Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Otopsi Sebuah Bangsa Pintar yang Tidak Cerdas

5 Juni 2025   11:58 Diperbarui: 5 Juni 2025   11:58 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Seorang mahasiswa alumni S1 teknik dari kampus negeri ternama yang kini menjadi pengemudi ojol menyatakan dalam wawancara anonim:

"Saya bisa bikin model termodinamika, tapi nggak tahu cara menjual diri di dunia kerja. Nggak ada yang ngajarin kami bagaimana menghadapi kenyataan. Semua soal ujian, bukan soal hidup."

Testimoni ini bukan kasus tunggal. Ia mewakili puluhan ribu suara senyap yang telah dijebak oleh sistem yang tidak memberi mereka alat untuk berenang di lautan disrupsi. Pendidikan kita terlalu lama menjadikan masa depan sebagai ceramah, bukan sebagai realitas yang harus dijinakkan sejak dini.

Lebih tragis lagi, ketika kurikulum akhirnya mencoba berubah melalui program Merdeka Belajar, banyak guru yang justru kebingungan tanpa pelatihan yang memadai. Inovasi berhenti di PowerPoint, bukan di kelas nyata. Zaman berubah cepat; sekolah masih menunggu juknis.

Di sinilah benih ketertinggalan struktural Indonesia dari bangsa-bangsa seperti Singapura, Tiongkok, atau India yang sudah menanamkan kurikulum berbasis masa depan sejak satu dekade lalu. Mereka merancang pendidikan untuk menumbuhkan pencipta teknologi dan pemimpin global; kita masih berkutat pada definisi klasik tentang "berprestasi" versi UN dan ranking rapor.

"Kurikulum yang tidak adaptif adalah seperti jam tua yang tetap berdetak, tapi tak lagi menunjukkan waktu yang benar."

C. AI Semakin Membantai Lulusan S1 dan S2 dari Landscape Industri

Artificial Intelligence (AI) tak lagi sekadar jargon futuristik, melainkan kini menjadi rekruter, analis, akuntan, bahkan penulis yang tak tidur, tak protes, dan tak digaji. Menurut laporan McKinsey Global Institute (2017), lebih dari 600 juta pekerjaan di dunia akan terdampak otomatisasi hingga 2030, dan Indonesia termasuk 10 besar negara dengan risiko tertinggi bagi lulusan berpendidikan menengah ke atas.

Pekerjaan seperti data entry, akuntansi dasar, analis laporan, hingga pengajaran standar mulai diambil alih oleh sistem otomatis. Bahkan posisi yang dahulu dianggap aman oleh lulusan S2 seperti peneliti, dosen, dan staf ahli, kini mulai dilibas oleh sistem berbasis large language models dan AI multimodal.

Studi World Bank tahun 2022 mencatat bahwa hanya 12% lulusan S1 di Indonesia yang bekerja sesuai bidang studinya dalam 2 tahun pertama pasca kelulusan. Sementara sisanya terombang-ambing: menjadi freelancer, admin medsos, atau pekerja serabutan, bersaing dengan sistem otomatis yang lebih murah dan presisi.

Contoh nyata dapat kita temui di lapangan. Seorang lulusan S2 Manajemen dari universitas ternama, kini menjadi guru honorer bergaji 3 juta rupiah di kota kabupaten, mengaku kalah cepat dari platform analitik otomatis. Sementara itu, seorang lulusan S1 Teknik Informatika justru memilih mengojek online karena kalah bersaing dengan generasi bootcamp yang lebih lincah, murah, dan pragmatis.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun