Setiap menteri pendidikan datang dengan konsep baru---kurikulum merdeka, link and match, pembangunan karakter, revolusi mental, dan berbagai istilah manis lainnya---namun minim studi longitudinal dan evaluasi dampak kebijakan sebelumnya. Tidak ada indikator keberhasilan yang sistemik dan berkelanjutan. Kebijakan berganti sebelum hasil bisa diukur, ibarat menanam padi lalu dicabut sebelum tumbuh demi menanam benih baru.
Contoh nyata: sejak 2000 hingga 2024, Indonesia telah mengalami lebih dari 10 perubahan kurikulum nasional, namun hasil survei PISA (2022) masih menempatkan siswa Indonesia di peringkat bawah dalam literasi membaca, matematika, dan sains.
2. Riset sebagai Formalitas Birokrasi
Lembaga riset seperti BRIN, LIPI, dan Balitbangda seharusnya menjadi kompas sains bangsa. Namun pada praktiknya, banyak riset di Indonesia tidak pernah dibaca pembuat kebijakan, dan sebaliknya, kebijakan yang keluar tidak pernah berbasis pada temuan riset ilmiah.
Hanya 8% dari hasil riset perguruan tinggi di Indonesia yang diadopsi menjadi dasar kebijakan publik, menurut riset internal BRIN (2021).
Lebih parah lagi, banyak dana riset habis hanya untuk laporan di rak---bukan untuk inovasi di lapangan. Judul penelitian bombastis, output minimal. Kolaborasi riset-industri-pemerintah nyaris tidak hidup, membuat riset kehilangan relevansi terhadap masalah real dan kebutuhan strategis nasional.
3. Ketimpangan Investasi pada Sektor Strategis
Negara-negara seperti India dan RRC menggelontorkan dana besar untuk riset dan pengembangan (R&D) di bidang energi, AI, bioteknologi, dan pertanian cerdas. Sementara itu, alokasi dana riset Indonesia berkisar di angka 0,2% dari PDB, jauh di bawah RRC (2,4%) dan bahkan Vietnam (0,5%).
Laporan UNESCO (2023) mencatat bahwa Indonesia tertinggal dalam indeks intensitas riset, serta kolaborasi riset internasional.
4. Ketiadaan Sistem Feedback Loops
Sistem pendidikan dan ketenagakerjaan Indonesia bekerja dalam dua dunia yang jarang saling mengevaluasi. Lulusan tidak tahu dunia kerja seperti apa yang menanti, dan dunia industri tidak tahu bagaimana memberi masukan ke pendidikan. Tidak ada sistem feedback loop nasional yang menghubungkan: