Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Bangsawan Pure

24 Januari 2019   06:55 Diperbarui: 24 Januari 2019   07:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Belum selesai masalah satu ini, tiba-tiba terdengar suara orang menangis. Ini bukanlah hantu seperti yang dibicarakan orang-orang. Jika mitos itu menyebutkan pelakunya seorang wanita, sudah jelas bahwa ini adalah suara seorang pria. Tangisannya begitu sendu, dihiasi penyesalan karena telah berbuat sesuatu yang salah. Belum lagi terdengar sesekali suara naik-turun ingus di dalam rongga hidung si penangis.

            "Eh!!? Om Fatsar mengapa menangis begitu? Apa ada yang salah"

            "Tentu aku menangis sialan!!! Untuk apa kau berbohong menutupi fakta yang ada? Mengapa tidak membiarkan aku saja yang dibrendel oleh dua orang tua jelek itu?"

            Suara tawa Arka pecah. Begitu juga Nenek Nyon yang tertawa sembari menutup mulut. Ganohe juga tiba-tiba tertawa, walau sebenarnya dia terpancing oleh tingkah laku konyol bocah itu. Hanya tinggal Fatsar seorang diri, berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Mengapa semua orang tertawa? Apa yang mereka tertawakan? Hal apa yang lucu? Lalu, mereka tertawa memang karena ada yang membuat ketawa, atau sekedar bentuk lain dari upaya menyindir dan mencemooh dirinya yang terlihat tidak berdaya selama prosesi dengan prajurit itu tadi?

            "Apa yang lucu? Mengapa kalian semua tertawa?"

            "Tentu lucu, karena Om Fatsar menanyakan sesuatu yang tidak penting untuk ditanyakan. Jangan khawatir. Hukuman dari para aparatur desa tidak terlalu memberatkan kok. Palingan aku yang berasal dari kalangan kere ini disuruh membantu pembangunan selokan di sebelah timur pemukiman kaya itu. Hanya itu saja. Kalau itu sih, aku sudah sangat terbiasa melakukannya." Terjadi perubahan rotasi yang signifikan di ruangan ini. Jika pada awalnya Ganohe yang bertindak sangat kalem, sekarang potensi itu berpindah ke tangan Arka secara alami. Kudeta ini sedikit mengganggu pikiran Ganohe.

            Fatsar tetap kebingungan. Memangnya menggali tanah sedalam beberapa meter itu tidak menguras tenaga? Apa terpanggang di bawah sinar mentari tidak membuat rasa tidak nyaman? Logika berpikirnya masih belum menyatu dengan para kere desa TarukoPedang yang terlalu menanggap enteng setiap permasalahan yang ada. Tapi, tetap ada satu hal yang harus disampaikan oleh Fatsar kepada Arka, "Bagaimanapun juga, terima kasih karena telah membantu melindungiku dari hukuman desa ini."  Senyuman manis berada di lingkaran wajah Arka. Atmosfer ruangan telah kembali diturunkan, kembali sejuk dan bersahabat seperti sedia kala. Ruangan juga telah kembali lebih terang. Nenek Nyon telah menyalakan lilin setinggi tiga puluh centimeter itu. Tetap saja, hanya Ganohe yang bertahan di dalam aura kesendirian sembari menatap pijar api yang menyelubungi puncak lilin yang perlahan-lahan mencair.

            "Tapi, aku tetap ingin membayar hutang moral ini langsung di hadapanmu, Arka, saat ini juga. Tanyakan, tanyakan apa saja yang membayang di dalam tempurung itu. Aku pasti akan menjawabnya jika aku memang mengetahui. Katakan!! Keluarkan saja pertanyaan itu."

            Arka menatap ke arah langit-langit. Pikirannya masih berusaha dialihkan ke dalam tempurung super itu. Semua kata-kata yang pernah dia baca, kesemua itu berkecamuk hebat di dalam pikiran bocah itu. Sementara Fatsar menunggu dengan sabar, berharap agar dia memang bisa menjawab dengan baik pertanyaan dari bocah penyelamatnya ini. Tidak lama kemudian, Arka kembali mengarahkan pandangannya ke arah Fatsar yang masih menunggu.

            "Aku memang masih belum bisa menemukan pertanyaan apapun. Tapi, aku ingin Om Fatsar menceritakan sesuatu yang sangar berharga bagi Om. Apapun itu." Permintaan yang sederhana, unik dan memindahkan rasa ingin tahu kepada Fatsar yang menjadi sumber berita. Semua tatapan berbalik memandangnya serius, menanti-nanti sekaligsu mewanti-wanti kabar yang akan diceritakan oleh Fatsar. Keadaan seperti itu juga membuat Fatsar merasa sedikit tertekan. Terlebih, dia tidak merasa ada sesuatu yang berharga untuk diceritakan. Ah!! Tiba-tiba saja dia teringat sesuatu yang cemerlang.

            "Baiklah. Bagaimana kalau aku menceritakan kepadamu kisah tentang Bangsawan Pure??"

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun