Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Bangsawan Pure

24 Januari 2019   06:55 Diperbarui: 24 Januari 2019   07:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            "Hahaha, tidak aku sangka rencana itu berjalan dengan sangat lancar. Bukan apa-apa, hanya memang otakmu itu terlalu tumpul. Seharusnya kau menyadari bahwa seseorang yang begitu hebat sepertiku pasti bisa menyelesaikan masalah denganmu jika kesempatan ada. Tusukanmu itu tidak memiliki makna apa-apa. Memang benar, kau sempat mengalirkan warma ke pedang itu. Sayang, tingkatan penguasaan kita berbeda sangat jauh. Aku memang harus berterima kasih kepadamu. Setidaknya, kau tinggal menunggu waktu sebelum seluruh darahmu habis mengalir keluar dari tubuhmu."

            Burung gagak yang hitam legam itu telah datang ke atas langit lokasi perkelahian. Pandangannya dengan tajam menyaksikan perselisihan dua manusia itu. Segera dia terperanjat menyaksikan sesuatu yang ganjal tetapi justru menarik perhatian baginya, ketika aliran darah yang begitu segar mengalir keluar dari luka yang terbuka lurus sepanjang lengan atas Arto. Bukan, lebih dari itu, terlihat juga daging yang tidak begitu merah muda warnanya. Ini adalah kesempatan!! Belum lagi hanya dia seekor yang masih asyik berlayar di udara lepas itu.

            Arto juga menyadari keberadaan burung gagak, sekali lagi dia menyaksikan lukanya yang begitu menjijikkan itu. Sembari bersimpuh, dia hanya bisa menatap Palp dengan kepasrahan yang tinggi. Apa hanya sejauh ini dia bisa berbuat? Tidak ada lagi daya baginya untuk bertarung. Semakin bergerak, hal itu sama saja semakin mendekatkan dirinya kepada Kematian yang begitu ditakuti. Sayang sekali, padahal dia belum memiliki istri paduan hidup. Apalagi anak-cucu yang masih terlalu jauh di angan-angan.

            "Semua ini telah berakhir!!!"

            Palp melompat ke depan kemudian berlari ke arah Arto. Belati yang berbentuk seperti taring harimau dipegang dengan pegangan belakang. Ujung belati yang tajam dan menyempit itu menyimbulkan cahaya yang menarik perhatian Sang Kematian. Hanya seutas cahaya, tetapi tajam menatap ke langit gaib yang tidak terjamah oleh manusia. Segera pesan itu ditangkap oleh Kematian yang sedang duduk membaca di tahtanya.

            Tangan kanan Palp meroket ke arah leher kiri Arto. Tidak ada yang bisa membendung serangan itu lagi. Pertahanan Arto kosong, untuk menghindar adalah tindakan fana karena jarak antara Arto dan Palp sudah sedemikian dekatnya. Mencoba mencari keajaiban untuk hidup, tatapan mata ksatria yang tertunduk itu diarahkan ke arah Amin yang masih menggeliat di dalam imajinasi ketakutannya. Tidak ada lagi, hanya menunggu lehernya robek dan mengeluarkan cipratan darah segar lainnya.

            Ssshhhutt!!!

            Ujung belati menembus jauh ke dalam leher Arto yang kendor. Urat nadi yang telah lelah memompa darah terkeluak dan justru membuang sisa darah yang ada di tubuh Arto. Belum lagi salah satu bantalan tulang belakang yang ikut tercoreng oleh ujung belati yang sangat tajam itu. "Aaaaahhhh!!!" hanya erangan keputusasaan seperti itu yang sempat terucap. Pandangan terakhir hanya ke arah atas, langit biru yang maha luas. Sayang, ada satu titik yang mengganggu pemandangan indah ini, sebuah titik yang begitu hitam. Pasti itu adalah gagak yang tadi sempat mengganggu.

            Tapi, titik itu semakin membesar dan seperti terbang ke arahnya. Menukik dengan kecepatan yang tiada tara dan menembus pembatas antara yang ada dan yang tidak ada. Segera Arto menyadari, titik hitam itu menyerupai sebuah mantel hitam lusuh yang terbang menukik ke arahnya. Tidak ada lagi harapan. Semua telah menjadi gelap dalam sekejap.

            Arto yang nakal, sempat-sempat dia membuka mata dan menitip sedikit. Hanya sebuah mantel lusuh yang melayang, tangannya memegang sebuah pedang seperti bulan sabit yang melingkari mantel itu.

            Sssrrrttt!!!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun