Memasuki era Reformasi, euforia demokratisasi membuka ruang desentralisasi pendidikan. Otonomi kampus diperluas, dan peluang pendirian universitas swasta dibuka selebar-lebarnya. Namun perubahan ini, alih-alih meningkatkan mutu, justru melahirkan ledakan kuantitas tanpa pengawasan kualitas yang memadai. Menurut data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) tahun 2023, Indonesia memiliki lebih dari 4.600 perguruan tinggi, menjadikannya salah satu negara dengan jumlah institusi pendidikan tinggi terbanyak di dunia---tetapi tanpa korelasi langsung dengan kualitas output-nya.
Banyak kampus berdiri lebih karena kepentingan bisnis dan politik lokal daripada misi keilmuan. Di beberapa daerah, universitas bahkan menjadi proyek dinasti: ijazah dijual secara implisit, penelitian hanya formalitas, dan akreditasi bisa dinegosiasikan. Mahasiswa tak lagi dibentuk untuk berpikir, tapi dilatih untuk lulus cepat, cari kerja, dan masuk sistem---yang sayangnya, sistem itu sendiri tidak siap menerima mereka. Maka pendidikan tinggi berubah menjadi ritual tahunan: daftar, kuliah, skripsi, wisuda, lalu frustrasi.
Lebih menyedihkan, pergeseran orientasi pendidikan dari "membentuk manusia" menjadi "mencetak tenaga kerja" membuat ilmu kehilangan dimensi filosofis dan etikanya. Sains diajarkan tanpa kesadaran akan tanggung jawab sosialnya, teknologi tanpa konteks kemanusiaannya, dan ekonomi tanpa kritik terhadap ketimpangan struktural. Maka jadilah kita bangsa dengan banyak sarjana tapi sedikit pemikir, banyak lulusan tapi minim pemimpin transformasional.
Inilah akar dari paradoks pendidikan Indonesia: semakin banyak yang bersekolah tinggi, tapi semakin banyak pula yang terjebak dalam kekecewaan sistemik. Negara menganggap pendidikan sebagai investasi, tapi gagal membangun sistem yang bisa mengembalikan dividen dari investasi itu. Kita telah mengubah pendidikan menjadi ritual prestise sosial, bukan jalur pembebasan struktural. Di sinilah awal mula dodolisme sistemik itu---ketika kita mendidik demi peta jalan yang tak pernah kita siapkan.
"Pendidikan bukan sekadar mencetak manusia untuk bekerja. Ia harus membentuk manusia yang mampu menciptakan pekerjaan, dan lebih dari itu, menciptakan makna."
 ---Prof. Anies Baswedan, dalam orasi ilmiah, 2010.
B. Kurikulum Kaku dan Tidak Adaptif terhadap Zaman
Jika pendidikan adalah kapal yang membawa generasi ke masa depan, maka kurikulum adalah kompasnya. Sayangnya, kompas pendidikan Indonesia selama puluhan tahun ini seperti rusak --- berputar di tempat, tidak menunjuk ke arah zaman yang berubah dengan radikal.
Kurikulum di Indonesia lebih sering lahir dari meja birokrasi ketimbang dari pergulatan pemikiran lintas bidang. Ia dikendalikan oleh regulasi pusat yang cenderung melihat pendidikan sebagai alat stabilisasi sosial-politik, bukan alat transformasi sosial-ekonomi. Alhasil, setiap perubahan kurikulum bukan berangkat dari perubahan kebutuhan zaman, melainkan dari pergantian menteri atau orientasi politik sesaat. Kurikulum 1994, KBK 2004, KTSP 2006, Kurikulum 2013, Merdeka Belajar---semuanya seperti tambalan pada kain tua yang sobeknya terus melebar.
Kekakuan ini nyata dalam banyak hal. Kurikulum masih sangat berbasis pada konten, bukan kompetensi. Anak-anak dijejali materi yang sering kali tak relevan dengan realitas hidup mereka. Siswa SMP masih harus menghafal jenis batuan sedimen dan metamorf, sementara dunia luar bicara tentang AI, iklim ekstrem, dan quantum computing. Mahasiswa masih harus menulis skripsi teoretis yang tidak dibaca siapa pun, alih-alih membuat proyek nyata yang berdampak bagi masyarakat. Dunia kerja menuntut literasi digital, kemampuan berpikir kritis, dan komunikasi lintas budaya---sementara sekolah mengajarkan rumus luas permukaan tabung dengan hafalan kosong.
Keterputusan antara isi kurikulum dan kebutuhan riil ini ditegaskan dalam laporan World Economic Forum 2023, yang menyebutkan bahwa lebih dari 55% lulusan pendidikan tinggi di Indonesia tidak siap menghadapi pekerjaan masa depan karena rendahnya kompetensi abad ke-21: critical thinking, problem solving, dan collaboration. Dalam laporan McKinsey Indonesia 2020, ditemukan pula bahwa mayoritas lulusan universitas masih memiliki skill gap signifikan dalam bidang digital, komunikasi, dan inovasi.
Parahnya, pendekatan pedagogis pun masih cenderung satu arah. Siswa pasif menerima; guru aktif mendikte. Kelas bukan ruang dialog, tapi panggung penghafalan. Tak heran jika kreativitas anak muda Indonesia kerap membuncah di luar sekolah---di komunitas, media sosial, atau bahkan jalanan---karena ruang sekolah terlalu sempit untuk imajinasi mereka.