Hal ini berujung pada konsekuensi sangat mahal: hilangnya trust publik terhadap keberlanjutan kebijakan negara. Investor, pengusaha, akademisi, dan bahkan mahasiswa kehilangan kepercayaan terhadap arah. Mereka tidak tahu: apakah yang mereka pelajari hari ini masih akan relevan dalam lima tahun? Apakah industri yang mereka siapkan akan bertahan, atau akan ditinggalkan oleh regulasi baru?
Sebuah bangsa tanpa masterplan lintas rezim adalah bangsa yang terus belajar, tapi tak pernah lulus. Terus bekerja, tapi tak pernah sampai.
Jika pendidikan, industri, riset, ekonomi digital, pertanian, dan transisi energi semua berjalan dalam lintasan sendiri, maka Indonesia bukanlah negara dengan banyak peta, tetapi negara tanpa kompas.
Maka, jangan heran jika kita menghasilkan lulusan-lulusan cerdas yang bingung mau ke mana. Karena negaranya sendiri tak pernah tahu, sedang menuju ke mana.
C. Studi Kasus: Kementerian Pendidikan vs Dunia Industri --- Dua Rel yang Tak Pernah Bertemu
Bayangkan dua kereta api: satu membawa ribuan lulusan setiap tahun dari gerbong-gerbong perguruan tinggi, sementara satu lagi membawa kebutuhan riil dari dunia industri, teknologi, dan pasar kerja global. Masalahnya: kedua kereta ini tidak berjalan di rel yang sama. Bahkan lebih parah, keduanya tidak pernah berpapasan, seolah berasal dari dua zaman yang berbeda.
Inilah realitas pahit antara Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) dan dunia industri di Indonesia---dua entitas yang secara ideal harus berkolaborasi erat, namun pada praktiknya justru bergerak sendiri-sendiri, sering kali bahkan bertabrakan secara kepentingan dan orientasi.
1. Kurikulum vs Kebutuhan
Di kampus, mahasiswa masih dijejali teori lama, buku ajar usang, dan keterampilan generik yang tak pernah dipakai di dunia nyata. Banyak kampus tidak memiliki data tentang kebutuhan industri lima tahun ke depan, dan sedikit sekali yang menjalin kerjasama strategis dengan pelaku industri sebagai mitra perancang kurikulum.
 Sementara itu, pelaku industri mengeluh tentang kualitas lulusan yang minim soft skill, lemah dalam problem solving, dan kaku terhadap perubahan teknologi. Bahkan perusahaan digital besar seperti Tokopedia, Gojek, atau Traveloka cenderung lebih memilih lulusan bootcamp informal atau lulusan otodidak yang terbukti mampu beradaptasi cepat, ketimbang lulusan formal dengan gelar sarjana tapi miskin keterampilan praktis.
2. Praktik Magang: Formalitas yang Tidak Fungsional
Program Merdeka Belajar Kampus Merdeka sejatinya membuka peluang untuk menjembatani gap antara dunia kampus dan industri. Namun, implementasinya sebagian besar masih kosmetik. Banyak mahasiswa melaksanakan magang di instansi yang tidak relevan, hanya untuk mengejar sertifikat. Sebaliknya, banyak perusahaan masih ragu membuka akses pada mahasiswa karena ketidaksiapan birokrasi kampus dalam menyesuaikan kurikulum dan beban SKS.