Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Otopsi Sebuah Bangsa Pintar yang Tidak Cerdas

5 Juni 2025   11:58 Diperbarui: 5 Juni 2025   11:58 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Beberapa data dan langkah strategis UEA yang mencolok:

Pada tahun 2017, UEA meluncurkan Strategi Inovasi Nasional dengan 7 sektor prioritas, dari transportasi pintar hingga energi terbarukan, yang mewajibkan pendidikan tinggi menyesuaikan kurikulum dan risetnya secara langsung.
UEA menjadi rumah bagi kampus cabang dari universitas terbaik dunia seperti New York University Abu Dhabi, Sorbonne University Abu Dhabi, dan Rochester Institute of Technology. Di sana, tidak ada ruang untuk kampus tanpa kontribusi pada ekonomi pengetahuan.
Pada 2021, UEA mengangkat seorang Menteri Kecerdasan Buatan pertama di dunia, Omar bin Sultan Al Olama, dalam usia 27 tahun --- simbol bahwa inovasi bukan milik mereka yang menua dalam birokrasi, tapi mereka yang siap berpikir melompat.
"Minyak akan habis, tapi tidak dengan ide." --- Sheikh Zayed bin Sultan Al Nahyan

Transformasi UEA bukan hanya tentang mengganti sumber pendapatan. Ini adalah perubahan paradigma pendidikan sebagai poros utama transisi ekonomi. Mereka sadar bahwa pendidikan yang tidak disambungkan dengan orientasi jangka panjang hanyalah konsumsi intelektual tanpa kontribusi. Oleh karena itu, selain membangun kampus internasional, mereka juga mendesain insentif riset dan startup lokal dengan fasilitas, pendanaan, dan kemudahan hukum yang pro-inovasi.

Indonesia? Kita masih berdebat kurikulum merdeka dan P5, sementara banyak dosen yang bahkan belum pernah terjun di dunia industri atau menulis satu pun paten. Kita masih membangun sekolah bertingkat dan memoles akreditasi, tapi lupa menjawab: "Untuk apa semua ini?"

UEA mengajarkan bahwa visi tanpa realisasi adalah mimpi kosong, dan uang tanpa arah adalah kemewahan yang memperpanjang kebodohan. Mereka memilih jalan susah yang disiplin: mendidik rakyatnya agar menjadi pembuat masa depan, bukan sekadar penonton di tribun globalisasi.

Pertanyaannya: apakah Indonesia siap menyusul, atau terus nyaman dalam status "negara berkembang selamanya"?

D. Singapura: Pendidikan Vokasional Berkualitas Tinggi dan Arah Industri yang Tegas

"Kita tidak punya sumber daya alam, jadi kita didik rakyat kita seperti berlian."
 --- Lee Kuan Yew

Singapura adalah anomali geografis, tapi bukan anomali perencanaan. Negara seluas kota kecil dengan nyaris tanpa sumber daya alam, namun mampu membuktikan bahwa dengan arah pendidikan yang presisi dan sinkron dengan strategi industri nasional, sebuah bangsa bisa menyalip mereka yang jauh lebih kaya dalam segala hal --- termasuk Indonesia.

Indonesia suka bangga punya banyak sarjana, tapi Singapura justru bangga punya banyak tenaga vokasional unggulan. Di saat lulusan S1 Indonesia rela antre jadi tukang parkir atau pengantar barang demi bertahan hidup, Singapura membangun Institutes of Technical Education (ITE) dan polytechnic yang lulusannya langsung diserap industri dengan gaji kompetitif. Di sana, menjadi teknisi bukan aib, melainkan kebanggaan profesional --- karena kualitasnya dihargai, bukan gelarnya.

Beberapa kebijakan konkret Singapura yang dapat diteladani:

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun