Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Bangsawan Pure

24 Januari 2019   06:55 Diperbarui: 24 Januari 2019   07:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            "Wah!! Berarti paman-paman ini telah banyak bertemu dengan orang-orang di penjuru benua ya? Hebat sekali!! Pasti paman-paman juga mengerti bahasa-bahasa yang dituturkan oleh manusia di negeri lain." Belepotan sekali mulut Arka mengelola perkataan itu. Hal itu dapat dianggap sebagai sebuah tindakan yang kurang terpuji juga. Mulut bocah itu masih sibuk menampung cairan sop, sementara otaknya mengirim pesan lain untuk menggerakkan otot-otot mulutnya untuk berbicara. Lidah menanggung dua peran sekaligus; pengatur olahan dan pengatur kata. Belum lagi cairan sop yang meluas ke pinggir bibirnya; terkesan kotor dan kumal.

            "Arka!!! Jangan biasakan dirimu melakukan hal itu!! Lihatlah dirimu, memalukan!!!"

            Nenek Nyon membentak meja dengan keras. Semua kegembiraan absen sesaat. Terlebih rasa Arka yang hanya termenung menyaksikan kemarahan neneknya itu. Untung selang air matanya begitu sempit, cukup lama untuk mengisi tampungan air mata untuk dibuang. Pemuda itu cukup tenang menganggapi situasi mendebarkan seperti ini. Lebih dari itu, pikirannya juga cekatan mencerna maksud dari kemarahan nenek itu. Dengan cepat dia mengambil sebuah kain dan mengelap mulutnya yang belepotan. Aksi ini sangat manjur. Terbukti, nenek Nyon yang begitu garang langsung jinak dibuatnya.

            "Nah, sekarang Anda berdua boleh menjawab pertanyaan dari cucuku yang dekil ini." Nada suara nenek Nyon memang sudah menurun. Begitu stabil, tidak ada fluktuasi. Hanya saja kesan yang ditinggalkan masih melekat di atmosfer. Pengembara yang sudah terbiasa menghadapi amukan alam, tentu mereka belum terbiasa menghadapi amukan Nyon. Hati mereka masih berdebar; beruntung frekuensinya teratur. Si pendek berusaha menjawab dengan detail yang masih menempel di kepalanya.

            "Tentu, kami akan menjelaskan beberapa yang masih teringat oleh kami. Sebenarnya tidak banyak. Aku sendiripun hanya bisa mengulang beberapa kejadian ketika kami berada di dua kota. Ah, itupun terjadi setahun yang lalu. Sungguh menyedihkan!! Seorang pengembara melupakan hampir semua kejadian berharga yang telah dia saksikan. Tapi, itu bukanlah sebuah masalah bukan?"

            Nenek Nyon menggelengkan kepala. Lucunya Arka malah memberi anggukan. Terdapat dua tafsiran di sini. Entah yang mana yang harus dijadikan acuan oleh si pendek. Yang memberi pertanyaan atau yang mempertegas pertanyaan? Rasa-rasanya, si pendek ini ingin cepat-cepat mangkat dari lokasi ini.

            "Pertama ketika kami menjelajahi sebuah desa di atas air. Seingatku namanya Tsep--il qashna. Semua yang ada di atas air adalah batu-batu besar yang bisa mengapung dengan sempurna. Pengakuan mereka, peradaban itu telah ada semenjak seratus ribu tahun yang lalu. Bagnunan mereka seperti kotak atau balok kayu yang berjejer tinggi ke atas. Lebih tepatnya seperti tiang penyangga langit. Penduduk di sana begitu pendiam dan jarang berbicara; bahkan dengan anggota keluarga sendiri. Mata pencaharian penduduk rata-rata sebagai nelayan dengan kapal-kapal besar yang terbuat dari besi. Sekali melaut, mereka bisa menangkap ikan yang sama dengan penangkapan nelayan biasa selama sepuluh tahun. Begitu ganas dan garang mereka. Untung keadilan masih tegak di atas benua ini, mereka melakukan kegiatan itu hanya sekali setahun saja. Setidaknya itu lumayan untuk menjaga kelestarian."

            Terkagum-kagum Arka mendengar kisah itu. Rasanya, sensasi ini, seakan-akan bocah itu juga ingin menjadi seorang pengembara ketika sudah besar nanti. Jauh berjalan meninggalkan kampung halaman. Menyaksikan dan menikmati pesona beserta keindahan kota-kota lain di benua ini. Juga, yang terpenting adalah memahami dan mencari tahu apa yang terjadi dengan kedua orang tuanya yang menghilang semasa dia masih kecil. Semua itu, sekarang telah diputuskan akan digantung sebagai cita-cita yang harus diraih ketika Arka besar nanti.

            "Wah, luar biasa juga daerah yang telah kalian lewati." Cukup perkataan itu saja. Suara nenek Nyon pelan memberi penghormatan tertinggi kepada kedua pengembara ini. Mangkuk sop tomatnya telah kosoh, sepenuhnya telah berpindah tempat ke perut nenek Nyon yang masih sudi bekerja. Sembari berdiam diri sebentar, teringat pula olehnya kisah-kisah semasa dia masih muda dulu. Masih teringat dengan jelas oleh ingatan Nyon itu, berpuluh-puluh tahun yang lalu, keharuman dari bebauan rumput hijau segar yang baru mekar. Pemandangan selatan yang begitu lepas dan bebas. Daerah utara yang dihadang benteng perbukitan yang misterius. Juga peristiwa banjir tahunan yang selalu menimpa pemukiman selatan. Sayang sekali, pikirnya berkali-kali. Satu hal yang terasa mengganjal, semua itu hanya terjadi di desa. Pengalaman yang banyak tetapi tidak luas.

            "Paman?" Arka tiba-tiba bertanya. "Iya?" jawab si pendek. "Apa yang akan dilakukan oleh warga desa... apa namanya tadi? Maksudku, kepada, atau terhadap kapal-kapal besi mereka ketika sedang tidak melaut??" Si pendek hanya tersenyum. Tangan kirinya dihadang oleh tangan kanan si tinggi ketika hendak berbicara. Mungkin ini adalah pertanda bahwa si tinggi ingin berbicara juga?

            "Tidak ada sesuatu yang spesial. Kapal-kapal itu hanya diparkirkan di dermaga-dermaga yang juga terbuat dari besi." Ya, itu adalah ciri khas dari si tinggi. Jawabannya pendek dan berterus terang. Keheningan tercipta setelah itu. Dasar si tinggi! Yang bisa dia lakukan hanya membunuh nuansa romantis yang tercipta di ruangan yang dihangatkan oleh sebuah perapian itu.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun