"Namaku Palondino Sugeng Riyadi, aku seorang komandan peleton yang ditugaskan mendarat di sini. Namun, sekali lagi aku katakan... aku keturuan pribumi. Kedua orang tuaku pun berasal dari sini, karena suatu keadaan orang tuaku kemudian berada di Jepang dan melahirkan aku di sana. Dan aku berusaha kembali ke tanah air orang tua, dan ini... aku minta tolong padamu untuk melanjutkannya...pencarian..."
"Tolong... bawa ini..."
Tentara Jepang itu pun merogoh saku bagian dalam dan mengeluarkan secarik kertas serta kalung dengan liontin berwarna keemasan berbentuk matahari dengan tonjolan batu bulat berwarna ungu di tengahnya. Setelah mengucapkannya, tentara Jepang itu pun menghembuskan nafas yang terakhir. Seketika itu pula Shepo kembali berteriak histeris.
"Aaaaa....aaargghh....!!!"
"Huaaaa....hwaaaa....!!!"
Hati Shepo benar-benar hancur, perasaannya begitu remuk-redam membuncah dalam erangan tangis pilunya yang membelah angkasa. Air matanya pun mengucur deras, dan kemudian titik air mata itu ada yang menetes tepat di tonjolan batu berwarna ungu. Seketika itu juga, tiba-tiba cahaya yang terang sekali menyelubungi Shepo disertai pusaran angin dahsyat di sekitarnya. Shepo yang terkejut pun serasa terjerambab dan mata bocah berusia 7 tahun itu menjadi berkunang-kunang, perlahan-lahan kesadarannya pun menghilang. Saat-saat terakhir ia merasakan tubuhnya terpental dan terputar-putar di antara cahaya yang seolah menghisapnya, kemudian bayangan mayat tentara Jepang itu masih berkata-kata di dalam dirinya di antara keributan yang semakin ricuh. "Matikah aku...?"
 Sinar mentari berkelap-kelip menerobos di antara rerimbunan pepohonan Akasia yang berjajar rapi di trotoar yang sesekali mengusik pandangan pengemudi mobil kodok Volkswagen berwarna biru telur asin yang sedang membawa seseorang berperawakan tinggi besar bagai raksasa. Mobil mini itu pun seakan kekenyangan menelannya bulat-bulat hingga hampir tiada ruang untuk manusia lain bersanding dengannya duduk di jok belakang. Sayup-sayup dari minitape terdengar pidato yang membakar gelora:
"Kalau kita lapar itu biasa.Kalau kita malu itu juga biasa. Namun kalau kita lapar atau malu itu karena Malaysia, kurang ajar!
Kerahkan pasukan ke Kalimantan. Hajar cecunguk Malayan itu!
Pukul dan sikat jangan sampai tanah dan udara kita diinjak-injak oleh Malaysian keparat itu.