendidikan --- termasuk perencanaan lapangan kerja --- terlalu sering tunduk pada kepentingan elektoral jangka pendek. Populisme kalkulatif mengalahkan perencanaan struktural. Alih-alih membuat sistem pendidikan vokasional yang strategis dan industrialisasi berbasis sains, pemerintah sibuk bagi-bagi beasiswa dan membangun kampus di daerah demi elektabilitas.
Dalam laporan World Bank (2023), disebutkan bahwa kebijakan pendidikan Indonesia sering kali berubah setiap ganti menteri, tanpa kesinambungan strategi jangka panjang.
Inti Kritik:
Feodalisme di kampus dan korupsi dalam birokrasi adalah kombinasi mematikan bagi masa depan bangsa. Mereka menghambat inovasi, mematikan meritokrasi, dan melumpuhkan kepercayaan generasi muda pada institusi pendidikan. Indonesia butuh revolusi bukan hanya dalam kurikulum, tapi juga dalam struktur kekuasaan yang membelenggu kecerdasan.
C. Absennya Riset, Evaluasi Sistem, dan Kebijakan Berbasis Data
"Negara yang tak mengandalkan data dan riset adalah negara yang mengandalkan firasat dan selera." --- Catatan reflektif seorang peneliti muda LIPI (sekarang BRIN)
Satu penyakit kronis bangsa ini adalah keengganan belajar dari data dan enggan berubah karena riset. Di saat negara-negara maju membuat setiap kebijakan berdasarkan evidence-based policy making, Indonesia sering kali melangkah tanpa peta, sekadar menebak arah angin dan menggantungkan keberuntungan pada jargon politis.
1. Kebijakan Pendidikan: Reaktif dan Tak Konsisten