2. Meritokrasi yang Autentik:
Di Singapura dan India, orang cerdas, kompeten, dan berdedikasi naik ke puncak sistem. Di Indonesia, meritokrasi sering dikalahkan oleh nepotisme, jual beli jabatan, dan politik balas budi. Banyak pemimpin institusi pendidikan atau kepala daerah ditunjuk bukan karena kapabilitas, tapi karena "perhitungan politik."
 Maka tak heran jika banyak kebijakan pendidikan kita tumpul karena dipimpin oleh mereka yang tak mengerti substansi.
Dalam laporan Transparency International 2023, Indonesia masih berada pada peringkat 115 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi.
Di sektor pendidikan, ICW mencatat bahwa anggaran pendidikan termasuk paling rawan dikorupsi.
Ketika jalur karier ditentukan bukan oleh kualitas kerja, tapi oleh relasi dan loyalitas, bagaimana kita bisa berharap sistem akan melahirkan SDM berkualitas?
3. Kejelasan Arah Nasional:
Negara-negara yang berhasil menetapkan poros nasionalnya dengan tegas: RRC pada industrialisasi dan teknologi, India pada digitalisasi dan diaspora global, UEA pada inovasi dan sains pasca-minyak, Singapura pada efisiensi SDM.
Indonesia masih gamang: ingin industri 4.0 tapi basic research diabaikan, ingin transformasi digital tapi sinyal internet di daerah 3T mati, ingin "link and match" pendidikan dan kerja tapi pendidikan vokasi dipandang sebagai jalur inferior.
Sebagian besar pembangunan bersifat reaktif, bukan proaktif. Ketika dunia bicara AI, kita sibuk membahas seragam sekolah dan Ujian Nasional. Ketika negara lain menanam pabrik chip, kita malah berdebat soal etika influencer pendidikan.
Yang membedakan negara cerdas dan negara dodol bukan sekadar kurikulum atau anggaran, tapi konsistensi visi, keadilan dalam sistem sosial (meritokrasi), dan arah nasional yang jelas dan dijaga lintas rezim. Tanpa ketiga fondasi itu, Indonesia akan terus mencetak sarjana... untuk diantarkan oleh algoritma aplikasi ojek.
V. Variabel Penentu Kemacetan Kemajuan Indonesia
A. Budaya Simbolik, Bukan Substantif
"Kita terlalu sibuk mengecat dinding rumah yang retak, sementara fondasinya tenggelam dalam lumpur." --- Parabel urban tentang pembangunan Indonesia