Sekolah dan kampus harus menyediakan ruang untuk eksperimen dan kegagalan yang produktif.
Guru/dosen menjadi fasilitator, bukan hanya penyampai materi.
Teknologi digunakan bukan untuk menggantikan guru, tapi memperluas jangkauan belajar dan mempercepat proses umpan balik.
Contoh nyata: di Finlandia, siswa diberi otonomi untuk mengeksplorasi topik dalam tim kecil dan mengevaluasi hasil kerja mereka sendiri --- hasilnya, bukan hanya nilai akademik yang naik, tapi juga self-efficacy dan kepedulian sosial.
Kalau kita terus memaksa anak-anak untuk menjawab soal yang bahkan tidak relevan dengan hidup mereka, kita sedang mencetak lulusan yang akan bingung --- dan mungkin frustrasi --- ketika menghadapi dunia yang tidak menyediakan kunci jawaban. Pendidikan Indonesia harus berubah dari "mengajar demi kelulusan" menjadi "belajar demi keberdayaan". Dari mencetak siswa ranking satu menjadi mencetak warga yang tahu bagaimana menyelesaikan masalah bersama. Inilah akar kecerdasan sejati.
C. Kebijakan Berbasis Evidence dan Kajian Lintas Sektor
"Tanpa data, Anda hanya seseorang dengan opini." --- W. Edwards Deming, pelopor manajemen mutu dan reformasi industri Jepang
Di tengah gempuran disinformasi dan kebijakan populis jangka pendek, Indonesia membutuhkan keberanian untuk kembali ke akar rasionalitas: membuat kebijakan berdasarkan bukti nyata, bukan hanya asumsi, kepentingan politik sesaat, atau pencitraan statistik yang manipulatif. Dalam konteks pendidikan dan pembangunan sumber daya manusia, hal ini menjadi sangat vital.
1. Mengakhiri Siklus Kebijakan Instan Tanpa Evaluasi
Selama ini, pergantian menteri atau kepala daerah sering berarti "restart kurikulum" dan "program baru" tanpa kelanjutan atau evaluasi. Akibatnya:
Banyak program pendidikan hanya bertahan satu periode, tanpa evaluasi dampak jangka panjang.
Dana riset pendidikan terserap untuk pilot project yang tidak pernah direplikasi.
Statistik digunakan untuk membenarkan kebijakan, bukan membentuknya.
Laporan World Bank (2022) menyebut bahwa Indonesia memiliki policy volatility index yang tinggi --- artinya kebijakan sering berganti sebelum dampaknya sempat terukur.
Solusinya:
Setiap kebijakan pendidikan harus disertai dengan baseline data, indikator output dan outcome, serta mechanism for revision.
Dibentuk Educational Evidence Council independen, berisi pakar multidisiplin yang bertugas mengevaluasi efektivitas kebijakan sebelum dan sesudah implementasi.
2. Integrasi Kajian Lintas Sektor