Arslan kenal betul majikannya itu, tidak biasanya ia seperti itu. Iachos tak hanya sebagai majikannya yang baik semata, namun ia juga mengagumi sepak terjangnya selama ini semenjak ia bertemu dengannya di Surabaya. Kemudian Iachos mengajak dia beserta Shepo ke Yogyakarta di tengah kegamangannya melanjutkan kehidupannya sebagai seorang penyemir sepatu bersama Shepo di stasiun Gubeng.
Iachos adalah anak dari pendiri "Warta Juang", koran harian yang mulai beredar kembali tak lama setelah kemerdekaan Indonesia dikumandangkan. Sebelumnya penerbitan "Warta Juang" semejak tahun 1908 sering jatuh-bangun mendapat berbagai kendala dan pertentangan hingga pemerintah kolonial Hindia Belanda dan Jepang sempat membredelnya.
Yang berbeda dari media cetak lainnya adalah "Warta Juang" benar-benar nasionalis dan apa adanya. Walau Iachos merupakan keturunan berdarah Yunani dari ayahnya, namun jiwa dan semangatnya benar-benar murni untuk Indonesia, tanah yang kini ia pijak membangun keluarga dan masa depan.
"Warta Juang" kemudian diwariskan kepada Iachos setelah orang tuanya bersama Tan Malaka ditangkap dan dibunuh oleh para 'gerilyawan' yang tidak suka pada mereka. Pasca kematian orang tuanya, Iachos merasa dirinya selalu dibayang-bayangi sesuatu. Saat kejadian itu, Arslan sedang diasramakan di sekolah rakyat milik keluarga Iachos di Purwokerto.
Baru 3 tahun berjalan Arslan menerima pendidikan akademisnya di sana, sekolah rakyat itu mendapat masalah dan ditutup karena diduga mempersiapkan generasi pemberontak. Â Dan terakhir, 3 bulan yang lalu salah satu anak buah wartawan terbaiknya ditemukan tewas dalam perjalanan pulang ke Yogyakarta.
Kasus ditutup 3 minggu setelahnya dengan dianggap bahwa wartawan itu di serang oleh binatang buas saat diketemukan mayatnya tergeletak dan bersimbah darah dikursi mobil barang tumpangannya bersama sang sopir yang seorang petani tebu di pinggir jalan area perkebunan tebu wilayah Temon. Namun dari cerita Iachos padanya, Iachos yakin bahwa anak buahnya dibunuh oleh tangan-tangan manusia yang menjadi setan.
Iachos berusaha meyakinkan tim penyelidik akan hal itu dan untuk diusut lebih lanjut. Dan Arslan pun sependapat dengan majikannya, saat ia melihat luka-luka yang didapati dari foto mayat wartawan itu saat Iachos menunjukkan padanya.
Dari pemahamanya kali ini, ia bisa mengerti sebab sekolah rakyat itu ditutup terkait penangkapan orang tua Iachos beserta Tan Malaka dan para pendukungnya. Dengan mengingat kejadian itu, Arslan mulai menduga bahwa Iachos mendatangi tempat ini beberapa kali ada hubungannya dengan penyelidikan kematian anak buahnya.
Arslan mengambil salah satu terbitan "Warta Juang" hari ini dari kardus bagasi belakang mobil kodok itu dan membacanya di kursi depan kemudi. Tak ada pilihan lain untuk menunggu Iachos saat itu, karena ia sendiri tidak bisa mengajak bicara orang-orang asing di sekitarnya yang bahasanya masih belum ia kuasai.
Sambil menyesap wangi dan hangatnya teh yang disajikan bersama sepiring lotek sambal kacang oleh salah satu emban tadi, ia mulai serius membaca baris demi baris berita yang disajikan. Pikirannya jadi menerawang jauh kembali ke masa lalu saat ia mendapati artikel yang membahas topik tentang hari raya kemerdekaan. Arslan jadi teringat kejadian 24 Januari 1946, saat bersama Shepo dan Iachos mengantarkan mendiang ayah Iachos ke suatu pertemuan bersama sesosok pria yang bagaikan kancil berkata lantang:
"Kepada kalian para sahabat, tahukah kalian kenapa aku tidak tertarik pada kemerdekaan yang kalian ciptakan. Aku merasa bahwa kemerdekaan itu tidak kalian rancang untuk kemaslahatan bersama. Kemerdekaan kalian diatur oleh segelintir manusia, tidak menciptakan revolusi besar. Hari ini aku datang kepadamu, wahai Soekarno sahabatku... harus aku katakan bahwa kita belum merdeka, karena merdeka haruslah 100 persen.