Mohon tunggu...
Arya BayuAnggara
Arya BayuAnggara Mohon Tunggu... Full Time Blogger - Menulis untuk mengingat luasnya dunia

Menyukai caffeine dan langit biru

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Inner Sanctum (I), Bangsawan Pure

24 Januari 2019   06:55 Diperbarui: 24 Januari 2019   07:58 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

            Arka kembali, sekarang dia terlihat lebih segar daripada sebelumnya. Tidak lupa dia membawa beberapa lembaran berharga sebagai alat tukar nanti. Manatahu ada sesuatu yang menarik perhatiannya ketika berada di bazar nanti. Tidak lupa juga, dia mengganti celananya meski masih betelanjang dada. Mau bagaimana lagi, itu menjadi semacam model berpakaian khusus buat para kere. Untung kebolehan menggunakan parfum tidak dibatasi untuk kalangan manapun. Ya, yang menjadi masalah kemampuan untuk membeli parfum dengan kualitas terbaik.

            "Apa kita siap berangkat?" Arka memastikan. "Tentu," balas Fatsar sekejap dengan nada yang begitu senang. Ganohe hanya menangguk lemah. "Arka, bawa para pengembara ini berkeliling bazar sampai hati mereka puas. Setelah itu, tolong bantu juga mereka mencari penginapan terbaik sesuai dengan kesanggupan mereka. Usahakan jangan pulang lebih dari tengah malam, meski acara itu ada hingga subuh. Ketika pulang nanti, jangan sesekali mengetuk pintu depan. Aku akan membuka kunci jendela kamarmu, kamu masuk lewat sana saja nanti. Ketika kamu telah berada di dalam kedai, segera bunyikan lonceng sebagai pertanda bahwa yang masuk itu adalah dirimu. Jika kau sampai lupa, jangan salahkan aku jika kamu bonyok-bonyok nantinya."

            Arka hanya tertawa kecil. Para tamu yang telah lama bersemayam di kedai mereka itu telah keluar, menunggu Arka yang masih sibuk berbicara dengan Nenek Nyon. "Tentu Nek. Aku paham sekali perangaimu itu. Omong-omong, apa benar Nenek tidak memiliki keinginan apapun? Maksudku, apa tidak ada sesuatu yang ingin dititipkan kepadaku? Selagi aku masih di kedai ini, lebih baik disampaikan saja. Jangan sampai mengomel ketika aku telah tertidur di atas kasur nanti." Nenek Nyon segera berpikir, apa benar cucunya ini berniat membelikan sesuatu yang dia harapkan? Ini adalah hal yang jarang terjadi. Biasanya, ketika Nenek Nyon meminta Arka membeli sesuatu, pasti ditolak atau dia berusaha lari. Ah, daripada berpikir yang tidak-tidak, lebih baik diladeni saja permintaan cucunya itu.

            "Tentu aku menginginkan sesuatu di dalam benakku. Palingan aku hanya meminta dirimu membelikan kacinguih yang dijual oleh para pedagang makanan di bazar. Usahakan cari yang memang memiliki parutan singkong terbaik, tekstur yang begitu halus dengan gula saka yang bewarna coklat menggoda. Kalau kau sampai-sampai salah, apalagi membeli makanan basi seperti waktu itu, kau tidak boleh tidur di kedai ini selama seminggu. Menggembel saja di bazar itu. Arka, kamu paham bukan?"

