Langkah kakimu terhenti
Di depan halaman sebuah Jawatan"
 --- Iwan Fals, Sarjana Muda (1981)
Empat dekade berlalu sejak lagu itu dirilis, namun kenyataannya masih stagnan---bahkan mungkin memburuk. Tahun 2024, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat lebih dari 1 juta lulusan pendidikan tinggi menganggur, sebagian besar dari mereka berasal dari kelompok usia produktif. Sebuah survei daring oleh Katadata (2023) menunjukkan bahwa 42% dari lulusan S2 di Indonesia tidak bekerja sesuai bidang keahliannya, dan sebagian terpaksa bekerja di sektor informal seperti pengemudi ojol, penjual daring, atau pekerja lepas dengan upah rendah.
Ironisnya, Indonesia terus membanggakan indeks pendidikan, program beasiswa, dan gelar akademik tanpa mempertanyakan mengapa sistem ini gagal menciptakan ekosistem produktif dan mandiri. Kita hidup di negara yang bangga dengan jumlah profesor, tapi gagap membuat inovasi berdampak; bangga punya banyak perguruan tinggi, tapi tidak memiliki arah industrialisasi yang jelas.
Lalu, mengapa negara sebesar dan sekompleks Indonesia masih tampak jalan di tempat, sementara Tiongkok menciptakan Shenzhen sebagai pusat teknologi dunia, India mengekspor insinyur dan teknolog ke Silicon Valley, UEA membangun kota masa depan di padang pasir, dan Singapura mengubah keterbatasan lahannya menjadi keunggulan global?
Esai ini akan menguliti dengan pisau analisis sistemik dan komparatif. Kita akan mencari otot, saraf, bahkan luka dalam dari sistem Indonesia: mengapa bangsa pintar ini tak kunjung menjadi cerdas?
OUTLINE
I. Pendahuluan
Kutipan dan refleksi dari Sarjana Muda sebagai pembuka historis.
Statistik pengangguran lulusan pendidikan tinggi.
Pernyataan tesis: Indonesia menderita "cacat desain sistemik" yang menyebabkan disparitas antara pendidikan, lapangan kerja, dan arah pembangunan nasional.