            Arka mengangguk, memahami perkataan nenek tersayangnya itu. Dia melambaikan tangan, kemudian beranjak ke pintu dan segera menutupnya. Sekarang, hanya tinggal Nenek Nyon sendirian, meratapi keadaan kedai yang tengah sepi dan dibalut rasa dingin yang luar biasa. Dirinya tidak takut kesendirian ini, hanya awan hitam legam dari belakang kedainya saja yang membuatnya kalap. Sampai kapan cuaca aneh ini akan bertahan? Mengapa baru kali ini hal ini terjadi? Dia segera beranjak ke kamar tidurnya. Hanya terdapar sebuah ranjang, sebuah almari kayu yang lusuh, dan sebuah cermin tua yang tidak begitu terang lagi pantulannya. Merebahkan diri ke atas kasur setelah beraktifitas seharian memang adalah hal yang sangat menyenangkan. Apalagi bagi seorang ibu tua yang telah kelelahan menghadapi dinamika hidup. Tetapi dia tetap tersenyum di malam ini. Satu hal yang dia sadari betul, bahwa generasi penerus sedang mengasah dirinya baik-baik. Bukan hanya Arka, cucu tersayangnya, tetapi juga semua anak-anak yang tinggal di desa ini. Semua orang mendapat akses untuk membaca sekarang. Pendidikan yang dibatasi karena peraturan kuno yang kulot bukan lagi sebuah hambatan. Rasa percaya diri menumpuk di dalam diri wanita tua itu. Meyakini bahwa suatu hari nanti TarukoPedang akan mencapai masa kejayaannya, meski kasta yang menyesatkan tetap tidak bisa dihilangkan. Andai hal itu terjadi. Andai juga tidak terjadi insiden lain yang mungkin menghancurkan segalanya.

***

            Palp memandang ke arah langit yang masih bersinar cerah. Beberapa burung gagak berterbangan di atas kepalanya, melihat jauh ke bawah, menuju dua bangkai yang belum lama matinya. Tangan Palp bewarna merah; sebelah kiri terdapat luka bekas sayatan sedangkan sebelah kanan hanya terdapat merah darah entah punya siapa. Di dalam hatinya ia merasa begitu puas. Dia telah membunuh dua penjaga terluar dari desa TarukoPedang. Belum lagi dia mengalahkan dua senior itu dengan kekuatan yang merupakan hasil kerja kerasnya berlatih setelah kabur dari desa. Semua sensasi ini, itu adalah hal yang tidak mungkin bisa dilupakan oleh Palp.

            "Apa sudah selesai?"

            Itu dia!! Bayang-bayang yang sempat menguntit Arto dan Amin sedari tadi, sekarang keluarlah wujudnya secara perlahan-lahan. Hanya berupa jubah, tapi jelas ini bukanlah Kematian. Ukuran tubuhnya jauh lebih kecil daripada Palp. Sangat diragukan apakah orang ini memiliki kemampuan untuk bertarung. Yang jelas, tidak pandai bertarungpun bukan suatu hal yang bermasalah baginya. Dia memiliki kemampuan menghilang, bukan sekedar kamuflase. Ini berkat pusaka yang dia dapatkan dari penyihir hitam kastil. Seingatnya, awalnya dia hanya meminum sebuah cairan bewarna bening yang disimpan di dalam wadah kaca kecil. Itu adalah awal dari kemampuan menghilangnya.

            "Jangan tiba-tiba muncul begitu, Geist. Aku tidak menyukai tipikal semacam itu. Lagipula, ini semua tidak berpengaruh apa-apa pun kepadaku. Aku sudah menguasai penguasaan warma pelacakan. Kau ingin membunuhku secara tiba-tiba pun, itu adalah tindakan sia-sia." Palp begitu percaya diri. Dia paham betul, kekuatan dari sebuah pusaka dapat dimentahkan dengan kemampuan warma. Apa itu warma? Sepertinya tidak perlu dijelaskan untuk kali ini, terlalu cepat.

            Geist hanya memandang tajam orang yang seharusnya menjadi rekanannya ini. Perhatiannya kemudian teralihkan kepada mayat Amin yang baru mati sekitaran lima menit yang lalu. Mayat itu tertelungkup, dengan kedua tangan terpisah dari tubuhnya. Tangan kiri terlempar jauh ke arah barat daya, sementara tangan kanan terlepar tidak jauh dari tubuh Arto yang berjarak sepuluh kaki dari mayat Amin. Suatu pemandangan yang mengerikan. Hanya saja itu tidak berlaku bagi Geist yang telah terbiasa melihat mayat dan kematian. Apalagi Palp yang telah menjadi pembunuh semenjak berkhianat dari desanya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun